Kisah Abu Ubaidah Ragu Jalankan Perintah Umar Mengeksekusi Khalid bin Walid
loading...
A
A
A
Kisah Abu Ubaidah ragu menjalankan perintah Khalifah Umar bin Khattab untuk memecat Khalid bin Walid dari ketentaraan diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Pemecatan Khalid itu dipicu masalah pemberian hadiah kepada Al-Asy'as bin Qais 10.000 dirham. Bilal bin Rabah telah menginterogasi dirinya. Khalid mengaku bahwa duit itu adalah milik pribadinya. Bukan uang dari pampasan perang. Bukan uang negara.
Haekal mengisahkan menyaksikan peristiwa itu mereka berkata satu sama lain, mereka berlainan pendapat satu sama lain. Satu pihak berpendapat bahwa Amirulmukminin benar. Dalam mengadili Khalid, ia tidak membedakan-bedakan, sama seperti ketika mengadili wakil-wakilnya yang lain.
Sementara yang sebagian lagi berpendapat bahwa Khalid pemimpin militer Muslimin yang terbaik dan terbanyak memperoleh kemenangan, maka jika akan menilai kesalahan-kesalahannya harusnya juga disertai penilaian terhadap jasa-jasanya yang begitu agung, dan jika Umar mau mengadilinya, seharusnya ia dipanggil dan diadili sendiri dan jangan disidangkan sebagai tertuduh kejahatan di tengah-tengah pasukan yang sangat menghormati dan mengaguminya.
Orang-orang yang sudah begitu fanatik kepada Khalid, penghinaan macam itu sungguh telah menimbulkan kemarahan dalam hati mereka. Mereka lalu teringat pada peranan Umar tatkala baru menggantikan Abu Bakar dan pemecatan Khalid dari pimpinan militer.
Mereka pula yang menduga bahwa Amirulmukminin memperlakukan Khalid dengan penghinaan serupa itu karena ia iri hati kepadanya mengingat orang sudah begitu fanatik dan mencintainya. Itu hanya persaingan yang membangkitkan soal lama, yang tak ada hubungannya sama sekali dengan keadilan.
Rasa terkejut Khalid tidak hilang begitu saja sesudah pertemuan itu. Dalam hati ia masih bertanya-tanya, bercampur bingung: Apa maunya Umar gerangan dengan dia?
Tidak wajar rasanya jika jawabnya cukup bahwa hadiah yang diberikannya kepada Asy'as dari dirinya sendiri, dan sudah tentu dia sudah menulis kepada Abu Ubaidah lebih dari apa yang sudah terjadi itu.
Andaikata maksudnya sekadar untuk mengetahui asal usul yang sepuluh ribu itu, niscaya cukup Abu Ubaidah saja menanyakan kepada Khalid dan menyampaikan jawabannya kepada Amirulmukminin.
Bahwa dia sampai disidang di tengah-tengah orang banyak dengan begitu hina, tentu ada masalah lain di balik itu. Dan masalah itu tentu penting sekali, terbukti dari kebingungan Abu Ubaidah sendiri hingga ia memilih diam.
Menurut Haekal, untuk menghilangkan kebingungannya dan untuk mengetahui berita dengan sejelas-jelasnya haruskah Khalid menanyakah sendiri kepada Abu Ubaidah?
Ia membicarakan masalah ini kepada beberapa orang stafnya. Mereka mengatakan kepadanya bahwa orang ramai bicara bahwa dia mengatakan, uang yang dihadiahkan kepada Asy'as itu dari harta perolehan perang dan dia akan dipersalahkan dan Abu Ubaidah akan mengembalikannya ke tempat tugasnya.
Perlukah kiranya ia menemui Abu Ubaidah dan membisikkan kepadanya apa yang sebenarnya dikehendaki Umar supaya ia dikembalikan ke Kinnasrin?
Dalam hal ini ia masih maju mundur sesudah ia bertanya-tanya dalam hatinya. Kalau ia lakukan hal itu dan orang tahu, martabatnya di mata mereka akan jatuh, kepercayaan mereka kepadanya akan hilang.
Ia pergi menemui saudara perempuannya, Fatimah binti Walid, untuk dimintai pendapat. Saudaranya itu mengatakan: "Umar memang tak pernah mencintaimu. Keinginannya hanya supaya Anda mendustakan hatimu, kemudian ia akan memecatmu."
Khalid setuju dengan pendapatnya itu, dan sambil mencium kepala Fatimah ia berkata: "Anda benar." Ia hanya tinggal menunggu apa yang akan terjadi atas dirinya.
Sementara itu sedang terjadi di Hims, di Madinah Umar sedang menunggu kedatangan Khalid dalam keadaan yang sudah dipecat dari jabatannya.
Pemecatan Khalid itu dipicu masalah pemberian hadiah kepada Al-Asy'as bin Qais 10.000 dirham. Bilal bin Rabah telah menginterogasi dirinya. Khalid mengaku bahwa duit itu adalah milik pribadinya. Bukan uang dari pampasan perang. Bukan uang negara.
Haekal mengisahkan menyaksikan peristiwa itu mereka berkata satu sama lain, mereka berlainan pendapat satu sama lain. Satu pihak berpendapat bahwa Amirulmukminin benar. Dalam mengadili Khalid, ia tidak membedakan-bedakan, sama seperti ketika mengadili wakil-wakilnya yang lain.
Sementara yang sebagian lagi berpendapat bahwa Khalid pemimpin militer Muslimin yang terbaik dan terbanyak memperoleh kemenangan, maka jika akan menilai kesalahan-kesalahannya harusnya juga disertai penilaian terhadap jasa-jasanya yang begitu agung, dan jika Umar mau mengadilinya, seharusnya ia dipanggil dan diadili sendiri dan jangan disidangkan sebagai tertuduh kejahatan di tengah-tengah pasukan yang sangat menghormati dan mengaguminya.
Orang-orang yang sudah begitu fanatik kepada Khalid, penghinaan macam itu sungguh telah menimbulkan kemarahan dalam hati mereka. Mereka lalu teringat pada peranan Umar tatkala baru menggantikan Abu Bakar dan pemecatan Khalid dari pimpinan militer.
Mereka pula yang menduga bahwa Amirulmukminin memperlakukan Khalid dengan penghinaan serupa itu karena ia iri hati kepadanya mengingat orang sudah begitu fanatik dan mencintainya. Itu hanya persaingan yang membangkitkan soal lama, yang tak ada hubungannya sama sekali dengan keadilan.
Rasa terkejut Khalid tidak hilang begitu saja sesudah pertemuan itu. Dalam hati ia masih bertanya-tanya, bercampur bingung: Apa maunya Umar gerangan dengan dia?
Tidak wajar rasanya jika jawabnya cukup bahwa hadiah yang diberikannya kepada Asy'as dari dirinya sendiri, dan sudah tentu dia sudah menulis kepada Abu Ubaidah lebih dari apa yang sudah terjadi itu.
Andaikata maksudnya sekadar untuk mengetahui asal usul yang sepuluh ribu itu, niscaya cukup Abu Ubaidah saja menanyakan kepada Khalid dan menyampaikan jawabannya kepada Amirulmukminin.
Bahwa dia sampai disidang di tengah-tengah orang banyak dengan begitu hina, tentu ada masalah lain di balik itu. Dan masalah itu tentu penting sekali, terbukti dari kebingungan Abu Ubaidah sendiri hingga ia memilih diam.
Menurut Haekal, untuk menghilangkan kebingungannya dan untuk mengetahui berita dengan sejelas-jelasnya haruskah Khalid menanyakah sendiri kepada Abu Ubaidah?
Ia membicarakan masalah ini kepada beberapa orang stafnya. Mereka mengatakan kepadanya bahwa orang ramai bicara bahwa dia mengatakan, uang yang dihadiahkan kepada Asy'as itu dari harta perolehan perang dan dia akan dipersalahkan dan Abu Ubaidah akan mengembalikannya ke tempat tugasnya.
Perlukah kiranya ia menemui Abu Ubaidah dan membisikkan kepadanya apa yang sebenarnya dikehendaki Umar supaya ia dikembalikan ke Kinnasrin?
Dalam hal ini ia masih maju mundur sesudah ia bertanya-tanya dalam hatinya. Kalau ia lakukan hal itu dan orang tahu, martabatnya di mata mereka akan jatuh, kepercayaan mereka kepadanya akan hilang.
Ia pergi menemui saudara perempuannya, Fatimah binti Walid, untuk dimintai pendapat. Saudaranya itu mengatakan: "Umar memang tak pernah mencintaimu. Keinginannya hanya supaya Anda mendustakan hatimu, kemudian ia akan memecatmu."
Khalid setuju dengan pendapatnya itu, dan sambil mencium kepala Fatimah ia berkata: "Anda benar." Ia hanya tinggal menunggu apa yang akan terjadi atas dirinya.
Sementara itu sedang terjadi di Hims, di Madinah Umar sedang menunggu kedatangan Khalid dalam keadaan yang sudah dipecat dari jabatannya.