Kisah Abdullah bin Mubarak, Ulama yang Batal Berangkat Haji demi Sedekah ke Keluarga Miskin
loading...
A
A
A
Kisah Abdullah bin Mubarak sosok ulama yang batal berangkat haji demi sedekah ke keluarga miskin ini, banyak hikmah dan pelajaran bagi kaum muslim. Siapa sebenarnya Abdullah bin Mubarak ini dan bagaimana kisah lengkapnya?
Kisah ini ada dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi. Abdullah bin Mubarak sendiri merupakan seorang ulama besar yang terkenal dengan ahli fiqih dan hadis. Ia lahir di Marwa pada 118 H dan wafat pada 181 H saat kembali dari medan perang. Semasa hidupnya, ia adalah ulama terkemuka pada masanya.
Alkisah, suatu ketika seorang ulama zuhud Abdullah bin Mubarak berangkat menuju Makkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni haji . Ketika Abdullah bin Mubarak sampai di kota Kufah, perjalanannya terhenti beberapa saat hingga batal menunaikan ibadah haji tahun tersebut.
Hal yang membuat Abdullah bin Mubarak menghentikan perjalanannya adalah kondisi miris seorang perempuan di kota Kufah yang terpaksa mengonsumsi bangkai itik. Perempuan itu mengajak juga anak-anaknya memakan bangkai itik sebagai santapan keluarga.
Abdullah bin Mubarak sempat menegur perempuan itu beberapa kali bahwa konsumsi semacam itu haram menurut agama Islam. Nasihat ini gagal, hingga Abdullah bin Mubarak terkejut dengan kenyataan bahwa keluarga tersebut memakan bangkai karena alasan keterpaksaan.
Ternyata, perempuan dan beberapa anaknya sudah tiga hari tidak mendapat makanan. Untuk mempertahankan hidup, satu keluarga miskin tersebut menelan apa saja yang bisa dimakan.
Hati Abdullah bin Mubarak menangis, kemudian menyedekahkan keledai tunggangannya, beserta barang-barang bawaannya, termasuk makanan dan pakaian bekal dia melaksanakan ibadah haji kepada perempuan dan anak-anaknya yang kelaparan.
Akibatnya, Abdullah bin Mubarak kini tidak memiliki bekal untuk melanjutkan perjalannya ke Tanah Suci. Perjalanannya tertunda beberapa lama di kota Kufah sampai musim haji lewat dan Abdullah bin Mubarak gagal melaksanakan haji tahun tersebut.
Ketika pulang ke kampung halaman, alangkah kagetnya Abdullah bin Mubarak karena mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat sebagai orang yang baru datang dari ibadah haji.
Abdullah bin Mubarak pun protes campur malu, dan berterus terang bahwa kali ini ia gagal pergi ke Tanah Suci.
"Sungguh aku tidak menunaikan haji tahun ini," kata Abdullah bin Mubarak meyakinkan orang-orang yang menyambutnya.
Namun, teman-temannya yang berhaji menyampaikan testimoni yang membuat Abdullah bin Mubarak semakin bingung. Mereka mengaku berada di Makkah dan membantu teman-temannya itu membawakan bekal, memberi minum, atau membelikan sejumlah barang.
Setelah peristiwa yang membingungkan itu, Abdullah bin Mubarak pada malam harinya mendapat jawaban melalui mimpi.
Dalam tidurnya, Abdullah bin Mubarak mendengar suara, "Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji."
Apa yang dilakukan ulama sufi tersebut adalah prioritas dalam beribadah. Haji adalah ibadah, sedekah juga merupakan ibadah. Namun, Abdullah bin Mubarak mendahulukan yang kedua karena sedekahnya sangat dibutuhkan.
Abdullah bin Mubarak tidak sedang meremehkan ibadah haji. Ia hanya mendahulukan apa yang seharusnya didahulukan.
Abdullah bin Mubarak sedang mengatasi masalah yang sangat mendesak, yakni menyangkut kebutuhan dasar orang lain, dengan menunda ibadah haji tahun itu. Sebab haji yang tertunda masih mungkin dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Perbuatan ini selaras pula dengan kaidah fiqih.
“Ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.”
Kaidah ini tidak berbicara tentang mana yang penting dan mana yang tidak penting
Melainkan, mana yang penting dan mana yang lebih penting. Dalam fiqih prioritas (al fiqh al awlawi), derajat urgensi suatu ibadah bervariasi, yang satu lebih utama daripada yang lain.
Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.
Kisah tersebut juga memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan, ketika belum mampu berangkat haji karena keterbatasan ekonomi atau halangan lainnya.
Selain memikirkan bagaimana memenuhi kewajiban suatu ibadah, seseorang juga diharuskan memikirkan mana yang lebih prioritas untuk dilaksanakan. Karena itulah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu.
Islam, misalnya, tidak pernah mewajibkan orang miskin berangkat haji ketika ia sendiri masih kesulitan menunaikan kewajiban lain seperti menafkahi anak dan istrinya. Tidak dianjurkan juga baginya memaksakan diri secara berlebihan, hingga menjual aset-aset dasar seperti rumah atau sawah tempatnya mencari nafkah untuk keperluan itu.
Meski demikian, seseorang tetap diharuskan ikhtiar agar dapat melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana salat lima waktu dan zakat, haji adalah salah satu rukun Islam. Jika masuk kategori mampu, baik dari segi fisik, ekonomi, maupun keamanan, seseorang wajib menunaikannya tanpa menunda-nunda.
Kewajiban tetaplah kewajiban, meskipun kita harus memilih satu kewajiban prioritas saat dihadapkan dengan pilihan beberapa kewajiban yang mesti dipenuhi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. (QS Ali Imran: 97).
Pelajaran kedua, Abdullah bin Mubarak telah melaksanakan “al-birru” atau kebajikan yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya. (QS Ali ‘Imran: 92)
“Al-birru” merupakan derivasi dari kata barra-yabirru yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata ini terbentuk istilah mabrur. Haji mabrur dengan demikian bukan semata soal pelaksanaan rukun dan wajib haji beserta hal-hal teknis lainnya. Tapi juga bagaimana haji membentuk pribadi yang al-barr, yakni bajik secara sosial.
Pemilik predikat haji mabrur tidak hanya meningkat ibadahnya melainkan juga meningkat kepeduliannya terhadap persoalan di sekelilingnya sepulang dari haji. Artinya, substansi mabrur ada pada akhlak dan karenanya tidak heran jika Abdullah bin Mubarak mendapat kemuliaan meski belum berangkat ke Tanah Suci karena rasa kemanusiaan dan kepedulian sosialnya yang tinggi.
Kisah ini ada dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi. Abdullah bin Mubarak sendiri merupakan seorang ulama besar yang terkenal dengan ahli fiqih dan hadis. Ia lahir di Marwa pada 118 H dan wafat pada 181 H saat kembali dari medan perang. Semasa hidupnya, ia adalah ulama terkemuka pada masanya.
Alkisah, suatu ketika seorang ulama zuhud Abdullah bin Mubarak berangkat menuju Makkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni haji . Ketika Abdullah bin Mubarak sampai di kota Kufah, perjalanannya terhenti beberapa saat hingga batal menunaikan ibadah haji tahun tersebut.
Hal yang membuat Abdullah bin Mubarak menghentikan perjalanannya adalah kondisi miris seorang perempuan di kota Kufah yang terpaksa mengonsumsi bangkai itik. Perempuan itu mengajak juga anak-anaknya memakan bangkai itik sebagai santapan keluarga.
Abdullah bin Mubarak sempat menegur perempuan itu beberapa kali bahwa konsumsi semacam itu haram menurut agama Islam. Nasihat ini gagal, hingga Abdullah bin Mubarak terkejut dengan kenyataan bahwa keluarga tersebut memakan bangkai karena alasan keterpaksaan.
Ternyata, perempuan dan beberapa anaknya sudah tiga hari tidak mendapat makanan. Untuk mempertahankan hidup, satu keluarga miskin tersebut menelan apa saja yang bisa dimakan.
Hati Abdullah bin Mubarak menangis, kemudian menyedekahkan keledai tunggangannya, beserta barang-barang bawaannya, termasuk makanan dan pakaian bekal dia melaksanakan ibadah haji kepada perempuan dan anak-anaknya yang kelaparan.
Akibatnya, Abdullah bin Mubarak kini tidak memiliki bekal untuk melanjutkan perjalannya ke Tanah Suci. Perjalanannya tertunda beberapa lama di kota Kufah sampai musim haji lewat dan Abdullah bin Mubarak gagal melaksanakan haji tahun tersebut.
Ketika pulang ke kampung halaman, alangkah kagetnya Abdullah bin Mubarak karena mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat sebagai orang yang baru datang dari ibadah haji.
Abdullah bin Mubarak pun protes campur malu, dan berterus terang bahwa kali ini ia gagal pergi ke Tanah Suci.
"Sungguh aku tidak menunaikan haji tahun ini," kata Abdullah bin Mubarak meyakinkan orang-orang yang menyambutnya.
Namun, teman-temannya yang berhaji menyampaikan testimoni yang membuat Abdullah bin Mubarak semakin bingung. Mereka mengaku berada di Makkah dan membantu teman-temannya itu membawakan bekal, memberi minum, atau membelikan sejumlah barang.
Setelah peristiwa yang membingungkan itu, Abdullah bin Mubarak pada malam harinya mendapat jawaban melalui mimpi.
Dalam tidurnya, Abdullah bin Mubarak mendengar suara, "Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji."
Apa yang dilakukan ulama sufi tersebut adalah prioritas dalam beribadah. Haji adalah ibadah, sedekah juga merupakan ibadah. Namun, Abdullah bin Mubarak mendahulukan yang kedua karena sedekahnya sangat dibutuhkan.
Abdullah bin Mubarak tidak sedang meremehkan ibadah haji. Ia hanya mendahulukan apa yang seharusnya didahulukan.
Abdullah bin Mubarak sedang mengatasi masalah yang sangat mendesak, yakni menyangkut kebutuhan dasar orang lain, dengan menunda ibadah haji tahun itu. Sebab haji yang tertunda masih mungkin dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Perbuatan ini selaras pula dengan kaidah fiqih.
المُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ القَاصِرِ
“Ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.”
Kaidah ini tidak berbicara tentang mana yang penting dan mana yang tidak penting
Melainkan, mana yang penting dan mana yang lebih penting. Dalam fiqih prioritas (al fiqh al awlawi), derajat urgensi suatu ibadah bervariasi, yang satu lebih utama daripada yang lain.
Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.
Kisah tersebut juga memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan, ketika belum mampu berangkat haji karena keterbatasan ekonomi atau halangan lainnya.
Selain memikirkan bagaimana memenuhi kewajiban suatu ibadah, seseorang juga diharuskan memikirkan mana yang lebih prioritas untuk dilaksanakan. Karena itulah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu.
Islam, misalnya, tidak pernah mewajibkan orang miskin berangkat haji ketika ia sendiri masih kesulitan menunaikan kewajiban lain seperti menafkahi anak dan istrinya. Tidak dianjurkan juga baginya memaksakan diri secara berlebihan, hingga menjual aset-aset dasar seperti rumah atau sawah tempatnya mencari nafkah untuk keperluan itu.
Meski demikian, seseorang tetap diharuskan ikhtiar agar dapat melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana salat lima waktu dan zakat, haji adalah salah satu rukun Islam. Jika masuk kategori mampu, baik dari segi fisik, ekonomi, maupun keamanan, seseorang wajib menunaikannya tanpa menunda-nunda.
Kewajiban tetaplah kewajiban, meskipun kita harus memilih satu kewajiban prioritas saat dihadapkan dengan pilihan beberapa kewajiban yang mesti dipenuhi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. (QS Ali Imran: 97).
Pelajaran kedua, Abdullah bin Mubarak telah melaksanakan “al-birru” atau kebajikan yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya. (QS Ali ‘Imran: 92)
“Al-birru” merupakan derivasi dari kata barra-yabirru yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata ini terbentuk istilah mabrur. Haji mabrur dengan demikian bukan semata soal pelaksanaan rukun dan wajib haji beserta hal-hal teknis lainnya. Tapi juga bagaimana haji membentuk pribadi yang al-barr, yakni bajik secara sosial.
Pemilik predikat haji mabrur tidak hanya meningkat ibadahnya melainkan juga meningkat kepeduliannya terhadap persoalan di sekelilingnya sepulang dari haji. Artinya, substansi mabrur ada pada akhlak dan karenanya tidak heran jika Abdullah bin Mubarak mendapat kemuliaan meski belum berangkat ke Tanah Suci karena rasa kemanusiaan dan kepedulian sosialnya yang tinggi.
(wid)