Riba Jelas Haram, Lalu Apa Makna Sejatinya Riba Menurut Al-Quran? (2)

Selasa, 13 Oktober 2020 - 05:00 WIB
loading...
Riba Jelas Haram, Lalu Apa Makna Sejatinya Riba Menurut Al-Quran? (2)
Ilustrasi/Ist
A A A
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul " Membumikan Al-Qur'an " menulis pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.



Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".

Adh'afan Mudha'afah
Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali.

Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. ( )

Riwayat-riwayat tersebut antara lain: Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan).

Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku."

Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya).

Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. ( )

Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut.

Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar. (Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90)

Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktikkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya. ( )

Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.

Riba yang Keji
Quraish menjelaskan riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut.

( )

Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam Tafsirnya:

"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut).



Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan.

Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).

Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit.

Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi sah.



Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah.

Menurut Al-Thabari, seseorang yang mempraktikkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.

Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.

Salah seorang anggota Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, Abdul Mun'im Al-Nandr dalam Al-Ijtihad menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."



Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?

Quraish Shihab mengatakan yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram.

Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan pada masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.

"Hemat kami," ujar Quraish Shihab, "untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga."



Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?

Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.

Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama.

Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah.

Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat Al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.

Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).



Quraish Shihab mengatakan apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha tersebut tentang arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak dapat diterapkan.

Walaupun demikian, menurut Quraish Shihab, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut. (Bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3411 seconds (0.1#10.140)