Hijrah, Pilar peradaban modern (4)

Senin, 31 Agustus 2020 - 10:39 WIB
loading...
Hijrah, Pilar peradaban...
Independensi ekonomi adalah saah satu pilar peradaban modern (Islam). Peradaban yang memberikan kemakmuran (imaarah) kepada seluruh masyarakatnya. Bukan peradaban yang selalu bergantung kepada belas kasih orang lain. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation

INDEPENDENSI ekonomi adalah saah satu pilar peradaban modern (Islam). Peradaban yang memberikan kemakmuran ('imaarah) kepada seluruh masyarakatnya. Bukan peradaban yang selalu bergantung kepada belas kasih orang lain. (Baca juga: Hijrah, Pilar Peradaban Modern (1))

Umat ini, sekali lagi, sesungguhnya berada pada posisi untuk independen secara ekonomi. Tengoklah dunia Islam dari barat hingga timur. Semua berada pada posisi strategis secara ekonomi. Dari pertambangan, pertanian dan kelautan ada pada negara-negara mayoritas Muslim. (Baca juga: Hijrah, Pilar Peradaban Modern (2))

Sayangnya, najis-najis kehidupanlah yang menjadikan potensi itu tidak teroptimalkan, bahkan tersia-siakan. Najis-najis inilah yang perlu “di-zakatkan" atau disucikan (tazkiyah). Sebab najis-najis inilah yang menjadikan semua itu kotor. Kotor pemikiran dan prilaku sehingga potensi perekonomian itu menjadi bencana bagi umat. (Baca juga: Begini Cara Rasulullah SAW Membangun Ekonomi Umat)

Saya mekakai kata “najis” yang merusak potensi ekonomi itu karena sejatinya najis itulah yang menumbuhkan prilaku korup dalam pengelolaan potensi ekonomi itu. Najis itu adalah ketamakan, kerakusan, dan cinta dunia berlebihan yang mengantar kepada prilaku kapitalis. Di sinilah zakat memiliki makna moral untuk memerangi keserakahan itu. (Baca juga: Refly Harun: Demonstrasi Meminta Jokowi Mundur Bukan Makar)

Sementara bencana yang saya maksud adalah bahwa karena potensi kekayaan (ekonomi) itulah yang kemudian menjadikan negara-negara Islam diperebutkan bagaikan "sepotong daging" oleh anjing-anjing yang lapar lagi rakus. (Baca juga: Begal Payudara, Ketidaknyamanan Bagi Perempuan)

Keamanan dalam Negeri
Kita mengenal dalam sejarah bahwa sebelum kedatangan Rasulullah SAW di Madinah , perang saudara bukan sesuatu yang baru. Dua suku besar masyarakat Arab, sejak beratus tahun tidak pernah akur. Ditambah lagi adanya adu domba dari masyarakat lain yang punya kepentingan, khususnya Yahudi. (Baca juga: Dana Asing Rp 149,75 Triliun Kabur dari Indonesia di Minggu Keempat Agustus)

Masyarakat Yahudi sendiri secara tidak resmi menjadi penasehat-penasehat (mustasyaar) bagi masyarakat yang saling berkonflik. Dan terkadang untuk kepentingan politik maupun ekonomi mereka, kabilah-kabilah Arab itu oleh masing-masing suku Yahudi diadu domba. (Baca juga: Ratusan Polisi Amankan Pengesahan Warga Baru Pendekar PSHT di Rembang)

Kedatangan Rasulullah SAW di Madinah ternyata membawa perdamaian kepada pihak-pihak yang kerap berperang itu. Bahkan tidak ada catatan resmi dalam sejarah yang mengatakan bahwa Beliau melakukan pendekatan secara formal untuk mendamaikan para pihak yang bertikai (conflicting parties) itu. Tapi kharisma kepribadian Rasulullah yang damai itulah dengan sendirinya menjadikan inspirasi bagi semua pihak untuk berdamai. (Lihat grafis: Bayraktar Akinci Prototipe Drone Tercanggih milik Turki)

Oleh karenanya, suku-suku yang selama ini, khususnya dua suku besar Arab; Aus dan Khazraj, menghentikan pernusuhan dan peperangan. Bahkan keduanya menjadi dua kelompok masyarakat yang tidak saja menjaga perdamian tapi juga membangun ukhuwah yang solid.

Ini pulalah salah satu peristiwa yang digambarkan dalam Alquran : "Dan kamu pernah berada di tepian lubang (kehancuran karena peperangan) lalu Allah menyatukan hati-hati kamu" (Ali Imran).

Luar biasanya adalah bahwa proses ta'liful quluub itu dilakukan dengan cara-cara "samawi" tanpa kelicikan diplomasi, apalagi pemaksaan dan kekerasan. Pendekatan yang bersifat sangat manusiawi bahkan bersifat alami. Sehingga semua merasa bersaudara, bahkan terjadi "itsaar" (memberikan perhatian lebih) kepada saudara-saudara mereka di atas kepentingan diri mereka sendiri.

Lingkungan atau suasana "ikhaa" (persaudaraan) seperti ini dengan sendirinya menciptakan keamanan dan stabilitas yang solid dalam negeri. Stabilitas dan keamanan yang tidak dipaksakan dengan pendekatan keamanan (security approach). Tapi sekali lagi dengan pendekatan "samawi" (langit) dan "qalbi" (hati) dengan metode "rahmah" (kasih sayang) Rasulullah SAW.

Ketika keamanan dan stabilitas itu terjadi maka dengan sendirinya kehidupan menjadi nyaman dan maju. Orang-orang Arab yang tadinya suka permusuhan dan peperangan kini berbalik menyenangi persaudaraan dan kerjasama. Maka terbangunlah "at-ta'awun alal birri wattaqwa" (kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan). Dengan ini pula Madinah semakin berkemajuan, di atas kasih sayang, keadilan dan kemakmuran.

Tanpa keamanan dan stabilitas dalam negeri tidaklah mungkin akan terbangun peradaban modern (islami) manusia. Karena pembangunan (development) memang terkait erat dengan keamanan dan stabilitas.

Mungkin ayat Alquran yang paling relevan dengan kesimpulan ini adalah: "Dialah Allah yang memberi makan mereka dari kelaparan. Dan Dialah Allah yang memberikan mereka keamanan dari ketakutan" (Al-Quraisy).

Jika hal ini kita tarik kepada realita kehidupan masa kini kita maka akan tersimpulkan bahwa pembangunan dan kemakmuran (tho’aam) adalah cara terefektif dalam mewujudkan keamanan (al-amnu). Sebaliknya keamanan dan stabilitasi menjadi pilar bagi pembangunan dan kemakuran. Dan pastinya di atas pilar ini pula perdaban alternatif itu dapat terbangun. (Bersambung)
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2191 seconds (0.1#10.140)