Masalah Keimaman bagi Kaum Syiah: Ajaran Ali Khamenei Sejajar dengan Al-Quran?
loading...
A
A
A
MASALAHkeimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental, terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas. Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka guru agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai mutawatir. Oleh karena ia merupakan anugerah Tuhan yang harus diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu merupakan kewajiban Tuhan baik secara rasional maupun tekstual.
"Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi umat atau memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai kezaliman dan kemaksiatan," tulisMuslih Fathoni dalam bukunya berjudul "Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif" (PT. RajaGrafindo Persada,1994)
Selain itu seorang imam juga harus menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum dari ayat-ayat al-Quran .
Menurut Muslih Fathoni, alasan kedua ini senada dengan argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji dan di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn Abi Talib sebagai penggantinya.
Salah satu di antara riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir: " ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan membenarkan aku hendaknya ia menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain, dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan Ahlul-Bait .
Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih berjalan terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali.
Muslih Fathoni mengatakanjabatan ini sempatdipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khomaeni, lalu kiniAyatullah Seyyed Ali Khamenei. Menurut pendapat mereka, ajaran para imam adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan dilaksanakan.
"Selama Imam Mahdi belum muncul, ia diwakili oleh seorang mandataris yang berhak," ujar Muslih Fathoni.
Kedudukan al-Mahdi dalam pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad SAW . (*)
"Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi umat atau memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai kezaliman dan kemaksiatan," tulisMuslih Fathoni dalam bukunya berjudul "Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif" (PT. RajaGrafindo Persada,1994)
Selain itu seorang imam juga harus menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum dari ayat-ayat al-Quran .
Menurut Muslih Fathoni, alasan kedua ini senada dengan argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji dan di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn Abi Talib sebagai penggantinya.
Salah satu di antara riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir: " ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan membenarkan aku hendaknya ia menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain, dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan Ahlul-Bait .
Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih berjalan terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali.
Muslih Fathoni mengatakanjabatan ini sempatdipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khomaeni, lalu kiniAyatullah Seyyed Ali Khamenei. Menurut pendapat mereka, ajaran para imam adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan dilaksanakan.
"Selama Imam Mahdi belum muncul, ia diwakili oleh seorang mandataris yang berhak," ujar Muslih Fathoni.
Kedudukan al-Mahdi dalam pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad SAW . (*)
(mhy)