Mengabadikan Orang Besar: Ini Mengapa Tak Ada Patung Nabi dan Khulafaur Rasyidin

Minggu, 21 Juli 2024 - 19:56 WIB
loading...
Mengabadikan Orang Besar:...
Rasulullah SAW dan para khalifah tidak ada yang diabadikan dengan berbentuk materi dan patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat. Ilustrasi: Ist
A A A
Islam mengharamkan patung. Lalu, bagaimana jika itu dimaksudkan untuk mengenang orang-orang besar yang berjasa mengisi lembaran sejarah, sekaligus sebagai peringatan bagi generasi berikutnya terhadap jasa-jasa dan keunggulan yang pernah mereka capai?

Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) mengatakan untuk menjawab persoalan ini, perlu dijelaskan, bahwa Islam sama sekali tidak suka berlebih-lebihan dalam menghargai seseorang, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut, baik mereka yang masih hidup ataupun yang sudah mati.

Rasulullah SAW pernah bersabda: "Jangan kamu menghormat aku seperti orang-orang Nasrani menghormati Isa bin Maryam, tetapi katakanlah, bahwa Muhammad itu hamba Allah dan Rasul-Nya." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)

Mereka bermaksud akan berdiri apabila melihat Nabi, sebagai suatu penghormatan kepadanya dan untuk mengagungkan kedudukannya.



Cara semacam itu dilarang oleh Nabi dengan sabdanya: "Jangan kamu berdiri seperti orang-orang ajam (selain Arab) yang berdiri untuk menghormat satu sama lain." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)

Beliau pun memberikan suatu peringatan kepada umatnya, sikap yang berlebih-lebihan terhadap kedudukan Nabi sesudah beliau mati, maka bersabdalah Nabi sebagai berikut: "Jangan kamu menjadikan kuburku ini sebagai tempat hari raya." (Riwayat Abu Daud)

Dan dalam doanya kepada Tuhannya beliau mengatakan: "Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah." (Riwayat Malik)

Ada beberapa orang datang kepada Nabi SAW, mereka itu memanggil Nabi dengan kata-katanya: "Hai orang baik kami dan anak orang baik kami, hai tuan kami dan anak tuan kami."

Mendengar panggilan seperti itu, Nabi kemudian menegurnya dengan sabdanya sebagai berikut:

"Hai manusia! Ucapkanlah seperti ucapanmu biasa atau hampir seperti ucapanmu yang biasa itu, jangan kamu dapat diperdayakan oleh setan. Saya adalah Muhammad, hamba Allah dan pesuruh-Nya. Saya tidak suka kamu mengangkat aku lebih dari kedudukanku yang telah Allah tempatkan aku." (Riwayat Nasa'i)



Al-Qardhawi mengatakan pendirian Islam dalam masalah menghormat orang, tidak suka seseorang itu diangkat-angkat seperti berhala yang didirikan dengan biaya beribu-ribu supaya orang-orang memberikan penghormatan kepadanya.

Banyak sekali material yang dimasukkan oleh penganjur-penganjur kebesaran dan juru kunci tempat-tempat bersejarah melalui pintu orang-orang atau pengikut dan ekornya yang telah mampu mendirikan berhala ini. Dengan begitu, maka pada hakikatnya mereka ini telah menyesatkan rakyat dengan menggunakan orang-orang besar yang jujur itu.

Keabadian hakiki yang dikenal di kalangan umat Islam hanyalah Allah yang mengetahui segala yang rahasia dan tersembunyi, yang tidak sesat dan tidak lupa. Sedang kebanyakan para pembesar yang namanya diabadikan di sisi Allah adalah orang-orang yang tidak begitu dikenal oleh manusia.

Hal ini justru karena Allah suka kepada orang-orang yang baik, takwa dan tidak perlu menampak-nampakkan kepada orang lain. Mereka ini apabila datang tidak dikenal, dan apabila pergi tidak dicari.

Sekalipun keabadian itu sangat perlu bagi manusia, tetapi tidak mesti dengan didirikannya patung untuk orang-orang besar yang perlu diabadikan itu. Cara untuk mengabadikan yang dibenarkan oleh Islam ialah mengabadikan mereka itu ke dalam hati dan lisan, yaitu dengan menyebut kesuksesan perjuangan mereka dan peninggalan-peninggalan yang baik-baik yang ditinggalkan untuk generasi sesudah mereka. Dengan demikian mereka itu akan selalu menjadi sebutan orang-orang belakangan.

Rasulullah SAW sendiri dan begitu juga para khalifah dan pemuka-pemuka Islam lainnya, tidak ada yang diabadikan dengan berbentuk materi dan patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat.



Keabadian mereka itu semata-mata adalah karena sifat-sifat baiknya (manaqibnya) yang diceriterakan oleh orang-orang dulu (salaf) kepada orang-orang belakangan (khalaf) dan yang diceriterakan oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya. Sifat beliau itu tertanam dalam hati, selalu disebut dalam lisan, selalu mengumandang di majlis dan klub-klub serta memenuhi hati, walaupun tanpa diwujudkan dengan patung dan gambar.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3318 seconds (0.1#10.140)