Wawasan Al-Qur’an: Haruskah Seni Suara Islami Itu Mesti Berbahasa Arab?
loading...
A
A
A
APAKAH seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? Ataukah harus berbicara tentang ajaran Islam ? Dengan tegas jawabannva adalah: Tidak. Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis.
"Kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam. Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. 'Seni yang Islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini, dengan bahasa yang indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan Muhammad SAW dengan sangat indah sebagai tokoh genius yang memiliki berbagai keistimewaan.
Penggambaran semacam ini belum menjadikan karya seni yang ditampilkannya adalah seni yang Islami, karena ketika itu ia baru menampilkan beliau sebagai manusia, tanpa menggambarkan hubungan beliau dengan hakikat mutlak yaitu Allah SWT. Penggambaran itu tidak sejalan dengan pandangan Islam menyangkut manusia." (Baca selengkapnya Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah. hlm. 119).
Prof M Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana Anda berada. Anda boleh memadukannya dengan apa saja, boleh berimajinasi karena lapangan seni Islami adalah semua wujud. Tetapi sedikit catatan, yaitu jangan sampai seni yang Anda tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri.
“Jangan sampai, misalnya pemaparan tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya, tidak disertai dengan unsur roh Ilahi yang menjadikannya sebagai manusia,” tutur Quraish.
Jika catatan ini diindahkan, menurut Quraish, maka pada saat itu pula, seni telah mengayunkan langkah untuk berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyah.
Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran , bahkan melukiskan dengan sangat indah, kelemahan-kelemahan manusia; gejolak nafsu berahi pun ditampilkannya. Dan dirayunya pemuda yang ada di rumahnya? ditutupnya semua pintu amat rapat. Sambil berkata, inilah daku. Sesunguhnya dia telah bermaksud melakukan itu dan pemuda itu pun bermaksud ... Begitu sekelumit dari sisi kelemahan manusia yang diabadikan oleh Al-Quran dalam kisah Yusuf (QS 12: 23-24).
Tetapi Al-Quran tidak larut dalam melukiskannya --karena ini dapat menghanyutkan, tetapi juga dia tidak berhenti sampai di sana. Karena itu baru aspek debu tanah manusia, kisahnya dilanjutkan dengan menggambarkan kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu debu tanah dan ruh Ilahi itu pada sosok kedua hamba Allah itu.
Allah SWT meyakinkan manusia tentang ajarannya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Quran, antara lain melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya.
Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita belum memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa yang dicontohkan Al-Quran itu.
Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan gejolak hati manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh pengembangan, karena menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal, tetapi dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa bimbingan dan nafas penampilannya, kemudian setelah itu mempersilakan setiap seniman untuk menerjemahkan jiwa dan nafas tersebut dalam kreasi seninya.
Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia, dan kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan kisah sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia, menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu pengamalan, maka pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni yang bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak mendorong kejatuhannya.
Al-Quran dan sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu indah, berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada saat kita menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu telah memerankan pandangan Islam tentang alam, tidak jauh berbeda dengan ungkapan Rasulullah SAW ketika melukiskannya dengan bahasa lisan:
"Kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam. Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. 'Seni yang Islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini, dengan bahasa yang indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan Muhammad SAW dengan sangat indah sebagai tokoh genius yang memiliki berbagai keistimewaan.
Penggambaran semacam ini belum menjadikan karya seni yang ditampilkannya adalah seni yang Islami, karena ketika itu ia baru menampilkan beliau sebagai manusia, tanpa menggambarkan hubungan beliau dengan hakikat mutlak yaitu Allah SWT. Penggambaran itu tidak sejalan dengan pandangan Islam menyangkut manusia." (Baca selengkapnya Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah. hlm. 119).
Prof M Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana Anda berada. Anda boleh memadukannya dengan apa saja, boleh berimajinasi karena lapangan seni Islami adalah semua wujud. Tetapi sedikit catatan, yaitu jangan sampai seni yang Anda tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri.
“Jangan sampai, misalnya pemaparan tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya, tidak disertai dengan unsur roh Ilahi yang menjadikannya sebagai manusia,” tutur Quraish.
Jika catatan ini diindahkan, menurut Quraish, maka pada saat itu pula, seni telah mengayunkan langkah untuk berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyah.
Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran , bahkan melukiskan dengan sangat indah, kelemahan-kelemahan manusia; gejolak nafsu berahi pun ditampilkannya. Dan dirayunya pemuda yang ada di rumahnya? ditutupnya semua pintu amat rapat. Sambil berkata, inilah daku. Sesunguhnya dia telah bermaksud melakukan itu dan pemuda itu pun bermaksud ... Begitu sekelumit dari sisi kelemahan manusia yang diabadikan oleh Al-Quran dalam kisah Yusuf (QS 12: 23-24).
Tetapi Al-Quran tidak larut dalam melukiskannya --karena ini dapat menghanyutkan, tetapi juga dia tidak berhenti sampai di sana. Karena itu baru aspek debu tanah manusia, kisahnya dilanjutkan dengan menggambarkan kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu debu tanah dan ruh Ilahi itu pada sosok kedua hamba Allah itu.
Allah SWT meyakinkan manusia tentang ajarannya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Quran, antara lain melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya.
Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita belum memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa yang dicontohkan Al-Quran itu.
Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan gejolak hati manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh pengembangan, karena menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal, tetapi dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa bimbingan dan nafas penampilannya, kemudian setelah itu mempersilakan setiap seniman untuk menerjemahkan jiwa dan nafas tersebut dalam kreasi seninya.
Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia, dan kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan kisah sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia, menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu pengamalan, maka pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni yang bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak mendorong kejatuhannya.
Al-Quran dan sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu indah, berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada saat kita menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu telah memerankan pandangan Islam tentang alam, tidak jauh berbeda dengan ungkapan Rasulullah SAW ketika melukiskannya dengan bahasa lisan: