Nabi Muhammad dalam Al-Qur'an: Kisah Masa Prakenabian dan Kaitannya dengan Surat Alam Nasyrah

Kamis, 12 September 2024 - 12:32 WIB
loading...
Nabi Muhammad dalam...
Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian beliau.Ilustrasi: Ist
A A A
Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian beliau. Antara lain, "Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?" ( QS Al-Dhuha [93] : 6-8).

Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan dilindungi oleh paman dan kakeknya. Beliau hidup di dalam keresahan dan kebimbangan melihat sikap masyarakatnya, lalu Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul .

Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan, khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga dengan istrinya, Khadijah.



Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi Muhammad SAW pada masa kanak-kanaknya, adalah surat Alam Nasyrah ayat pertama: "Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?"

Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan "memotong/membedah". "Memang, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, kata itu mengandung arti membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya," ujar Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".

Menurutnya, yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang "pembedahan" yang pernah dilakukan oleh para malaikat terhadap Nabi Muhammad SAW kala beliau remaja. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An-Naisaburi.

Akan tetapi sepanjang penelitian penulis kata tersebut dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu pun yang digunakan dengan arti harfiah, apalagi bermakna pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa as di dalam Al-Quran.

"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku" ( QS Thaha [20] : 25-28)



Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah membaca satu kitab atau menulis satu kata sebelum datangnya wahyu Al-Quran.

"Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu, (andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)" ( QS Al-'Ankabut [29] : 48).

Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau SAW adalah orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi Saw. menganjurkan umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri tidak melakukannya, karena Allah SWT ingin menjadikan beliau sebagai bukti bahwa informasi yang diperolehnya benar-benar bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah SWT.

Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau membaca hanya terbatas sampai sebelum terbukti kebenaran ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya ide ini dikuatkan antara lain oleh kata "sebelumnya" yang terdapat pada ayat di atas.



Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran ( QS Al-A'raf [7] : 157 dan 158) , dan keduanya menjadi sifat Nabi Muhammad SAW. Memang kedua ayat itu turun di Makkah, meskipun ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan, "Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta huruf), seorang Rasul di antara mereka" ( QS Al-Jum'ah [62] : 2)

Di sisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan seseorang.

Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis, dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia bermohon, "Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami adalah aib."

Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah diperoleh.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1585 seconds (0.1#10.140)