Baginda Takut Mendapat Malu Besar, Abu Nawas Menyelamatkan

Senin, 09 November 2020 - 06:25 WIB
loading...
Baginda Takut Mendapat Malu Besar, Abu Nawas Menyelamatkan
Ilustrasi/Ist
A A A
MALAM ini Baginda Harun Ar-Rasyid benar-benar tidak bisa tidur. Matanya enggan diajak istirahat. Maklum saja, pikiran Baginda sedang tidak tenang. Gara-garanya seorang pemuda membawa masalah pelik siang tadi.

Ceritanya begini. Siang itu seorang pemuda datang ke Baghdad menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, raja yang adil, arif dan bijaksana.

Pada saat itu Baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri. “Hai anak muda, engkau berasal dari mana?” tanya Baginda kepada pemuda itu. ( )

“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab sang saudagar. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”

“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang?” tanya baginda Sultan.

“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.

“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah Baginda Sultan.

Saudagar kaya ini bercerita, telah bertahun-tahun berumah tangga namun tak kunjung punya momongan. Allah belum mentakdirkan dirinya punya anak.

Maka ia berkata kepada istrinya untuk bernazar kepada Allah. Jika diberi anak laki-laki, akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya disedekahkan kepada fakir miskin. ( )

Nazar itu ternyata ces pleng. Istrinya pun hamil dan melahirkan bayi laki-laki yang sehat.

Kemudian sang saudagar menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”

Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah. Tidurpun tidak nyenyak. Terpikir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.

Ia telah mengadu ke seorang penghulu. Pas kebetulan saat ia datang di rumah penghulu sedang banyak orang. Rupanya ada pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan anda kemari?” tanya penghulu yang tertua.

Ya tuan Kadi,” jawab saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu ia menguratakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.

Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal di manapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula.

“Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain,” ujar mereka. ( )

Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah. Nah, itu sebabnya ia memutuskan menghadap Baginda Raja.

“Hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu kepada Baginda dengan nada mengiba.

“Baiklah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar,” janjinya.

Saudagar itu pun mohon pamit dengan meninggalkan beban bagi Baginda. Sultan bingung memikirkan nazar saudagar itu. Sepanjang siang dan malam ia tidak dapat memicingkan matanya. Dengan apa nazar itu akan dibayar bila kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga? Diganti dengan yang lain, haram hukumnya.

Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar dari Kopiah itu. “Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap esok pagi,” titah Baginda Sultan. “Atau aku akan mendapat malu besar.”
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3481 seconds (0.1#10.140)