Kisah Mirza Ghulam Ahmad: Mengaku Nabi untuk Islam, Kristen, dan Hindu
loading...
A
A
A
Mirza Ghulam Ahmad mengakui bahwa dirinya bukan hanya nabi bagi umat Islam, melainkan juga untuk umat Nasrani dan Hindu .Padatahun 1900, parapengikut Ahmadiyah secara terang-terangan mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai "nabi" dan menghormatinya seperti layaknya seorang rasul Tuhan.
Abul-A'la al-Maududi dalam bukunya berjudul "Ma Hiyal-Qadiyaniyyah" (Beirut: Darul-Qalam Kuwait, 1969) menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya, Maulawi 'Abd al-Karim menyatakan dalam khotbah Jumatnya sebagai berikut:
"Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW , maka kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah."
Selanjutnya ditambahkan bahwa Mirza membenarkan pernyataan tersebut, namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi sebagai yang didakwahkan oleh Mubalignya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang banyak, tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru dakwahnya.
Adapun istilah "nabi" yang dimaksud adalah an-Nabiyyun-Naqis atau an-Nabiyyul-Muhaddas. Tampaknya sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terpecahnya aliran ini menjadi dua golongan, sesudah pendirinya wafat.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan kerasulannya dengan menggunakan term tersebut di atas.
Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani bernama Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma'al-Munkirin-Nubuwwah, menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam berbagai tulisannya mengingkari kenabian dirinya dengan mengatakan:
"Aku bukan nabi tetapi aku adalah Muhaddas (orang yang diajak berdialog oleh Tuhan). Akan tetapi sesudah tahun itu, Mirza menegaskan bahwa dirinya adalah nabi. Pengakuannya ini dijelaskan pula oleh puteranya, Basyiruddin Mahmud Ahmad, bahwa ayahnya tidak lagi berpegang pada akidahnya semula (sebelum tahun 1901) dan tahun itu adalah merupakan masa pergeseran dari akidahnya yang lama kepada akidahnya yang baru (mengaku sebagai nabi).
Mengaku sebagai Krishna
Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya melalui majalah bulanan berbahasa Inggris sepertiReview of Religions from Qadian, sebagai media yang dianggap banyak menarik orang-orang Barat dengan mendapat tantangan melalui berbagai mass media. Memang yang menjadi misi kemahdiannya di berbagai negeri di Barat adalah untuk meluruskan pandangan mereka yang keliru terhadap Islam.
Rencananya ini lebih lanjut dikembangkan oleh pengikutnya sesudah ia wafat. Kemudian di tahun 1912 didirikan misi Islam di Inggris, sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922.
Keinginan menyebarkan ide kemahdiannya di Eropa ini, telah ia canangkan dalam karyanya Nurul Haq yang ditulis dua tahun sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan.
Di samping keberhasilan yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern umat Islam.
Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang dimajukannya, hal itu sulit dapat diterima oleh mayoritas umat Islam.
Akibat perbedaan yang prinsipal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling mengafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain yang non-Ahmadiyah.
Keadaan ini rupanya tidak jauh berbeda dengan peristiwa yang pernah menimpa umat Islam Indonesia, yaitu antara pengikut Islam Jama'ah dengan mereka yang bukan pengikut Islam Jama'ah. Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad 'Ali menggambarkan, bahwa kekerasan dan permusuhan yang dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya mereka tidak mendapat pembelaan dari siapa pun.
Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah dan barang-barang milik mereka, halal dirampas tanpa dapat dituntut di pengadilan. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dan golongan Islam, Hindu, dan Kristen itu.
Abul-A'la al-Maududi dalam bukunya berjudul "Ma Hiyal-Qadiyaniyyah" (Beirut: Darul-Qalam Kuwait, 1969) menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya, Maulawi 'Abd al-Karim menyatakan dalam khotbah Jumatnya sebagai berikut:
"Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW , maka kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah."
Selanjutnya ditambahkan bahwa Mirza membenarkan pernyataan tersebut, namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi sebagai yang didakwahkan oleh Mubalignya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang banyak, tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru dakwahnya.
Adapun istilah "nabi" yang dimaksud adalah an-Nabiyyun-Naqis atau an-Nabiyyul-Muhaddas. Tampaknya sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terpecahnya aliran ini menjadi dua golongan, sesudah pendirinya wafat.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan kerasulannya dengan menggunakan term tersebut di atas.
Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani bernama Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma'al-Munkirin-Nubuwwah, menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam berbagai tulisannya mengingkari kenabian dirinya dengan mengatakan:
"Aku bukan nabi tetapi aku adalah Muhaddas (orang yang diajak berdialog oleh Tuhan). Akan tetapi sesudah tahun itu, Mirza menegaskan bahwa dirinya adalah nabi. Pengakuannya ini dijelaskan pula oleh puteranya, Basyiruddin Mahmud Ahmad, bahwa ayahnya tidak lagi berpegang pada akidahnya semula (sebelum tahun 1901) dan tahun itu adalah merupakan masa pergeseran dari akidahnya yang lama kepada akidahnya yang baru (mengaku sebagai nabi).
Mengaku sebagai Krishna
Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya melalui majalah bulanan berbahasa Inggris sepertiReview of Religions from Qadian, sebagai media yang dianggap banyak menarik orang-orang Barat dengan mendapat tantangan melalui berbagai mass media. Memang yang menjadi misi kemahdiannya di berbagai negeri di Barat adalah untuk meluruskan pandangan mereka yang keliru terhadap Islam.
Rencananya ini lebih lanjut dikembangkan oleh pengikutnya sesudah ia wafat. Kemudian di tahun 1912 didirikan misi Islam di Inggris, sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922.
Keinginan menyebarkan ide kemahdiannya di Eropa ini, telah ia canangkan dalam karyanya Nurul Haq yang ditulis dua tahun sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan.
Di samping keberhasilan yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern umat Islam.
Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang dimajukannya, hal itu sulit dapat diterima oleh mayoritas umat Islam.
Akibat perbedaan yang prinsipal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling mengafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain yang non-Ahmadiyah.
Keadaan ini rupanya tidak jauh berbeda dengan peristiwa yang pernah menimpa umat Islam Indonesia, yaitu antara pengikut Islam Jama'ah dengan mereka yang bukan pengikut Islam Jama'ah. Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad 'Ali menggambarkan, bahwa kekerasan dan permusuhan yang dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya mereka tidak mendapat pembelaan dari siapa pun.
Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah dan barang-barang milik mereka, halal dirampas tanpa dapat dituntut di pengadilan. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dan golongan Islam, Hindu, dan Kristen itu.