Bagaimana Hukum Penghasilan dari Profesi Waria?
loading...
A
A
A
Pernah membayangkan profesi waria atau banci ? Barangkali yang terlintas di benak tentang profesi waria ini adalah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak, penjaja cinta (PSK) atau desainer busana. Bila merujuk ke penjelasan para salaf, ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi waria atau banci namun kini banyak dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai profesi keren, seperti menjadi penyanyi.
Sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau rahimahullah mengatakan, “Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud. Namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian”. (HR Ahmad)
Dikutip dari tulisan ceramahnya di almanaj, Ustaz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA, menjelaskan bahwa hadis Imam Ahmad rahimahullah ini, menganggap penghasilan seorang banci atau waria sebagai sesuatu yang makruh
Bila dicermati, maka yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad rahimahullah tadi adalah karâhah tahrîm, alias makruh yang berarti haram. Sebab beliau rahimahullah mengaitkannya dengan hal-hal yang sifatnya haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang mati.
Jadi, seorang penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini, menurut para salaf adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena didapat melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku seperti wanita (pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.
Demikian pula banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini juga makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini jelas haram hukumnya.
Apalagi yang berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi karena mereka melakukan perbuatan kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.
Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih bahwa Allâh Azza wa Jalla melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang menyerupai lelaki.
Demikian pula dalam hadits shahih dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran (HR. al-Bukhâri dan Muslim).
Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya; sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena (pacar) dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron).
Imam Asy Syaukani mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita, dan sebagaimana diketahui, hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita”.
Adapun menurut Ulama Syâfi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah gemulai seperti orang banci.
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makrûh.
As Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla dan takut kepadanya…”.
Wallahu A'lam
Sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau rahimahullah mengatakan, “Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud. Namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian”. (HR Ahmad)
Dikutip dari tulisan ceramahnya di almanaj, Ustaz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA, menjelaskan bahwa hadis Imam Ahmad rahimahullah ini, menganggap penghasilan seorang banci atau waria sebagai sesuatu yang makruh
Bila dicermati, maka yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad rahimahullah tadi adalah karâhah tahrîm, alias makruh yang berarti haram. Sebab beliau rahimahullah mengaitkannya dengan hal-hal yang sifatnya haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang mati.
Jadi, seorang penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini, menurut para salaf adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena didapat melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku seperti wanita (pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.
Demikian pula banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini juga makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini jelas haram hukumnya.
Apalagi yang berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi karena mereka melakukan perbuatan kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.
Beberapa Kebiasaan Banci
1. Memacari atau mewarnai tangan dan kaki
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hena) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini.Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih bahwa Allâh Azza wa Jalla melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang menyerupai lelaki.
Demikian pula dalam hadits shahih dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran (HR. al-Bukhâri dan Muslim).
Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya; sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena (pacar) dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron).
Imam Asy Syaukani mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita, dan sebagaimana diketahui, hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita”.
2. Menabuh gendang
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Menyayi, menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para salaf menamakan kaum lelaki yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats). Mereka menamakan para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat popular dalam ucapan mereka”.3. Menyanyi
Syaikhul Islam juga mengatakan, “Salah satu perbuatan muhdats yang mereka (kaum sufi) adakan ialah mendengarkan nyanyian para banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum wanita yang jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan…”.4. Berjoget
Menurut madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan joget adalah kafir. Joget di sini artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang disertai membungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian tarekat sufi.Adapun menurut Ulama Syâfi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah gemulai seperti orang banci.
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makrûh.
As Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla dan takut kepadanya…”.
Wallahu A'lam
(wid)