Mengapa Takut Mati? Hidup di Akhirat Jauh Lebih Baik Daripada Kehidupan Dunia
loading...
A
A
A
BANYAK faktor yang membuat seseorang enggan mati . Ada orang yang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian . Mungkin juga karena menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan didapati nanti.
Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) menyebut betapa sebagian dari faktor-faktor tersebut pada hakikatnya bukan pada tempatnya.
Al-Quran seperti dikemukakan berusaha menggambarkan bahwa hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia. "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia" ( QS Al-Dhuha [93] : 4).
Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya, dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua secara perlahan.
Mereka yang mati mendadak maupun yang normal, semuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya roh dan jasad," ujarnya.
Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi SAW- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras."
Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) ( QS An-Nazi'at [79] : 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut roh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur.
Surat Al-Zumar (39) : 42 mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah SAW untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah:
"Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)."
Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39) : 42 sebagai berikut:
"Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi."
Quraish mengatakan kalau demikian, mati itu sendiri "lezat dan nikmat," bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia.
Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian.
Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkannya kepadanya apa yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan."
Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) menyebut betapa sebagian dari faktor-faktor tersebut pada hakikatnya bukan pada tempatnya.
Al-Quran seperti dikemukakan berusaha menggambarkan bahwa hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia. "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia" ( QS Al-Dhuha [93] : 4).
Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya, dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua secara perlahan.
Mereka yang mati mendadak maupun yang normal, semuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya roh dan jasad," ujarnya.
Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi SAW- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras."
Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) ( QS An-Nazi'at [79] : 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut roh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.
Baca Juga
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur.
Surat Al-Zumar (39) : 42 mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah SAW untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah:
"Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)."
Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39) : 42 sebagai berikut:
"Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi."
Quraish mengatakan kalau demikian, mati itu sendiri "lezat dan nikmat," bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia.
Baca Juga
Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian.
Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkannya kepadanya apa yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan."