Muhammad Quthub: Islam Cenderung Mendorong Perempuan di Rumah
loading...
A
A
A
Dalam al-Quran surat Al-Ahzab ayat 33, antara lain berbunyi:
Artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu."
Muhammad Quthub , salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun menulis, dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. "Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar," ujarnya.
Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh menjelaskan:
Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja , ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu.
Baca Juga: surat Thaha
"Maka Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan menyebabkan engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah payah."
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut.
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak suami atau ayah.
Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) mengatakan pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih dikembangkan lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi SAW, sahabat-sahabat beliau, dan para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak jenis dan ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita, seperti: "Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab Peperangan Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban," dan lain-lain .
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi SAW aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad SAW, serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses.
Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.
Sementara itu, Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar ra sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
"Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi SAW," ujar Quraish Shihab.
Namun, betapa pun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Menurut Quraish, secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى
Artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu."
Muhammad Quthub , salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun menulis, dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. "Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar," ujarnya.
Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh menjelaskan:
Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja , ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu.
Baca Juga: surat Thaha
"Maka Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan menyebabkan engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah payah."
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut.
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak suami atau ayah.
Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) mengatakan pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih dikembangkan lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi SAW, sahabat-sahabat beliau, dan para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak jenis dan ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita, seperti: "Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab Peperangan Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban," dan lain-lain .
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi SAW aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad SAW, serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses.
Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.
Sementara itu, Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar ra sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
"Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi SAW," ujar Quraish Shihab.
Namun, betapa pun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Menurut Quraish, secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
(mhy)