Sebelum Islam Datang, Dukun Dianggap seperti Nabi di Jazirah Arab
loading...
A
A
A
Ainul Haris Arifin dalam bukunya berjudul "Kitab Tauhid" (Darul Haq, 1999) mengatakan sihir termasuk unsur syirik , dalam hal ini sihir terdapat beberapa hal yaitu; pertama karena di dalamnya terdapat permintaan pelayanan (istikdham) dari setan-setan serta ketergantungan dan kedekatan dengan mereka melalui sesuatu yang mereka cintai agar setan-setan itu memberikan pelayanan kepada tukang sihir.
Kedua, di dalamnya terdapat pengakuan mengetahui ilmu ghaib dan pengakuan berserikat dengan Allah hal ini adalah kesesatan.
Pada saat ini banyak yang meremehkan masalah sihir dan para pelakunya, bahkan mungkin ada yang menganggapnya sebagai salah satu jenis ilmu yang mereka banggakan.
Mereka memberikan motivasi bahkan juga hadiah untuk para tukang sihir, ini adalah suatu kebodohan dalam beragama serta menganggap remeh urusan akidah.”
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, perdukunan dan sihir telah di lakukan oleh umat manusia. Seperti para tukang sihir yang telah ada di zaman Nabi Sulaiman as dan Nabi Musa as . Perdukunan merupakan ilmu asing yang menyusup ke dalam budaya orang Arab.
Ilmu perdukunan datang dari sebagian bangsa yang bertetangga dengan mereka.
Diyakini bahwa yang membawa ilmu ini adalah bangsa Kildan bersamaan dengan ilmu perbintangan (astrologi).
Keyakinan itu dikuatkan karena adanya istilah lain dari dukun yang dipakai di kalangan orang Arab yaitu Hazi atau Hazza’ sementara kedua kata ini berasal dari bangsa Kildan yang sama artinya dengan an-Naazhir, ar-Ra’i dan al-Baashir yaitu orang yang memiliki pandangan jauh, mata batin, atau terawangan.
Musdar Bustamam Tambusai dalam "Ensiklopedia Jin, Sihir Dan Perdukunan" menyebut dukun (Lafazh Al-Kaahin) sendiri dikutip dari orang Yahudi .
Di tanah Arab khususnya di Makkah sebelum Islam datang, keberadaan dukun juga sangat dihargai dan dimuliakan. Mereka ibarat para Nabi yang menjadi tempat bertanya, meminta keputusan hukum, dan juga untuk menyembuhkan penyakit.
Tidak hanya di Makkah, di daerah-daerah lain juga terdapat dukun sebagaimana disebutkan Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah AlAnshari, berkata, “Para dukun yang mereka (masyarakat Arab) jadikan sebagai tempat untuk menyelesaikan persoalan yang ada, terdapat satu orang di Juhainah, satu orang Aslam, dan di masing-masing perkampungan ada satu orang. Dukun-dukun itu dibantu oleh setan yang selalu datang kepada mereka”
Pada zaman jahiliah perdukunan banyak dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kontak khusus dengan setan-setan yang mencuri kabar dari langit kemudian menyampaikan kepada mereka. Sehingga dukun mengambil kalimat tersebut melalui perantara setan dengan berbagai macam tambahan, lalu disampaikan kepada umat manusia.
Jika ada kecocokan, maka umat manusia akan percaya dan menjadikan sang dukun sebagai acuan konsultasi untuk menduga perkara yang akan terjadi.
Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam "Candu Mistik Menyingkap Rahasia Sihir Dan Perdukunan" (Darul Falah, 2005) mengatakan dukun-dukun yang ada di tengah masyarakat Arab ketika itu tidak hanya didominasi kaum laki-laki seperti Rabi’ bin Rabi’ah yang dipanggil Suthaih, Ibnu Sha’b bin Yasykur yang di panggil Syaqq, Khanafir bin At-Tau’am Al-Humairi, Sawad bin Qarib Ad-Dusi, dan lain-lainnya.
Namun, ada pula dukun-dukun yang berasal dari kalangan perempuan seperti Zharidah Al-Khair (dukun di daerah Humair), Salma AlHamdaniyah, Fatimah binti Murr Al-Hamdaniyah Afraa’ Humair, Sajjah yang pernah mengaku menjadi Nabi dan lain sebagainya.
Seperti yang digambarkan George Zidane, orang Arab ketika itu berkeyakinan bahwa dalam diri seorang dukun terdapat kemampuan untuk melakukan sesuatu sehingga mereka selalu minta petunjuk kepada dukun dalam segala urusan (kebutuhan hidup), menyelesaikan persengketaan di antara mereka, mengobati penyakit, menjelaskan segala yang muskil (pelik), menguraikan mimpi, dan meramal masa depan.
Singkat kata, bagi mereka dukun itu adalah orang yang berilmu, filsuf (ahli filsafat), dokter, hakim, dan tokoh agama.
"Hal yang sama juga terjadi di kalangan umat-umat terdahulu seperti Babilonia, Pinokio, Mesir, dan lain-lain," tambah Musdar Bustamam Tambusai dalam "Ensiklopedia Jin, Sihir Dan Perdukunan".
Sebelum Nabi Muhammad SAW di utus. setan-setan sering mencuri berita dari langit yaitu apa yang menjadi perbincangan para malaikat mengenai masa depan. Kemudian setan memberitahu kepada dukun dan tukang sihir yang menjadi temannya, sehingga dukun dan tukang sihir sebelum Nabi SAW diutus lebih hebat dan banyak ramalannya yang tepat.
Widya Sherliawati dalam buku "Kepercayaan Masyarakat Terhadap Dukun" (Lampung Tengah: 2014) menyebut sejarah perdukunan juga sudah ada pada Zaman dahulu yaitu pada masa Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf sampai pada Zaman Nabi Muhammad SAW.
Dalam praktiknya, dukun mempunyai beraneka ragam sebutan. Di tiap daerah atau negara memiliki berbagai macam nama yang berbeda-beda. Mereka juga memiliki berbagai keahlian sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Kedua, di dalamnya terdapat pengakuan mengetahui ilmu ghaib dan pengakuan berserikat dengan Allah hal ini adalah kesesatan.
Pada saat ini banyak yang meremehkan masalah sihir dan para pelakunya, bahkan mungkin ada yang menganggapnya sebagai salah satu jenis ilmu yang mereka banggakan.
Mereka memberikan motivasi bahkan juga hadiah untuk para tukang sihir, ini adalah suatu kebodohan dalam beragama serta menganggap remeh urusan akidah.”
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, perdukunan dan sihir telah di lakukan oleh umat manusia. Seperti para tukang sihir yang telah ada di zaman Nabi Sulaiman as dan Nabi Musa as . Perdukunan merupakan ilmu asing yang menyusup ke dalam budaya orang Arab.
Ilmu perdukunan datang dari sebagian bangsa yang bertetangga dengan mereka.
Diyakini bahwa yang membawa ilmu ini adalah bangsa Kildan bersamaan dengan ilmu perbintangan (astrologi).
Keyakinan itu dikuatkan karena adanya istilah lain dari dukun yang dipakai di kalangan orang Arab yaitu Hazi atau Hazza’ sementara kedua kata ini berasal dari bangsa Kildan yang sama artinya dengan an-Naazhir, ar-Ra’i dan al-Baashir yaitu orang yang memiliki pandangan jauh, mata batin, atau terawangan.
Musdar Bustamam Tambusai dalam "Ensiklopedia Jin, Sihir Dan Perdukunan" menyebut dukun (Lafazh Al-Kaahin) sendiri dikutip dari orang Yahudi .
Di tanah Arab khususnya di Makkah sebelum Islam datang, keberadaan dukun juga sangat dihargai dan dimuliakan. Mereka ibarat para Nabi yang menjadi tempat bertanya, meminta keputusan hukum, dan juga untuk menyembuhkan penyakit.
Tidak hanya di Makkah, di daerah-daerah lain juga terdapat dukun sebagaimana disebutkan Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah AlAnshari, berkata, “Para dukun yang mereka (masyarakat Arab) jadikan sebagai tempat untuk menyelesaikan persoalan yang ada, terdapat satu orang di Juhainah, satu orang Aslam, dan di masing-masing perkampungan ada satu orang. Dukun-dukun itu dibantu oleh setan yang selalu datang kepada mereka”
Pada zaman jahiliah perdukunan banyak dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kontak khusus dengan setan-setan yang mencuri kabar dari langit kemudian menyampaikan kepada mereka. Sehingga dukun mengambil kalimat tersebut melalui perantara setan dengan berbagai macam tambahan, lalu disampaikan kepada umat manusia.
Jika ada kecocokan, maka umat manusia akan percaya dan menjadikan sang dukun sebagai acuan konsultasi untuk menduga perkara yang akan terjadi.
Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam "Candu Mistik Menyingkap Rahasia Sihir Dan Perdukunan" (Darul Falah, 2005) mengatakan dukun-dukun yang ada di tengah masyarakat Arab ketika itu tidak hanya didominasi kaum laki-laki seperti Rabi’ bin Rabi’ah yang dipanggil Suthaih, Ibnu Sha’b bin Yasykur yang di panggil Syaqq, Khanafir bin At-Tau’am Al-Humairi, Sawad bin Qarib Ad-Dusi, dan lain-lainnya.
Namun, ada pula dukun-dukun yang berasal dari kalangan perempuan seperti Zharidah Al-Khair (dukun di daerah Humair), Salma AlHamdaniyah, Fatimah binti Murr Al-Hamdaniyah Afraa’ Humair, Sajjah yang pernah mengaku menjadi Nabi dan lain sebagainya.
Seperti yang digambarkan George Zidane, orang Arab ketika itu berkeyakinan bahwa dalam diri seorang dukun terdapat kemampuan untuk melakukan sesuatu sehingga mereka selalu minta petunjuk kepada dukun dalam segala urusan (kebutuhan hidup), menyelesaikan persengketaan di antara mereka, mengobati penyakit, menjelaskan segala yang muskil (pelik), menguraikan mimpi, dan meramal masa depan.
Singkat kata, bagi mereka dukun itu adalah orang yang berilmu, filsuf (ahli filsafat), dokter, hakim, dan tokoh agama.
"Hal yang sama juga terjadi di kalangan umat-umat terdahulu seperti Babilonia, Pinokio, Mesir, dan lain-lain," tambah Musdar Bustamam Tambusai dalam "Ensiklopedia Jin, Sihir Dan Perdukunan".
Sebelum Nabi Muhammad SAW di utus. setan-setan sering mencuri berita dari langit yaitu apa yang menjadi perbincangan para malaikat mengenai masa depan. Kemudian setan memberitahu kepada dukun dan tukang sihir yang menjadi temannya, sehingga dukun dan tukang sihir sebelum Nabi SAW diutus lebih hebat dan banyak ramalannya yang tepat.
Widya Sherliawati dalam buku "Kepercayaan Masyarakat Terhadap Dukun" (Lampung Tengah: 2014) menyebut sejarah perdukunan juga sudah ada pada Zaman dahulu yaitu pada masa Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf sampai pada Zaman Nabi Muhammad SAW.
Dalam praktiknya, dukun mempunyai beraneka ragam sebutan. Di tiap daerah atau negara memiliki berbagai macam nama yang berbeda-beda. Mereka juga memiliki berbagai keahlian sesuai dengan bidangnya masing-masing.
(mhy)