Perkembangan Penafsiran Al-Quran dari Segi Metode: Munculnya Ide Mawdhu'iy

Jum'at, 04 Oktober 2024 - 17:22 WIB
loading...
Perkembangan Penafsiran...
Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat. Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Sejarah perkembangan Tafsir dapat ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain.

"Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf," tulis Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).

Menurutnya, penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh.



Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah , Ali 'Imran , dan Al-Rum , sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.

Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.

Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut.

Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.

Namun, menurut Quraish, apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat.



"Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh," ujarnya.

Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut.

Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.

Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2252 seconds (0.1#10.140)