Mengharamkan Hal yang Halal Sama dengan Syirik
loading...
A
A
A
SUATU kali, Ali bin Abi Thalib RA berdiri di tengah khalayak penduduk Kuffah. Diambilnya sebuah bejana berisi air, kemudian ia minum sembari berdiri. Spontan saja tingkah Ali menjadi sorotan orang-orang. Apa pasal yang terjadi pada sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW itu? Mengapa ia mempertontonkan kelakuan ghairu muaddib (kurang adab) karena minum sambil berdiri? (
)
Ali pun bertutur, "Sebagian orang tidak menyukai minum sambil berdiri. Padahal, Nabi SAW pernah melakukan seperti yang telah aku lakukan ini." (HR Bukhari).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari karangannya menjelaskan, itulah yang dilakoni Ali bin Abi Thalib RA dalam mencegah kemungkaran. Kemungkaran bukan hanya dalam konteks menghalalkan yang haram, melainkan juga mengharamkan yang halal. ( )
Inilah yang ditegaskan Rasulullah SAW, "Siapa yang mengharamkan yang halal sama dengan orang yang menghalalkan yang haram." (HR Thabrani). Ali RA khawatir jika penduduk Kuffah menganggap minum dalam kondisi berdiri adalah terlarang.
Jika dibiarkan berlarut-larut, masyarakat awam akan meyakini perbuatan itu adalah haram. Ibnu Hajar mengatakan, hendaklah orang alim yang mengetahui hukum segera menjelaskan hukum persoalan tersebut sekalipun tidak diminta.
Rasulullah SAW sendiri melakukan banyak hal untuk mengubah pola pikir masyarakat Arab yang suka mengharamkan sesuatu yang halal.
Misalnya, adat masyarakat Arab mengharamkan untuk menikahi wanita yang telah diceraikan anak angkat. Padahal, tak ada larangan seperti ini dalam Islam . Rasulullah SAW pun menikahi Zainab binti Jahsy setelah diceraikan anak angkat Beliau SAW, Zaid bin Haritsah.
Syirik
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi dalam buku Halal dan Haram dalam Islam mengatakan Islam memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan.
Nabi Muhammad SAW sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya, "Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan, "Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam berakidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah SAW dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah setan kepada mereka. Setan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, menutut Syaikh Yusuf Qardhawi, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya.
Di antaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.
Ali pun bertutur, "Sebagian orang tidak menyukai minum sambil berdiri. Padahal, Nabi SAW pernah melakukan seperti yang telah aku lakukan ini." (HR Bukhari).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari karangannya menjelaskan, itulah yang dilakoni Ali bin Abi Thalib RA dalam mencegah kemungkaran. Kemungkaran bukan hanya dalam konteks menghalalkan yang haram, melainkan juga mengharamkan yang halal. ( )
Inilah yang ditegaskan Rasulullah SAW, "Siapa yang mengharamkan yang halal sama dengan orang yang menghalalkan yang haram." (HR Thabrani). Ali RA khawatir jika penduduk Kuffah menganggap minum dalam kondisi berdiri adalah terlarang.
Jika dibiarkan berlarut-larut, masyarakat awam akan meyakini perbuatan itu adalah haram. Ibnu Hajar mengatakan, hendaklah orang alim yang mengetahui hukum segera menjelaskan hukum persoalan tersebut sekalipun tidak diminta.
Rasulullah SAW sendiri melakukan banyak hal untuk mengubah pola pikir masyarakat Arab yang suka mengharamkan sesuatu yang halal.
Misalnya, adat masyarakat Arab mengharamkan untuk menikahi wanita yang telah diceraikan anak angkat. Padahal, tak ada larangan seperti ini dalam Islam . Rasulullah SAW pun menikahi Zainab binti Jahsy setelah diceraikan anak angkat Beliau SAW, Zaid bin Haritsah.
Syirik
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi dalam buku Halal dan Haram dalam Islam mengatakan Islam memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan.
Nabi Muhammad SAW sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya, "Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan, "Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam berakidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah SAW dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah setan kepada mereka. Setan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, menutut Syaikh Yusuf Qardhawi, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya.
Di antaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.