Tasawuf sebagai Olah Rohani: Islam Adalah Agama Pertengahan
loading...
A
A
A
Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" mengatakan Al-Quran banyak menegaskan tentang pentingnya orientasi kerohanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi.
"Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman rohani serta membuat agama itu lembut," kata Cak Nur.
Seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah , "Syariah Taurat didominasi oleh ketegaran, dan Syariah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan Syariah al-Quran menengahi dan meliputi keduanya itu."
Menurut Cak Nur, maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama pendahuluannya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran-ajaran kerohanian yang mendalam seperti pada agama Kristen.
"Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan," katanya.
Sebab, menurutnya, ketika orang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya.
Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fikih, yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucian batin.
Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali mana yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.
Sebenarnya, kata Cak Nur, sudah sejak zaman Rasulullah SAW sendiri, terdapat kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu.
Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitu sejumlah sahabat yang memilih hidup sebagai fakir, dan sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh di kalangan para sahabat.
Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat Jibril dan Allah.
Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di gua Hira, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra) dan naik ke langit (mikraj) yang terkenal itu.
Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci demikian:
Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia tidaklah berucap karena menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan. Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa. Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala.
Kemudian ia pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi. Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri.
Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan? Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan. Yaitu didekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman. Ketika Pohon Lotus itu diliputi cahaya tak terlukiskan.
Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah. Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira. ( QS al-Najm/53 :1-18)
Bagi kaum Sufi, kata Cak Nur, pengalaman Nabi dalam Isra-Mikraj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman rohani. Justru ia adalah pengalaman rohani yang tertinggi, yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi.
Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia "bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu.
"Pertemuan" dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai "sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia."
Sebab dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap" (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana) dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya, melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah) dari kehidupan ramai.
"Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman rohani serta membuat agama itu lembut," kata Cak Nur.
Seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah , "Syariah Taurat didominasi oleh ketegaran, dan Syariah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan Syariah al-Quran menengahi dan meliputi keduanya itu."
Menurut Cak Nur, maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama pendahuluannya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran-ajaran kerohanian yang mendalam seperti pada agama Kristen.
"Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan," katanya.
Sebab, menurutnya, ketika orang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya.
Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fikih, yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucian batin.
Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali mana yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.
Sebenarnya, kata Cak Nur, sudah sejak zaman Rasulullah SAW sendiri, terdapat kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu.
Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitu sejumlah sahabat yang memilih hidup sebagai fakir, dan sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh di kalangan para sahabat.
Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat Jibril dan Allah.
Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di gua Hira, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra) dan naik ke langit (mikraj) yang terkenal itu.
Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci demikian:
Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia tidaklah berucap karena menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan. Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa. Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala.
Kemudian ia pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi. Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri.
Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan? Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan. Yaitu didekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman. Ketika Pohon Lotus itu diliputi cahaya tak terlukiskan.
Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah. Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira. ( QS al-Najm/53 :1-18)
Bagi kaum Sufi, kata Cak Nur, pengalaman Nabi dalam Isra-Mikraj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman rohani. Justru ia adalah pengalaman rohani yang tertinggi, yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi.
Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia "bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu.
"Pertemuan" dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai "sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia."
Sebab dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap" (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana) dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya, melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah) dari kehidupan ramai.
(mhy)