MUI Sebut Murur di Muzdalifah Sah, Daker Makkah Bahas Skema Baru
loading...
A
A
A
MAKKAH - Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sahnya ibadah jemaah haji Indonesia melakukan murur (melintas) di Muzdalifah, yaitu melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan. Murur dilakukan untuk mengantisipasi kepadatan jemaah haji yang mabit dan menyempitnya area Muzdalifah.
Saat ini, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daerah Kerja (Daker) Makkah masih melakukan pembahasan terkait skema baru pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). "Untuk skemanya saat ini masih kami bahas," ujar Kepala Daker Makkah Khalilurrahman di Daker Makkah, Sabtu (1/6/2024).
Pembahasan tentang murur ini sebagai hasil permohonan Dirjen Haji Kemenag seiring bertambahnya jemaah haji dan menyempitnya kawasan Muzdalifah. Kemenag ingin menjamin terlaksananya layanan ibadah bagi jemaah haji sesuai dengan ketentuan syariat. Terkait masalah murur ini, Kemenag tidak hanya berkonsultasi kepada MUI, tapi juga kepada Lembaga Bahtsul Masail (LBM) pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
"Terkait dengan skema murur di Muzdalifah ini memang mendapat respons dari MUI dan terakhir dari Lembaga Bahtsul Masail PBNU. Jadi, kedua organisasi besar di Indonesia ini memberikan sebuah perhatian yang besar terhadap skema murur di Muzdalifah," ucap dia.
Khalil menjelaskan, keputusan hukum tentang masalah murur diperlukan demi kemaslahatan jemaah haji Indonesia. Karena, luas Muzdalifah jika dibandingkan dengan jumlah kapasitas jemaah yang akan mabit di Muzdalifah, sangat tidak ideal.
"Kalau dipaksakan untuk melaksanakan mabit di Muzdalifah, terlebih untuk jemaah haji Indonesia, yang berdasarkan data jumlah lansianya itu mencapai 40.000 lebih, sehingga kalau dipaksakan jemaah mabit di Muzdalifah, maka akan berdampak terhadap kemafsadatan atau kerusakan yang besar," kata Khalil.
Jika seluruh jemaah haji Indonesia dipaksakan mabit di Muzdalifah semua, kata dia, maka bisa mengakibatkan kematian dan menimbulkan bahaya kesehatan bagi jemaah haji Indonesia. "Karena itu, kami sangat mengapresiasi dengan adanya keputusan MUI terkait murur di Muzdalifah dan juga keputusan dari lembaga Bahtsul Masail PBNU," jelas dia.
Khalil menilai, keputusan dibolehkannya murur itu memberikan solusi alternatif hukum bagi jemaah haji Indonesia yang akan menjalani ibadah saat puncak haji di Armuzna.
"Itu memberikan solusi alternatif hukum, bukan menjadi masalah yang kemudian menjadi penghambat bagi jemaah yang akan melaksanakan murur di Muzdalifah. Artinya, secara hukum itu sah dan boleh-boleh saja," ucap Khalil.
Lalu bagaimana penentuan sebagian jemaah haji Indonesia yang akan murur?
Terkait penentuan jemaah yang murur, menurut Khalil, para stakeholders masih menunggu keputusan dari pihak masyarik. "Tentu kita akan mempertimbangkan kemaslahatan yang terbaik, yang memperhatikan untuk kemaslahatan jemaah haji Indonesia," kata dia.
Sebelumnya, Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh menjelaskan hukum jemaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan menuju Mina tanpa berhenti (Murur).
"Jika murur (melintas) di Muzdalifah dilakukan selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan di kawasan Muzdalifah, maka mabitnya sah," jelas Niam, Kamis, 30 Mei 2024.
Saat ini, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daerah Kerja (Daker) Makkah masih melakukan pembahasan terkait skema baru pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). "Untuk skemanya saat ini masih kami bahas," ujar Kepala Daker Makkah Khalilurrahman di Daker Makkah, Sabtu (1/6/2024).
Pembahasan tentang murur ini sebagai hasil permohonan Dirjen Haji Kemenag seiring bertambahnya jemaah haji dan menyempitnya kawasan Muzdalifah. Kemenag ingin menjamin terlaksananya layanan ibadah bagi jemaah haji sesuai dengan ketentuan syariat. Terkait masalah murur ini, Kemenag tidak hanya berkonsultasi kepada MUI, tapi juga kepada Lembaga Bahtsul Masail (LBM) pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
"Terkait dengan skema murur di Muzdalifah ini memang mendapat respons dari MUI dan terakhir dari Lembaga Bahtsul Masail PBNU. Jadi, kedua organisasi besar di Indonesia ini memberikan sebuah perhatian yang besar terhadap skema murur di Muzdalifah," ucap dia.
Khalil menjelaskan, keputusan hukum tentang masalah murur diperlukan demi kemaslahatan jemaah haji Indonesia. Karena, luas Muzdalifah jika dibandingkan dengan jumlah kapasitas jemaah yang akan mabit di Muzdalifah, sangat tidak ideal.
"Kalau dipaksakan untuk melaksanakan mabit di Muzdalifah, terlebih untuk jemaah haji Indonesia, yang berdasarkan data jumlah lansianya itu mencapai 40.000 lebih, sehingga kalau dipaksakan jemaah mabit di Muzdalifah, maka akan berdampak terhadap kemafsadatan atau kerusakan yang besar," kata Khalil.
Jika seluruh jemaah haji Indonesia dipaksakan mabit di Muzdalifah semua, kata dia, maka bisa mengakibatkan kematian dan menimbulkan bahaya kesehatan bagi jemaah haji Indonesia. "Karena itu, kami sangat mengapresiasi dengan adanya keputusan MUI terkait murur di Muzdalifah dan juga keputusan dari lembaga Bahtsul Masail PBNU," jelas dia.
Khalil menilai, keputusan dibolehkannya murur itu memberikan solusi alternatif hukum bagi jemaah haji Indonesia yang akan menjalani ibadah saat puncak haji di Armuzna.
"Itu memberikan solusi alternatif hukum, bukan menjadi masalah yang kemudian menjadi penghambat bagi jemaah yang akan melaksanakan murur di Muzdalifah. Artinya, secara hukum itu sah dan boleh-boleh saja," ucap Khalil.
Lalu bagaimana penentuan sebagian jemaah haji Indonesia yang akan murur?
Terkait penentuan jemaah yang murur, menurut Khalil, para stakeholders masih menunggu keputusan dari pihak masyarik. "Tentu kita akan mempertimbangkan kemaslahatan yang terbaik, yang memperhatikan untuk kemaslahatan jemaah haji Indonesia," kata dia.
Sebelumnya, Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh menjelaskan hukum jemaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan menuju Mina tanpa berhenti (Murur).
"Jika murur (melintas) di Muzdalifah dilakukan selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan di kawasan Muzdalifah, maka mabitnya sah," jelas Niam, Kamis, 30 Mei 2024.
(cip)