Kezuhudan Istri Khalifah
loading...
A
A
A
Di sinilah terlihat bahwa sosok Fatimah adalah perempuan yang berhias diri dengan akal sehat dan keimanan yang kuat. Ia memilih untuk bersama suami, setia mendampingi, dan turut memikul tanggung jawab.
(Baca juga : Bebaskan Anak dari Narkoba, Kemenag: Kuncinya Berikan Pendidikan Agama )
Lembar sejarah mencatat, sosok Fatimah binti Abdul Malik adalah perempuan salihah yang hebat dengan jiwa ikhlas dan sabar. Pendukung pertama gerakan perubahan yang dilakukan suaminya, yakni gerakan kesederhanaan para pemimpin dalam kehidupan.
Fatimah juga menunjukkan sebagai istri yang berbakti. Demi keridhaan sang suami tercinta, ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat dengan semata mengharapkan keridhaan dan surganya Allah.
Tanda keridhaan pertama adalah berpindah dari istana ke rumah yang sempit yang dibangun dari tanah liat. Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan, menjahit sendiri pakaian yang dikenakan, memasak makanan yang disantap, semuanya serba sederhana tanpa ada kemewahan, semua sama dengan rakyat biasa. Bahkan, Fatimah pun membantu suaminya memperbaiki rumah jika diperlukan. Padahal status mereka adalah kepala negara dan ibu negara.
Suatu hari Umar bertanya kepada Fatimah, “Dari mana perhiasan ini sampai ke tanganmu?” “Dari ayahku,” jawab Fatimah. (Saat memberikan perhiasan tersebut, ayah Fatimah adalah khalifah). Maka Umar bin Abdul Aziz meminta Fatimah untuk menyerahkan perhiasan tersebut ke baitulmal. Fatimah pun mematuhi perintah suaminya, diserahkan semua perhiasannya ke baitulmal kaum muslimin dengan ikhlas.
(Baca juga : Eropa Lockdown Lagi, Pasar Saham Bisa Terkoreksi )
Istri yang Istiqamah
Sayangnya, kepemimpinan khalifah yang saleh, adil dan sederhana ini tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun memimpin Bani Umayah, sang khalifah meninggal dunia dibunuh melalui racun yang diberikan pembantunya. Ketika Umar bin Abdul Azis meninggal, ia tidak meninggalkan harta apa pun untuk Fatimah dan anaknya.
Sepeninggal Umar, estafet Dinasti Ummayah dilanjutkan oleh saudara Fatimah berjulukan Yazid bin Abdul Malik. Saat itu, Yazid menemui Fatimah untuk mengembalikan harta-harta yang disimpan di Baitul Mal.
“Umar telah zalim pada hartamu, kini saya kembalikan kepadamu. Ambillah!” kata Yazid kepada adiknya.
Bendahara Baitul Mal pun pernah menemui Fatimah, menjelaskan bahwa harta milik Fatimah masih utuh tersimpan. “Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus dijaga, dan akan kami kembalikan bila tuan membutuhkan.”
(Baca juga : Pertama Kalinya, Ratu Elizabeth Pakai Masker di Depan Umum )
Bendahara Baitul Mal itu akan segera membawa harta suplemen milik Fatimah, bila pemiliknya ingin mendapatkan kembali hartanya. Nilai perhiasaan milik Fatimah ketika itu mencapai jutaan dirham. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran-tawaran itu? Apalagi suaminya meninggal tanpa warisan yang mencukupi. Bukankah harta yang dititipkan ke Baitul Mal yaitu suplemen milik Fatimah dari ayahnya, maupun pinjaman suaminya.
Namun Fatimah menolak semua anjuran itu. “Demi Allah, saya tidak akan mengambilnya kembali. Karena saya patuh kepada suami untuk selamanya. Bukan ketika ia masih hidup saya patuh, kemudian sehabis meninggal berkhianat,” ujar Fatimah.
Yazid takjub dengan sikap saudara perempuannya itu. Lalu ia mengambil kembali harta-harta Fatimah dan membagikan kepada orang-orang yang berhak.
Sikap Fatimah yang kaya berinfak ini menempatkan namanya sebagai wanita salehah yang taat kepada suami. Dia juga dicatat sebagai istri pemimpin yang sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan umat. Andaikan istri para pemimpin dan pejabat mempunyai sifat sederhana menyerupai Fatimah, pasti sikap korup dan hidup bermewahan sanggup diminimalkan.
(Baca juga : Jika PSBB Transisi Diperpanjang, Pemprov DKI Diminta Berlakukan Perda Covid-19 )
Siapa yang tak jatuh hati setelah mendengar kemulian Fatimah binti Abdul Malik. Pertanyaannya, apakah kita berhenti setelah mendengar kisahnya, tanpa bercermin pada akhlaknya yang seharusnya menjadi panutan bagi setiap perempuan?
Wallahu A'lam
(Baca juga : Bebaskan Anak dari Narkoba, Kemenag: Kuncinya Berikan Pendidikan Agama )
Lembar sejarah mencatat, sosok Fatimah binti Abdul Malik adalah perempuan salihah yang hebat dengan jiwa ikhlas dan sabar. Pendukung pertama gerakan perubahan yang dilakukan suaminya, yakni gerakan kesederhanaan para pemimpin dalam kehidupan.
Fatimah juga menunjukkan sebagai istri yang berbakti. Demi keridhaan sang suami tercinta, ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat dengan semata mengharapkan keridhaan dan surganya Allah.
Tanda keridhaan pertama adalah berpindah dari istana ke rumah yang sempit yang dibangun dari tanah liat. Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan, menjahit sendiri pakaian yang dikenakan, memasak makanan yang disantap, semuanya serba sederhana tanpa ada kemewahan, semua sama dengan rakyat biasa. Bahkan, Fatimah pun membantu suaminya memperbaiki rumah jika diperlukan. Padahal status mereka adalah kepala negara dan ibu negara.
Suatu hari Umar bertanya kepada Fatimah, “Dari mana perhiasan ini sampai ke tanganmu?” “Dari ayahku,” jawab Fatimah. (Saat memberikan perhiasan tersebut, ayah Fatimah adalah khalifah). Maka Umar bin Abdul Aziz meminta Fatimah untuk menyerahkan perhiasan tersebut ke baitulmal. Fatimah pun mematuhi perintah suaminya, diserahkan semua perhiasannya ke baitulmal kaum muslimin dengan ikhlas.
(Baca juga : Eropa Lockdown Lagi, Pasar Saham Bisa Terkoreksi )
Istri yang Istiqamah
Sayangnya, kepemimpinan khalifah yang saleh, adil dan sederhana ini tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun memimpin Bani Umayah, sang khalifah meninggal dunia dibunuh melalui racun yang diberikan pembantunya. Ketika Umar bin Abdul Azis meninggal, ia tidak meninggalkan harta apa pun untuk Fatimah dan anaknya.
Sepeninggal Umar, estafet Dinasti Ummayah dilanjutkan oleh saudara Fatimah berjulukan Yazid bin Abdul Malik. Saat itu, Yazid menemui Fatimah untuk mengembalikan harta-harta yang disimpan di Baitul Mal.
“Umar telah zalim pada hartamu, kini saya kembalikan kepadamu. Ambillah!” kata Yazid kepada adiknya.
Bendahara Baitul Mal pun pernah menemui Fatimah, menjelaskan bahwa harta milik Fatimah masih utuh tersimpan. “Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus dijaga, dan akan kami kembalikan bila tuan membutuhkan.”
(Baca juga : Pertama Kalinya, Ratu Elizabeth Pakai Masker di Depan Umum )
Bendahara Baitul Mal itu akan segera membawa harta suplemen milik Fatimah, bila pemiliknya ingin mendapatkan kembali hartanya. Nilai perhiasaan milik Fatimah ketika itu mencapai jutaan dirham. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran-tawaran itu? Apalagi suaminya meninggal tanpa warisan yang mencukupi. Bukankah harta yang dititipkan ke Baitul Mal yaitu suplemen milik Fatimah dari ayahnya, maupun pinjaman suaminya.
Namun Fatimah menolak semua anjuran itu. “Demi Allah, saya tidak akan mengambilnya kembali. Karena saya patuh kepada suami untuk selamanya. Bukan ketika ia masih hidup saya patuh, kemudian sehabis meninggal berkhianat,” ujar Fatimah.
Yazid takjub dengan sikap saudara perempuannya itu. Lalu ia mengambil kembali harta-harta Fatimah dan membagikan kepada orang-orang yang berhak.
Sikap Fatimah yang kaya berinfak ini menempatkan namanya sebagai wanita salehah yang taat kepada suami. Dia juga dicatat sebagai istri pemimpin yang sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan umat. Andaikan istri para pemimpin dan pejabat mempunyai sifat sederhana menyerupai Fatimah, pasti sikap korup dan hidup bermewahan sanggup diminimalkan.
(Baca juga : Jika PSBB Transisi Diperpanjang, Pemprov DKI Diminta Berlakukan Perda Covid-19 )
Siapa yang tak jatuh hati setelah mendengar kemulian Fatimah binti Abdul Malik. Pertanyaannya, apakah kita berhenti setelah mendengar kisahnya, tanpa bercermin pada akhlaknya yang seharusnya menjadi panutan bagi setiap perempuan?
Wallahu A'lam