Surat Al-Ma'un: Hakikat Buah Kepercayaan tentang Hari Akhir
loading...
A
A
A
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan ayat pertama surat Al-Ma'un mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari akhir , yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.
Allah SWT berfirman:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.
Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat,
(yaitu) yang lalai terhadap salatnya,
yang berbuat riya,
dan enggan (memberi) bantuan.
Menurut Quraish, Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri sendiri.
"Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya," kata Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007).
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
"Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa yang mendustakan agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional.
Akan tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya."
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan.
Sedangkan surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia.
Allah SWT berfirman:
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ
Itulah orang yang menghardik anak yatim
وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ
dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ
Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat,
الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ
(yaitu) yang lalai terhadap salatnya,
الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ
yang berbuat riya,
وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَࣖ
dan enggan (memberi) bantuan.
Menurut Quraish, Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri sendiri.
"Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya," kata Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007).
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
"Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa yang mendustakan agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional.
Akan tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya."
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan.
Sedangkan surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia.