Diam Adalah Puncak Maqom Pengetahuan

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 20:10 WIB
loading...
Diam Adalah Puncak Maqom...
Ustaz Miftah el-Banjari, Dai lulusan Kairo Mesir yang juga pakar ilmu Linguistik Arab. Foto/Ist
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an

Permintaan terberat yang tidak dapat dipenuhi oleh Nabi Musa 'alaihissalam manakala bersama Nabi Khaidir adalah diam. Ya berdiam, tanpa komentar, sebelum semuanya jelas dan menjadi terang benderang hikmahnya.

Nabi Musa adalah Nabi bagi Bani Israel, seorang yang paling berilmu di masanya. Sampai-sampai, suatu ketika Nabi Musa ketika berdakwah di hadapan kaumnya, ada di antara kaumnya yang bertanya: "Siapakah orang yang paling berilmu saat ini, wahai Musa?!" Riwayat lain menyatakan: "Adakah orang yang lebih berilmu darimu, wahai Musa?"

Nabi Musa dengan tegas menjawab: "Sayalah satu-satunya, orang paling alim, paling berilmu saat ini!" ( )

Tak lama kemudian, Allah Ta'ala menegur Nabi Musa bahwa masih ada yang lebih berilmu, seseorang yang memiliki ilmu Ladunni yang berada di antara dua pertemuan antara air laut dan air tawar. Perjalanan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khaidir bukanlah mudah.

Perjalanan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga muncullah pertanda ikan yang dibawa menghilang secara misterius di antara dua pertemuan air. Tanpa disadari oleh Nabi Musa dan seorang pendampingnya yang menurut sebagian mufassir adalah Yusya' bin Nun yang kemudian nantinya diangkat sebagai salah seorang Nabi Bani Israel.

Singkat cerita, dimulailah pengembaraan ilmu di antara dua orang Nabi itu dengan beberapa ujian kelayakan bagi Nabi Musa diterima sebagai murid Nabi Khaidir, setelah sebelumnya ada dialektika di antara keduanya dimana Nabi Musa bernegosiasi agar diterima sebagai murid dan Nabi Khaidir semula meragukannya.

Walhasil, akhirnya Nabi Khadir tidak mensyaratkan apa-apa, terkecuali hanya meminta Nabi Musa agar diam tanpa komentar sebelum semuanya telah dijelaskan secara terang benderang dibalik hikmah dari setiap kejadian.

Nabi Musa sepakat. Dimulailah perjalanan pertama, dimana Khaidir mengajak Musa ke tepi pantai, lalu meminjam perahu milik seorang nelayan miskin. Tanpa sepengetahuan si pemiliknya, setelah usai dipergunakan Khaidr melobanginya hingga perahu itu rusak.

Tentu saja, hal itu membuat Musa terheran-heran dan tidak bisa menahan diri untuk berkomentar. "Mengapa Anda merusak perahu itu? Mengapa dan mengapa?"

Masih berlanjut pada kasus selanjutnya dimana Khaidir mencekik leher seorang anak yang sedang bermain-main hingga tewas. Musa makin tidak mengerti karakter guru macam apa yang akan menjadi gurunya itu.

Musa protes dan seakan menghakimi apa yang dilakukan Khaidir adalah kesalahan, bahkan kezhaliman yang tidak sepantasnya dilakukan oleh siapa pun, membunuh jiwa yang tak berdosa secara zhalim, apalagi bagi seorang nabi di kalangan Bani Israel.

Nabi Musa tak tahan diri untuk berkomentar dan memprotes, hingga terkesan tidak terima dengan kenyataan yang dihadapinya. "Mengapa Anda bunuh jiwa yang tak berdosa?!"

Namun, setiap kali menghadapi pertanyaan dan protes Musa, Khaidir hanya mengingatkan kesepakatan di awal yang harus bisa disepakati. Mau tak mau, Nabi Musa pun harus menerima kenyataan yang di luar nalar dan logika pengetahuannya itu.

Ujian terakhir yang dilakukan Khaidir ini, ternyata hanya hal yang sangat sederhana, tidak penuh misterius seperti dua kasus peristiwa sebelumnya, yaitu membantu membetulkan dinding yang telah roboh pada sebuah rumah tua yang lama ditinggalkan. Itu saja.

Namun, justru hal ketiga inilah yang merupakan klimak dari pengembaraan itu. Musa tidak mampu untuk tidak berkomentar apa gerangan yang dilakukan oleh lelaki misterius di hadapannya yang telah Allah karuniakan berbagai lautan ilmu hikmah padanya.

Apa jawaban Khaidir pada Musa?
هَذاَ فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ

"Inilah akhir perjumpaan antara diriku dan dirimu.."

Akhirnya, Khidir menyingkapkan semua hikmah dari setiap peristiwa mulai perahu milik nelayan miskin yang dirusak, ternyata hikmahnya adalah penyelamatan dari perampasan raja zhalim yang merampas semua perahu yang masih bagus kondisinya.

Pembunuhan seorang anak itu juga dalam rangka penyelamatan terhadap orang tuanya yang shaleh yang kelak akan menjadi petaka bagi keduanya. Semua merupakan rahasia dalam ilmu Allah yang hanya diketahui Khaidir.

Pembenahan dan penegakkan dinding yang roboh juga dalam rangka isyarat harta warisan yang terpendam di bawah tanahnya yang ditingggalkan oleh seorang yang shaleh yang telah wafat terhadap anak-anaknya.

Nabi Musa yang tidak memahami kedalaman ilmu Khaidir cenderung tidak bisa diam untuk tidak bertanya atau sekedar berkomentar. Kisah ini bukan sekedar kisah pengajaran di dalam Al-Qur'an untuk kisah masa lalu, tapi merupakan itibar untuk umat hari ini.

Betapa banyak kita akan temui orang-orang yang senang berkomentar dan selalu senang mengomentari setiap peristiwa apa pun yang dilihat dan di dengarnya. Seakan komentar itu menunjukkan betapa banyaknya pengetahuannya. Padahal, belum tentu demikian adanya.

Padahal dalam perjalanan maqom keilmuannya selanjutnya, manakala ada orang yang memilih untuk lebih banyak diam, lebih banyak merenung, mengamati dan memperhatikan hikmah dibalik setiap peristiwa dan kejadian yang terjadi di sanalah sesungguhnya puncak ilmu akan diketahui.

Salah seorang wali Abdal ditanya, "dengan cara apa Anda memperoleh maqam ini?" Dijawabnya dengan cara banyak diam dari berkomentar dan berkata-kata yang tidak berfaidah."

Ketika seseorang telah menyadari kelemahan dirinya, maka dia akan terdiam. Manakala seseorang telah terpukau pada keindahan dan keelokan Tuhannya, maka membuatnya akan terdiam. Diam adalah puncak dari pemahaman. ( )

Wallahu A'lam
(rhs)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1460 seconds (0.1#10.140)