Perempuan Berpolitik: Berikut Ini Dalil yang Melarang dan Membolehkan

Selasa, 20 Agustus 2024 - 18:27 WIB
loading...
Perempuan Berpolitik:...
Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam politik. Ilustrasi: Ist
A A A
Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik? Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007 menjelaskan paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka.

1. Ayat Ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' (lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) ( QS An-Nisa, [4] : 34)

2. Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki; keberagamaannya pun demikian.

3. Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra'at (tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan ).



Quraish mengatakan ayat dan hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya menulis tentang makna ayat di atas:

Para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan, karena lelaki berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka, juga (karena) hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut bertempur. Sedangkan semua itu tidak terdapat pada wanita.

Selanjutnya penafsir ini, menegaskan bahwa:

Ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Wanita berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu bukan perintah maksiat.

Menurut Quraish, pendapat ini diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian banyak mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak harus dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan berumah tangga.



Kata ar-rijal dalam ayat ar-rijalu qawwamuna 'alan nisa', Quraish menjelaskan, bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah "suami" karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka.

Seandainya yang dimaksud dengan kata "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian.

Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Ayat ini secara khusus akan dibahas lebih jauh ketika menyajikan peranan, hak, dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga Islam.

Adapun mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu digarisbawahi bahwa hadis ini tidak bersifat umum.

Ini terbukti dan redaksi hadis tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi, melalui Abu Bakrah.

Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, "Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan." (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah).



"Jadi sekali lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan," ujar Quraish Shihab.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1476 seconds (0.1#10.140)