5 Sifat Pemimpin Terpuji Menurut Al-Quran
loading...
A
A
A
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan para khalifah yang disebut namanya dalam Al-Quran , yakni Adam dan Daud as , keduanya pernah melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun terhadap orang lain. Namun, mereka berdua bertobat dan mendapat pengampunan.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca antara lain QS 7 :23), sedangkan "penganiayaan" yang dilakukan oleh Daud dapat terlihat pada kisah dua orang yang bertikai dan datang kepadanya meminta putusan ( QS 38 :22, dan seterusnya).
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996) menjelaskan bahwa ini menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai itu berkata kepada Daud:
"Berilah keputusan antara kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus."
Menurut Quraish, dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan Daud), terlihat betapa Tuhan menekankan pentingnya keadilan sampai-sampai permintaan untuk memberi putusan yang hak diikuti lagi dengan peringatan agar tidak menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung makna yang sama dengan permintaan pertama --bahkan walaupun Daud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25).
Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
"Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu ..." (QS 38:26)
Menurut Quraish, memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa nafsu , belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua orang yang berselisih itu, yakni Wa ihdina ila sawa' al-shirath.
"Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang Imam/a'immah, dalam kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam kebaikan," ujar Quraish Shihab.
"Untuk maksud tersebut, terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud," lanjutnya.
Menurutnya, kata a'immah terdapat dalam lima ayat Al-Quran. Dua di antaranya dalam konteks pembicaraan tentang pemimpin-pemimpin yang diteladani orang-orang kafir, yakni Al-Taubah ayat 9, dan Al-Qashash ayat 4. Sedangkan tiga lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji, yaitu Al-Anbiya' ayat 73, Al-Qashash ayat 5, dan Al-Sajdah ayat 24.
"Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS 28:5 tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan ini berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling melengkapi," jelas Quraish.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:
1. Yahduna bi amrina.
2. Wa awhayna dayhim fi'la al-khayrat.
3. 'Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan Ita'Al-Zakat).
4. Yuqinun.
5. Shabaru.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan Wa jaalnahum aimmat lamma shabaru.
"Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang khalifah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam kenyataan," ujar Quraish.
yâ dâwûdu innâ ja‘alnâka khalîfatan fil-ardli faḫkum bainan-nâsi bil-ḫaqqi wa lâ tattabi‘il-hawâ fa yudlillaka ‘an sabîlillâh, innalladzîna yadlillûna ‘an sabîlillâhi lahum ‘adzâbun syadîdum bimâ nasû yaumal-ḫisâb
Artinya: (Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS 38:26)
Quraish Shihab menjelaskan arti wa ihdina ila sawa al-shirath (QS 38:26), yang merupakan salah satu sikap yang dituntut dari seorang khalifah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat.
Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi Wa ihdina ila ..., sedang dalam ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat yang dikutip di atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi amrina.
Menurut Quraish, salah satu perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila.
Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni "memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk".
Ini berarti bahwa seorang khalifah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni Wa awhayna ilayhim fi'la al-khayrat.
Jika seorang berkata, "Yu'jibuni an taqum", maka ini berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami dari adanya huruf an pada susunan redaksi tersebut.
Sedangkan bila dikatakan, "Yu'jibuni qiyamuka", maka redaksi yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan kepadanya kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian Abdul-Qadir Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dala'il Al-Ijaz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah membudaya pada dirinya.
Yuqinun dan 'abidin merupakan dua sifat yang berbeda. Menurut Quraish, yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka. Kedua sifat ini sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca antara lain QS 7 :23), sedangkan "penganiayaan" yang dilakukan oleh Daud dapat terlihat pada kisah dua orang yang bertikai dan datang kepadanya meminta putusan ( QS 38 :22, dan seterusnya).
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996) menjelaskan bahwa ini menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai itu berkata kepada Daud:
"Berilah keputusan antara kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus."
Menurut Quraish, dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan Daud), terlihat betapa Tuhan menekankan pentingnya keadilan sampai-sampai permintaan untuk memberi putusan yang hak diikuti lagi dengan peringatan agar tidak menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung makna yang sama dengan permintaan pertama --bahkan walaupun Daud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25).
Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
"Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu ..." (QS 38:26)
Menurut Quraish, memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa nafsu , belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua orang yang berselisih itu, yakni Wa ihdina ila sawa' al-shirath.
"Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang Imam/a'immah, dalam kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam kebaikan," ujar Quraish Shihab.
"Untuk maksud tersebut, terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud," lanjutnya.
Menurutnya, kata a'immah terdapat dalam lima ayat Al-Quran. Dua di antaranya dalam konteks pembicaraan tentang pemimpin-pemimpin yang diteladani orang-orang kafir, yakni Al-Taubah ayat 9, dan Al-Qashash ayat 4. Sedangkan tiga lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji, yaitu Al-Anbiya' ayat 73, Al-Qashash ayat 5, dan Al-Sajdah ayat 24.
"Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS 28:5 tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan ini berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling melengkapi," jelas Quraish.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:
1. Yahduna bi amrina.
2. Wa awhayna dayhim fi'la al-khayrat.
3. 'Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan Ita'Al-Zakat).
4. Yuqinun.
5. Shabaru.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan Wa jaalnahum aimmat lamma shabaru.
"Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang khalifah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam kenyataan," ujar Quraish.
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِࣖ
yâ dâwûdu innâ ja‘alnâka khalîfatan fil-ardli faḫkum bainan-nâsi bil-ḫaqqi wa lâ tattabi‘il-hawâ fa yudlillaka ‘an sabîlillâh, innalladzîna yadlillûna ‘an sabîlillâhi lahum ‘adzâbun syadîdum bimâ nasû yaumal-ḫisâb
Artinya: (Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS 38:26)
Quraish Shihab menjelaskan arti wa ihdina ila sawa al-shirath (QS 38:26), yang merupakan salah satu sikap yang dituntut dari seorang khalifah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat.
Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi Wa ihdina ila ..., sedang dalam ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat yang dikutip di atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi amrina.
Menurut Quraish, salah satu perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila.
Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni "memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk".
Ini berarti bahwa seorang khalifah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni Wa awhayna ilayhim fi'la al-khayrat.
Jika seorang berkata, "Yu'jibuni an taqum", maka ini berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami dari adanya huruf an pada susunan redaksi tersebut.
Sedangkan bila dikatakan, "Yu'jibuni qiyamuka", maka redaksi yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan kepadanya kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian Abdul-Qadir Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dala'il Al-Ijaz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah membudaya pada dirinya.
Yuqinun dan 'abidin merupakan dua sifat yang berbeda. Menurut Quraish, yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka. Kedua sifat ini sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.
(mhy)