Jadikan Akhirat Sebagai Cita-Cita Utama
loading...
A
A
A
Banyaknya kewajiban yang harus dipikul orang tua atas diri anak-anaknya, merupakan hal yang wajar. Karena anak pada dasarnya adalah investasi. Jika orang tua menanamkan investasi yang besar pada diri anak, utamanya dalam hal pendidikan, maka kelak orang tua juga akan memetik hasil yang besar pula. Tidak hanya di dunia saja, tetapi investasi tersebut juga dapat dipetik di akhirat kelak jika orang tua berhasil menjadikan anak-anaknya menjadi anak yang saleh dan saleha.
Orang tua harus membangun optimisme dalam memberikan pendidikan kepada anak ini, yang didasarkan pada tiga hal yakni rajaˈ (sikap berharap), raghbah (semangat meraih cita-cita), dan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla. Tumbuhkan optimisme bahwa agama dan iman adalah prioritas utama untuk pendidikan di dunia agar mencapai kebahagiaan di akhirat. Jadikan akhirat sebagai cita-cita utama.
Kata raja' dalam bahasa Indonesia diterjemahkan harapan, hakikatnya adalah sesuatu yang mendorong dan memotivasi hati menuju hal yang disukainya. Yaitu mendapat ridha Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat. Atau pengertian-pengertian yang senada. Intinya rajaˈ adalah sikap berharap yang mendorong hati untuk bersemangat dalam meraih cita-cita. (Baca juga : Bolehkah Anak Menasehati Orang Tuanya? Bagaimana Adabnya? )
Dan rajaˈ ini, asasnya adalah husnuzan (berbaik sangka) terhadap Allah dan terhadap kasih sayang-Nya, sehingga memangkas habis rasa putus asa. Karenanya Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberi peringatan kepada umatnya:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلَاثٍ، يَقُولُ: «لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ. رواه مسلم
“Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia mengatakan: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiga hari sebelum beliau wafat, bersabda: Janganlah seseorang di antara kalian mati kecuali ia dalam keadaan berhusnuzan (berbaik sangka) kepada Allah. (HR. Muslim).
Menurut penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, sebenarnya rajaˈ atau harapan, terdiri dari tiga macam. Dua terpuji, dan satu tercela. Dua yang terpuji adalah: Pertama, rajaˈ (harapan) nya seseorang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla berdasarkan cahaya ilmu dari Allah. Maka ia adalah orang yang mengharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla.
Kedua, harapan seseorang yang berbuat dosa kemudian bertaubat, maka ia adalah orang mengharapkan ampunan, maaf, kebaikan, kemurahan dan santunan Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan rajaˈ yang tercela adalah, seseorang yang terus menerus meninggalkan ketaatan dan terus menerus berbuat kesalahan, namun ia berharap kasih sayang dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa mau berusaha. Ini adalah fatamorgana , angan-angan kosong dan harapan dusta. (Baca juga : Inilah Beberapa Puasa Sunnah Muharram dan Dalil-dalilnya )
Adapun raghbah (semangat meraih cita-cita), hakikatnya mirip dengan rajaˈ. Bedanya, rajaˈadalah bentuk harapan besarnya, sedangkan raghbah adalah bentuk usahanya. Dengan demikian, raghbah sejatinya merupakan buah dari rajaˈ. Apabila seseorang punya harapan terhadap sesuatu, maka ia akan bersemangat melakukan usaha untuk mendapatkannya.
Hubungan antara raghbah dengan rajaˈ, laksana hubungan antara lari dan takut. Orang yang mengharapkan sesuatu niscaya akan berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Demikian pula orang yang takut, maka ia akan lari dari apa yang ditakutinya.
Artinya, suatu harapan tidak akan disebut harapan yang sebenarnya kalau tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata. Dan optimisme yang baik InsyaAllah akan terbentuk melalui pembinaan yang benar tentang rajaˈ dan raghbah. Dan hal ini akan menjadi sempurna dengan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
Pembinaan anak-anak ke arah itu adalah dengan memberikan penjelasan akan janji-janji Allah Azza wa Jalla bagi orang-orang yang bertakwa. Anak juga perlu diberi penjelasan akan ancaman-ancaman-Nya bagi orang-orang yang durhaka, melalui proses pengajaran dan pendidikan berbasis Al-Qur’an.
Dalam pendidikan berbasis iman itulah, akan terbentuk anak yang saleh. Anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Seperti diketahui, bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak yang sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan, melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa ta’ala , dan menjauhi larangan-laranganNya.
Anak yang saleh adalah anak yang tumbuh dalam naungan Dien-Nya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa ta’ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa ta’ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus. (Baca juga : Pentingnya Menjaga Iffah di Zaman Penuh Fitnah )
Bagi orang tua , keuntungan memiliki anak yang saleh memiliki implikasi di akhirat. Amalan-amalan anak senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa ta’ala .
Wallahu’Alam
Orang tua harus membangun optimisme dalam memberikan pendidikan kepada anak ini, yang didasarkan pada tiga hal yakni rajaˈ (sikap berharap), raghbah (semangat meraih cita-cita), dan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla. Tumbuhkan optimisme bahwa agama dan iman adalah prioritas utama untuk pendidikan di dunia agar mencapai kebahagiaan di akhirat. Jadikan akhirat sebagai cita-cita utama.
Kata raja' dalam bahasa Indonesia diterjemahkan harapan, hakikatnya adalah sesuatu yang mendorong dan memotivasi hati menuju hal yang disukainya. Yaitu mendapat ridha Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat. Atau pengertian-pengertian yang senada. Intinya rajaˈ adalah sikap berharap yang mendorong hati untuk bersemangat dalam meraih cita-cita. (Baca juga : Bolehkah Anak Menasehati Orang Tuanya? Bagaimana Adabnya? )
Dan rajaˈ ini, asasnya adalah husnuzan (berbaik sangka) terhadap Allah dan terhadap kasih sayang-Nya, sehingga memangkas habis rasa putus asa. Karenanya Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberi peringatan kepada umatnya:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلَاثٍ، يَقُولُ: «لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ. رواه مسلم
“Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia mengatakan: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiga hari sebelum beliau wafat, bersabda: Janganlah seseorang di antara kalian mati kecuali ia dalam keadaan berhusnuzan (berbaik sangka) kepada Allah. (HR. Muslim).
Menurut penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, sebenarnya rajaˈ atau harapan, terdiri dari tiga macam. Dua terpuji, dan satu tercela. Dua yang terpuji adalah: Pertama, rajaˈ (harapan) nya seseorang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla berdasarkan cahaya ilmu dari Allah. Maka ia adalah orang yang mengharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla.
Kedua, harapan seseorang yang berbuat dosa kemudian bertaubat, maka ia adalah orang mengharapkan ampunan, maaf, kebaikan, kemurahan dan santunan Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan rajaˈ yang tercela adalah, seseorang yang terus menerus meninggalkan ketaatan dan terus menerus berbuat kesalahan, namun ia berharap kasih sayang dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa mau berusaha. Ini adalah fatamorgana , angan-angan kosong dan harapan dusta. (Baca juga : Inilah Beberapa Puasa Sunnah Muharram dan Dalil-dalilnya )
Adapun raghbah (semangat meraih cita-cita), hakikatnya mirip dengan rajaˈ. Bedanya, rajaˈadalah bentuk harapan besarnya, sedangkan raghbah adalah bentuk usahanya. Dengan demikian, raghbah sejatinya merupakan buah dari rajaˈ. Apabila seseorang punya harapan terhadap sesuatu, maka ia akan bersemangat melakukan usaha untuk mendapatkannya.
Hubungan antara raghbah dengan rajaˈ, laksana hubungan antara lari dan takut. Orang yang mengharapkan sesuatu niscaya akan berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Demikian pula orang yang takut, maka ia akan lari dari apa yang ditakutinya.
Artinya, suatu harapan tidak akan disebut harapan yang sebenarnya kalau tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata. Dan optimisme yang baik InsyaAllah akan terbentuk melalui pembinaan yang benar tentang rajaˈ dan raghbah. Dan hal ini akan menjadi sempurna dengan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
Pembinaan anak-anak ke arah itu adalah dengan memberikan penjelasan akan janji-janji Allah Azza wa Jalla bagi orang-orang yang bertakwa. Anak juga perlu diberi penjelasan akan ancaman-ancaman-Nya bagi orang-orang yang durhaka, melalui proses pengajaran dan pendidikan berbasis Al-Qur’an.
Dalam pendidikan berbasis iman itulah, akan terbentuk anak yang saleh. Anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Seperti diketahui, bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak yang sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan, melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa ta’ala , dan menjauhi larangan-laranganNya.
Anak yang saleh adalah anak yang tumbuh dalam naungan Dien-Nya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa ta’ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa ta’ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus. (Baca juga : Pentingnya Menjaga Iffah di Zaman Penuh Fitnah )
Bagi orang tua , keuntungan memiliki anak yang saleh memiliki implikasi di akhirat. Amalan-amalan anak senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa ta’ala .
Wallahu’Alam
(wid)