Pandangan Syariat Terkait Waria dan Sanksinya
loading...
A
A
A
Dalam Islam dijelaskan bahwa ada dua kategori tentang siapa yang termasuk golongan waria atau banci ini. Definisi tersebut, berangkat dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri berikut :
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir si Fulan, sedangkan Umar mengusir si Fulan
Lantas bagaimana tinjauan atau aturan syariat tentang kedudukan waria dalam kehidupan sehari-hari ini? Menurut Ustaz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA dalam tulisan dakwahnya di almanaj, jika yang bersangkutan adalah waria alami, maka ia sah menjadi imam salat. Dan ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap banci-nya secara kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.
Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik, dan orang fasik hukumnya makrûh menjadi imam menurut ulama Hanafiyah, Syâfi’iyah, Zhâhiriyah, dan salah satu riwayat dalam mazhab Mâliki.
Adapun menurut Ulama Hanabilah dan Mâlikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam salat. Ini didasarkan pendapat Imam az-Zuhri rahimahullah yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh salat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi”, sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Bukhâri.
Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita Ajnabiyah?Dijelaskan Ustaz Sufyan, masalah ini tak lepas dari dua kondisi; Pertama, orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita. Dalam kondisi seperti ini tidak ada khilaf diantara para Ulama bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik.
Kedua, ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita. Maka ada dua pendapat dalam hal ini:
Ulama Mâlikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allâh Azza wa Jalla ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yaitu :
… atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)...[20]
Ulama Syâfi’iyah dan mayoritas Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal.
Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah Radhiyallahu anha berikut :
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci. Maka si banci tadi berkata kepada Abdullâh saudara Ummu Salamah Radhiyallahu anha, “Hai Abdullâh, jika besok Allâh Azza wa Jalla menaklukkan kota Thâif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailân yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan!”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita)”.
Akan tetapi hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita adalah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki ajnabi (bukan mahramnya). Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita Muslimah bila dibiarkan keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang tidak bersyahwat sama sekali terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.
Kesimpulannya, pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’ân.
Pertama. Orang yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zîr (ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim), yang sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya.
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ» قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir si Fulan, sedangkan Umar mengusir si Fulan
Lantas bagaimana tinjauan atau aturan syariat tentang kedudukan waria dalam kehidupan sehari-hari ini? Menurut Ustaz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA dalam tulisan dakwahnya di almanaj, jika yang bersangkutan adalah waria alami, maka ia sah menjadi imam salat. Dan ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap banci-nya secara kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.
Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik, dan orang fasik hukumnya makrûh menjadi imam menurut ulama Hanafiyah, Syâfi’iyah, Zhâhiriyah, dan salah satu riwayat dalam mazhab Mâliki.
Adapun menurut Ulama Hanabilah dan Mâlikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam salat. Ini didasarkan pendapat Imam az-Zuhri rahimahullah yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh salat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi”, sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Bukhâri.
Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita Ajnabiyah?Dijelaskan Ustaz Sufyan, masalah ini tak lepas dari dua kondisi; Pertama, orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita. Dalam kondisi seperti ini tidak ada khilaf diantara para Ulama bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik.
Kedua, ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita. Maka ada dua pendapat dalam hal ini:
Ulama Mâlikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allâh Azza wa Jalla ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yaitu :
أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ
… atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)...[20]
Ulama Syâfi’iyah dan mayoritas Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal.
Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah Radhiyallahu anha berikut :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ، فَإِنِّي أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci. Maka si banci tadi berkata kepada Abdullâh saudara Ummu Salamah Radhiyallahu anha, “Hai Abdullâh, jika besok Allâh Azza wa Jalla menaklukkan kota Thâif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailân yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan!”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita)”.
Akan tetapi hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita adalah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki ajnabi (bukan mahramnya). Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita Muslimah bila dibiarkan keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang tidak bersyahwat sama sekali terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.
Kesimpulannya, pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’ân.
Sanksi Bagi Waria
Lelaki yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tak lepas dari dua keadaan:Pertama. Orang yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zîr (ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim), yang sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya.
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi: