Anak Mulai Berbohong? Awas Sinyal Bahaya!
loading...
A
A
A
Berbohong, salah satu masalah yang kerap kita temukan pada anak-anak kita. Sekali atau dua kali berbohong, sesuatu yang mungkin masih bisa diberi toleransi atau masih bisa dimaklumi. Tapi kalau terus-menerus dan menjadi satu kebiasaan baginya, ini merupakan satu sinyal bahaya .
Tidak diragukan lagi bahwa berbohong adalah sebuah perilaku tercela yang bisa menjadi kebiasaan apabila tidak ditangani sedini mungkin. Para pendidik, khususnya orang tua harus mencurahkan perhatian dan melakukan upaya-upaya perbaikan dari kebiasaan berbohong ini agar tidak menjadi kebiasan buruk yang mengakar kuat dalam diri seorang anak.
(Baca juga : Inilah Wasiat Syaikh Al Utsaimin untuk Perempuan Muslimah )
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ustadz Abu Ihsan Al Atsaary dalam kajiannya 'Mencetak Generasi Rabbani' di laman dakwah online-nya menjelaskan, kejujuran anak kadangkala membuat orang tua tidak siap. Sehingga ketika anak jujur dan itu membuat terkejut orang tua, maka orang tua tidak siap untuk memberikan apresiasi terhadap kejujuran si anak dan fokus kepada apa yang dia dengar.
(Baca juga : Kezuhudan Istri Khalifah )
Misalnya anak jujur tentang apa yang dia perbuat, mungkin dia melakukan satu kesalahan dan dia jujur sama orang tuanya, dia berkata kepada orang tuanya “Ayah, ibu saya melakukan ini.” Apa reaksi orang tua? Orang tua fokus kepada apa yang disampaikan oleh anak. Dan kalau dia salah memberikan reaksi, itu bisa membuat trauma bagi anak untuk jujur. Mungkin dia berkata dalam hati bahwa akibat dari jujur itu seperti ini. Mungkin dia dapat hukuman yang berat dari orang tua, celaan, cercaan, cacian, makian, stigma buruk, bahkan vonis mungkin dari orang tuanya akibat kejujurannya.
Karena itu, orang tua harus proporsional dalam memberikan apresiasi bagi sisi positif yang ditunjukkan oleh anak, yaitu kejujurannya. Mungkin itu butuh perjuangan berat baginya untuk jujur terhadap sesuatu yang dia tahu orang tuanya pasti marah. Tapi kadang-kadang orang tua tidak memberikan apresiasi terhadap kejujurannya, justru menganggap itu seolah-olah tidak ada nilainya, maka habislah anak ini dimarahi oleh orang tuanya akibat kejujurannya.
(Baca juga : Menjenguk Orang Sakit, Adab Mulia yang Banyak Keutamaan )
Di sini para orang tua harus bisa bersikap bijak untuk menyelesaikan masalah anak. Anak banyak masalah, anak banyak berbuat salah, itu sesuatu yang dilakukan oleh manusia, bukan hanya anak namun orang tua juga. Tapi ketika anak salah lalu dia jujur, mengapa kita begitu panik dan begitu heboh terhadap kejujurannya? Sehingga membuat dia berkata dalam hati: “Kalau begitu esok hari saya tidak jujur saja, saya bohong saja. Karena bohong itu selamat, jujur itu bencana.” Maka dia pun termotivasi untuk bohong.
Sebagian orang tua senang dibohongin anak, mendengarkan yang baik-baik dari anak padahal tidak seperti itu. Anak bisa memanipulasi kenyataan dengan kebohongannya. Dan orang tua senang dengan kebohongan si anak ini. Dia tutup mata, dia tutup telinga, karena dia merasa puas dengan kebohongan si anak.
Jadi di sini yang perlu diketahui oleh para orang tua, bahwa selesaikanlah masalah tanpa menimbulkan masalah yang lain. Ketika anak jujur, dia mengungkapkan satu masalah yang terjadi pada dirinya, selesaikan masalah itu dan tanam keberanian dia untuk jujur di kemudian hari.
(Baca juga : Pentingnya Tafakuri Diri )
Maka kita harus siap dengan kejujuran anak. Dan jangan terlalu puas dengan kebohongan si anak yang membuat kita terlena. Contohnya ketika anak ditanya sudah mengerjakan PR atau belum dan si anak menjawab “sudah”, maka orang tua puas, padahal bohong. Begitu dia jujur ketika ditanya sudah mengerjakan PR atau belum, dan dijawab “belum”, maka orang tua mengamuk. Tentu mengamuk ini tidak menyelesaikan masalah. Akibatnya besok ketika anak ditanya apakah sudah mengerjakan PR atau belum, maka dia jawab “sudah” dengan cepat padahal itu bohong.
Jadi orang tua harus siap dengan kejujuran anak. Sehingga ketika dia mendapatkan sesuatu yang tidak enak dari kejujuran si anak ini, dia bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Dan yang terpenting sebagai orang tua, kita harus bisa menjelaskan pula bahwa bohong itu adalah sesuatu yang haram, dilarang, tercela, walaupun dalam beberapa kondisi bohong itu sepertinya menguntungkan bagi dirinya, sepertinya positif, sepertinya baik, tapi sebenarnya tidak baik.
(Baca juga : Jelang Pulang ke Indonesia, FPI: Kondisi Habib Rizieq Sehat Walafiat )
Anak-anak perlu kita jelaskan bahwa bohong itu haram, bohong itu jalan mengantarkan kepada neraka. Misalnya dengan memberitahukan ada hadis Nabi SAW:
فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Bohong itu membawa manusia kepada kefajiran (kejahatan/keburukan), dan keburukan itu menghantarkan manusia ke neraka.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Jadi kita jelaskan bahwa akibat buruk dari kebohongan itu adalah keburukan, dan itu menghantar manusia kepada neraka.
Alasan Mengapa Anak Berbohong
Berikut ini ada beberapa alasan mengapa anak-anak berbohong :
1. Contoh yang salah dari orang tua
Anak-anak adalah peniru yang sangat baik. Mereka meniru segala hal yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk berbohong.
(Baca juga : Sah! Erick Thohir Bentuk Holding Aviasi dan Wisata )
Disadari atau tidak, orang tua seringkali memberikan contoh yang salah dalam perilaku berbohong ini, sehingga anak-anak menirunya di kemudian hari. Contoh kecil, saat seorang ibu ingin mengalihkan perhatian anakknya atau menghentikan tangis anaknya, ibu itu berkata, “Eh, lihat itu ada cicak!” atau “Eh, lihat ada pesawat terbang!”. Padahal sesungguhnya tidak ada cicak atau pesawat terbang disana.
Contoh lagi, saat ada tamu atau telpon, sedangkan ibu atau ayah sedang menghindari orang yang bertamu atau telpon tersebut, ibu akan mengatakan, “Bilang saja ibu nggak ada di rumah…”. Padahal ibu jelas-jelas ada di rumah.
Orang tua ada role model utama bagi anak-anak kita. Karena kitalah yang paling sering berada di dekat mereka. Jadi kita harus berhati-hati tentang masalah berbohong ini. Jika kita sering berbohong, maka jangan salahkan anak bila kelak mereka ikut berbohong. Namun, bila kita membiasakan anak untuk jujur sejak kecil, maka insyaallah anak-anak pun akan menjadi anak yang jujur dan mudah untuk diarahkan.
(Baca juga : Masyumi Reborn Bisa Besar jika Tawarkan Gagasan Istimewa dan Tokohnya Beri Teladan )
2. Anak jarang diberi pujian
Sering kali kita terburu-buru mengecap anak kita berbohong, mencurigainya, mengkritiknya, padahal anak berkata jujur. Dan kita akan langsung memberikan label “pembohong” ketika anak pernah sekali berbohong pada kita. Sehingga pada akhirnya, anak pun mengambil kesimpulan bahwa “bohong atau jujur sama saja, ibu akan tetap bilang aku ini pembohong”.
Dan kita juga lebih sering mengeluarkan kalimat-kalimat negatif pada anak, alih-alih memberinya semangat dan dorongan untuk selalu berbuat baik. Kita lebih sering mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan anak, mengecilkan hati anak, memberikan julukan yang negatif, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari “kekerasan verbal” terhadap seorang anak.
.Anak-anak yang terlalu sering mendapatkan kritikan dari orang tuanya, akhirnya menjadi haus pujian. Mereka akan melakukan segala cara untuk membuat orang tuanya mau memujinya. Salah satunya adalah berbohong. Dengan berbohong, mereka beranggapan bahwa mereka bisa menyelamatkan diri dari “omelan ibu” dan akan mendapatkan “pujian ibu”.
(Baca juga : 1.568 Pedagang Pasar Tradisional Terpapar COVID-19, IKAPPI Minta Pemerintah Beri Perhatian )
3. Bentuk pengalihan perhatian
Anak-anak yang masih kecil biasanya cenderung “tidak sengaja” berbohong. Dalam artian, mereka belum bisa memprediksi sebab-akibat. Jika kita menganggap jelas bahwa anak bermain bola dan memecahkan vas adalah suatu kesalahan, maka anak-anak tidak bisa berpikir demikian. Mereka hanya berpikir, “Aku main bola, dan aku ngga mecahin vas ibu. Bola yang mecahin vas ibu”. Dan itulah yang akan mereka katakan.
Anak-anak juga berbohong dengan menyalahkan orang lain atau hal lain untuk menyelamatkan diri dari hukuman. Contohnya, mereka menyalahkan kucing untuk pot bunga yang pecah saat mereka bermain di halaman, atau membuat alasan “kue ini buat kucing” saat ia kedapatan mengambil kue tanpa izin, dan lain sebagainya.
4. Ingin diterima oleh lingkungan dan teman-temannya
Pada anak-anak yang sudah lebih besar atau remaja, umumnya mereka berbohong untuk meningkatkan rasa percaya diri dan status sosialnya. Misalnya, mereka berbohong soal kekayaan keluarga, atau bersahabat dengan orang terkenal, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah mereka ingin diterima oleh suatu komunitas sosial tertentu di kalangan teman-temannya. Mereka juga ingin dianggap “hebat” atau “keren” dan segala hal yang berbau pamor di kalangan para remaja. Terkadang, hal yang demikian juga disebabkan karena anak pernah mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari teman-temannya, seperti dipermalukan atau diremehkan.
(Baca juga : Merapi Siaga, Ketersediaan Logistik dan Kesehatan Pengungsi Harus Terjamin )
Mendidik Anak Agar Tidak Bohong
Setiap orang tua tentunya merasa sedih dan kecewa bila melihat dan mendengar anaknya berbohong. Dan tidak jarang kita langsung merasa panik dan buru-buru men-judge anak “kamu bohong” atau “kamu pembohong”.
Yang harus kita lakukan adalah memahami perilaku tersebut sebagai tahapan perkembangan anak dan mencari solusinya agar tidak menjadi kebiasan di kemudian hari. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut solusi agar anak tidak berbohong lagi, di antaranya:
● Keteladanan dari orang tua
Menanamkan sikap jujur dan tidak suka berbohong adalah tugas orang tua dan pendidik. Namun, tentu saja tidak bisa hanya seaedar teori, melainkan dengan keteladanan. Berusahalah untuk bersikap jujur dalam perkataan dan perbuatan. Karena anak-anak melihat dan mencontoh apa yang mereka lihat dan mereka dengar.
(Baca juga : Dokter Keluarkan Ikan Hidup dari Tenggorokan Pria Ini )
● Menanamkan kejujuran sejak dini
Sesungguhnya kejujuran itu sederhana, tapi sulit untuk dilakukan. Semakin dewasa usia seseorang, akan semakin sulit dan makin banyak godaannya untuk berbuat jujur. Padahal, kejujuran adalah salah satu kecerdasan moral. Dan untuk melatih kecerdasan moral seperti ini jauh lebih sulit dari pada melatih kecerdasan intelegensi.
Para psikolog dan pakar pendidikan anak banyak menilai bahwa orang tua masa kini jauh lebih bisa mencerdaskan intelegensi anak dari pada mencerdaskan moral anak. Bukan berarti terjadi kemerosotan moral di sini, melainkan orang tua merasa tidak percaya diri dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Sehingga kemudian, orang tua pun menyerahkan tugas tersebut pada sekolah atau guru anak-anak mereka. Padahal, sejatinya pendidikan moral adalah hal yang juga harus diberikan oleh orang tua, bersama dengan pendidikan agama.
● Hindari memberi hukuman yang terlalu berat pada anak
Jika kita ingin memberikan anak hukuman karena kesalahannya, maka hukumlah dengan “adil”. Dalam artian, tidak setiap kesalahan anak harus mendapatkan hukuman yang berat. Lihat dan pertimbangkan seberapa berat kesalahan anak dan hukuman apa yang paling tepat untuknya.
Misalnya, anak menumpahkan air. Ini adalah perkara yang sepele sebenarnya. Bisa jadi anak tidak sengaja melakukannya. Maka berikan ia konsekuensi, untuk mengambil lap dan mengeringkan airnya dengan bantuan Anda.
● Hargai setiap usaha yang dilakukan anak
Sudah kodratnya anak-anak itu butuh pujian dari orang tuanya. Mereka butuh penghargaan dari setiap usaha baik yang mereka lakukan. Selaras dengan “teguran” yang mereka dapatkan ketika mereka melakukan kesalahan.
Tentunya anak-anak akan bertanya-tanya, kalau aku salah aku selalu dimarahi, tapi kalau aku jadi anak baik, ibu dan ayah biasa saja.
(Baca juga : Biden Jadi Presiden, 'Perang' AS-China Diramal Makin Seru )
Seorang anak lama-kelamaan akan merasa frustrasi dan jenuh ketika setiap usaha yang ia lakukan ia hanya mendapatkan kritikan pedas dari orang tuanya. Mereka akan merasa gagal, ditolak, tidak mampu, tidak percaya diri, dan rendah diri. Lebih-lebih jika orang tuanya membanding-bandingkan dirinya dengan saudaranya atau anak orang lain. Rasa frustrasi dan jenuh itulah yang juga bisa mendorong seorang anak untuk berbohong demi pengakuan.
● Hindari dan jauhkan anak dari tontonan atau cerita-cerita bohong
Sering memperdengarkan cerita-cerita bohong juga membuat anak-anak belajar berbohong. Karena sebagian besar anak-anak belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan saja.
● Dengarkan anak saat mereka bicara
Mendengarkan keinginan anak bukan berarti harus mewujudkan setiap keinginannya. Akan tetapi, mendengarkan di sini adalah menunjukkan antusiasme dan perhatian kita bahwa kita menghargai apapun yang mereka katakan.
Jika ternyata apa yang mereka katakan itu bukan hal yang sesungguhnya terjadi atau hanya khayalan mereka, jangan buru-buru marah atau menudingnya sebagai pembohong. Tapi, luruskanlah, agar anak-anak memiliki pola pikir yang lurus pula.
● Berikan kepercayaan pada anak
Akan tiba masanya anak-anak harus bisa melakukan banyak hal sendiri, tanpa bantuan dan pantauan orang tua. Apalagi ketika usia mereka beranjak remaja, tentulah mereka tak ingin terus menerus dibayangi atau terlalu diatur oleh orang tua.
Wallahu A'lam
Tidak diragukan lagi bahwa berbohong adalah sebuah perilaku tercela yang bisa menjadi kebiasaan apabila tidak ditangani sedini mungkin. Para pendidik, khususnya orang tua harus mencurahkan perhatian dan melakukan upaya-upaya perbaikan dari kebiasaan berbohong ini agar tidak menjadi kebiasan buruk yang mengakar kuat dalam diri seorang anak.
(Baca juga : Inilah Wasiat Syaikh Al Utsaimin untuk Perempuan Muslimah )
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ustadz Abu Ihsan Al Atsaary dalam kajiannya 'Mencetak Generasi Rabbani' di laman dakwah online-nya menjelaskan, kejujuran anak kadangkala membuat orang tua tidak siap. Sehingga ketika anak jujur dan itu membuat terkejut orang tua, maka orang tua tidak siap untuk memberikan apresiasi terhadap kejujuran si anak dan fokus kepada apa yang dia dengar.
(Baca juga : Kezuhudan Istri Khalifah )
Misalnya anak jujur tentang apa yang dia perbuat, mungkin dia melakukan satu kesalahan dan dia jujur sama orang tuanya, dia berkata kepada orang tuanya “Ayah, ibu saya melakukan ini.” Apa reaksi orang tua? Orang tua fokus kepada apa yang disampaikan oleh anak. Dan kalau dia salah memberikan reaksi, itu bisa membuat trauma bagi anak untuk jujur. Mungkin dia berkata dalam hati bahwa akibat dari jujur itu seperti ini. Mungkin dia dapat hukuman yang berat dari orang tua, celaan, cercaan, cacian, makian, stigma buruk, bahkan vonis mungkin dari orang tuanya akibat kejujurannya.
Karena itu, orang tua harus proporsional dalam memberikan apresiasi bagi sisi positif yang ditunjukkan oleh anak, yaitu kejujurannya. Mungkin itu butuh perjuangan berat baginya untuk jujur terhadap sesuatu yang dia tahu orang tuanya pasti marah. Tapi kadang-kadang orang tua tidak memberikan apresiasi terhadap kejujurannya, justru menganggap itu seolah-olah tidak ada nilainya, maka habislah anak ini dimarahi oleh orang tuanya akibat kejujurannya.
(Baca juga : Menjenguk Orang Sakit, Adab Mulia yang Banyak Keutamaan )
Di sini para orang tua harus bisa bersikap bijak untuk menyelesaikan masalah anak. Anak banyak masalah, anak banyak berbuat salah, itu sesuatu yang dilakukan oleh manusia, bukan hanya anak namun orang tua juga. Tapi ketika anak salah lalu dia jujur, mengapa kita begitu panik dan begitu heboh terhadap kejujurannya? Sehingga membuat dia berkata dalam hati: “Kalau begitu esok hari saya tidak jujur saja, saya bohong saja. Karena bohong itu selamat, jujur itu bencana.” Maka dia pun termotivasi untuk bohong.
Sebagian orang tua senang dibohongin anak, mendengarkan yang baik-baik dari anak padahal tidak seperti itu. Anak bisa memanipulasi kenyataan dengan kebohongannya. Dan orang tua senang dengan kebohongan si anak ini. Dia tutup mata, dia tutup telinga, karena dia merasa puas dengan kebohongan si anak.
Jadi di sini yang perlu diketahui oleh para orang tua, bahwa selesaikanlah masalah tanpa menimbulkan masalah yang lain. Ketika anak jujur, dia mengungkapkan satu masalah yang terjadi pada dirinya, selesaikan masalah itu dan tanam keberanian dia untuk jujur di kemudian hari.
(Baca juga : Pentingnya Tafakuri Diri )
Maka kita harus siap dengan kejujuran anak. Dan jangan terlalu puas dengan kebohongan si anak yang membuat kita terlena. Contohnya ketika anak ditanya sudah mengerjakan PR atau belum dan si anak menjawab “sudah”, maka orang tua puas, padahal bohong. Begitu dia jujur ketika ditanya sudah mengerjakan PR atau belum, dan dijawab “belum”, maka orang tua mengamuk. Tentu mengamuk ini tidak menyelesaikan masalah. Akibatnya besok ketika anak ditanya apakah sudah mengerjakan PR atau belum, maka dia jawab “sudah” dengan cepat padahal itu bohong.
Jadi orang tua harus siap dengan kejujuran anak. Sehingga ketika dia mendapatkan sesuatu yang tidak enak dari kejujuran si anak ini, dia bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Dan yang terpenting sebagai orang tua, kita harus bisa menjelaskan pula bahwa bohong itu adalah sesuatu yang haram, dilarang, tercela, walaupun dalam beberapa kondisi bohong itu sepertinya menguntungkan bagi dirinya, sepertinya positif, sepertinya baik, tapi sebenarnya tidak baik.
(Baca juga : Jelang Pulang ke Indonesia, FPI: Kondisi Habib Rizieq Sehat Walafiat )
Anak-anak perlu kita jelaskan bahwa bohong itu haram, bohong itu jalan mengantarkan kepada neraka. Misalnya dengan memberitahukan ada hadis Nabi SAW:
فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Bohong itu membawa manusia kepada kefajiran (kejahatan/keburukan), dan keburukan itu menghantarkan manusia ke neraka.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Jadi kita jelaskan bahwa akibat buruk dari kebohongan itu adalah keburukan, dan itu menghantar manusia kepada neraka.
Alasan Mengapa Anak Berbohong
Berikut ini ada beberapa alasan mengapa anak-anak berbohong :
1. Contoh yang salah dari orang tua
Anak-anak adalah peniru yang sangat baik. Mereka meniru segala hal yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk berbohong.
(Baca juga : Sah! Erick Thohir Bentuk Holding Aviasi dan Wisata )
Disadari atau tidak, orang tua seringkali memberikan contoh yang salah dalam perilaku berbohong ini, sehingga anak-anak menirunya di kemudian hari. Contoh kecil, saat seorang ibu ingin mengalihkan perhatian anakknya atau menghentikan tangis anaknya, ibu itu berkata, “Eh, lihat itu ada cicak!” atau “Eh, lihat ada pesawat terbang!”. Padahal sesungguhnya tidak ada cicak atau pesawat terbang disana.
Contoh lagi, saat ada tamu atau telpon, sedangkan ibu atau ayah sedang menghindari orang yang bertamu atau telpon tersebut, ibu akan mengatakan, “Bilang saja ibu nggak ada di rumah…”. Padahal ibu jelas-jelas ada di rumah.
Orang tua ada role model utama bagi anak-anak kita. Karena kitalah yang paling sering berada di dekat mereka. Jadi kita harus berhati-hati tentang masalah berbohong ini. Jika kita sering berbohong, maka jangan salahkan anak bila kelak mereka ikut berbohong. Namun, bila kita membiasakan anak untuk jujur sejak kecil, maka insyaallah anak-anak pun akan menjadi anak yang jujur dan mudah untuk diarahkan.
(Baca juga : Masyumi Reborn Bisa Besar jika Tawarkan Gagasan Istimewa dan Tokohnya Beri Teladan )
2. Anak jarang diberi pujian
Sering kali kita terburu-buru mengecap anak kita berbohong, mencurigainya, mengkritiknya, padahal anak berkata jujur. Dan kita akan langsung memberikan label “pembohong” ketika anak pernah sekali berbohong pada kita. Sehingga pada akhirnya, anak pun mengambil kesimpulan bahwa “bohong atau jujur sama saja, ibu akan tetap bilang aku ini pembohong”.
Dan kita juga lebih sering mengeluarkan kalimat-kalimat negatif pada anak, alih-alih memberinya semangat dan dorongan untuk selalu berbuat baik. Kita lebih sering mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan anak, mengecilkan hati anak, memberikan julukan yang negatif, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari “kekerasan verbal” terhadap seorang anak.
.Anak-anak yang terlalu sering mendapatkan kritikan dari orang tuanya, akhirnya menjadi haus pujian. Mereka akan melakukan segala cara untuk membuat orang tuanya mau memujinya. Salah satunya adalah berbohong. Dengan berbohong, mereka beranggapan bahwa mereka bisa menyelamatkan diri dari “omelan ibu” dan akan mendapatkan “pujian ibu”.
(Baca juga : 1.568 Pedagang Pasar Tradisional Terpapar COVID-19, IKAPPI Minta Pemerintah Beri Perhatian )
3. Bentuk pengalihan perhatian
Anak-anak yang masih kecil biasanya cenderung “tidak sengaja” berbohong. Dalam artian, mereka belum bisa memprediksi sebab-akibat. Jika kita menganggap jelas bahwa anak bermain bola dan memecahkan vas adalah suatu kesalahan, maka anak-anak tidak bisa berpikir demikian. Mereka hanya berpikir, “Aku main bola, dan aku ngga mecahin vas ibu. Bola yang mecahin vas ibu”. Dan itulah yang akan mereka katakan.
Anak-anak juga berbohong dengan menyalahkan orang lain atau hal lain untuk menyelamatkan diri dari hukuman. Contohnya, mereka menyalahkan kucing untuk pot bunga yang pecah saat mereka bermain di halaman, atau membuat alasan “kue ini buat kucing” saat ia kedapatan mengambil kue tanpa izin, dan lain sebagainya.
4. Ingin diterima oleh lingkungan dan teman-temannya
Pada anak-anak yang sudah lebih besar atau remaja, umumnya mereka berbohong untuk meningkatkan rasa percaya diri dan status sosialnya. Misalnya, mereka berbohong soal kekayaan keluarga, atau bersahabat dengan orang terkenal, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah mereka ingin diterima oleh suatu komunitas sosial tertentu di kalangan teman-temannya. Mereka juga ingin dianggap “hebat” atau “keren” dan segala hal yang berbau pamor di kalangan para remaja. Terkadang, hal yang demikian juga disebabkan karena anak pernah mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari teman-temannya, seperti dipermalukan atau diremehkan.
(Baca juga : Merapi Siaga, Ketersediaan Logistik dan Kesehatan Pengungsi Harus Terjamin )
Mendidik Anak Agar Tidak Bohong
Setiap orang tua tentunya merasa sedih dan kecewa bila melihat dan mendengar anaknya berbohong. Dan tidak jarang kita langsung merasa panik dan buru-buru men-judge anak “kamu bohong” atau “kamu pembohong”.
Yang harus kita lakukan adalah memahami perilaku tersebut sebagai tahapan perkembangan anak dan mencari solusinya agar tidak menjadi kebiasan di kemudian hari. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut solusi agar anak tidak berbohong lagi, di antaranya:
● Keteladanan dari orang tua
Menanamkan sikap jujur dan tidak suka berbohong adalah tugas orang tua dan pendidik. Namun, tentu saja tidak bisa hanya seaedar teori, melainkan dengan keteladanan. Berusahalah untuk bersikap jujur dalam perkataan dan perbuatan. Karena anak-anak melihat dan mencontoh apa yang mereka lihat dan mereka dengar.
(Baca juga : Dokter Keluarkan Ikan Hidup dari Tenggorokan Pria Ini )
● Menanamkan kejujuran sejak dini
Sesungguhnya kejujuran itu sederhana, tapi sulit untuk dilakukan. Semakin dewasa usia seseorang, akan semakin sulit dan makin banyak godaannya untuk berbuat jujur. Padahal, kejujuran adalah salah satu kecerdasan moral. Dan untuk melatih kecerdasan moral seperti ini jauh lebih sulit dari pada melatih kecerdasan intelegensi.
Para psikolog dan pakar pendidikan anak banyak menilai bahwa orang tua masa kini jauh lebih bisa mencerdaskan intelegensi anak dari pada mencerdaskan moral anak. Bukan berarti terjadi kemerosotan moral di sini, melainkan orang tua merasa tidak percaya diri dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Sehingga kemudian, orang tua pun menyerahkan tugas tersebut pada sekolah atau guru anak-anak mereka. Padahal, sejatinya pendidikan moral adalah hal yang juga harus diberikan oleh orang tua, bersama dengan pendidikan agama.
● Hindari memberi hukuman yang terlalu berat pada anak
Jika kita ingin memberikan anak hukuman karena kesalahannya, maka hukumlah dengan “adil”. Dalam artian, tidak setiap kesalahan anak harus mendapatkan hukuman yang berat. Lihat dan pertimbangkan seberapa berat kesalahan anak dan hukuman apa yang paling tepat untuknya.
Misalnya, anak menumpahkan air. Ini adalah perkara yang sepele sebenarnya. Bisa jadi anak tidak sengaja melakukannya. Maka berikan ia konsekuensi, untuk mengambil lap dan mengeringkan airnya dengan bantuan Anda.
● Hargai setiap usaha yang dilakukan anak
Sudah kodratnya anak-anak itu butuh pujian dari orang tuanya. Mereka butuh penghargaan dari setiap usaha baik yang mereka lakukan. Selaras dengan “teguran” yang mereka dapatkan ketika mereka melakukan kesalahan.
Tentunya anak-anak akan bertanya-tanya, kalau aku salah aku selalu dimarahi, tapi kalau aku jadi anak baik, ibu dan ayah biasa saja.
(Baca juga : Biden Jadi Presiden, 'Perang' AS-China Diramal Makin Seru )
Seorang anak lama-kelamaan akan merasa frustrasi dan jenuh ketika setiap usaha yang ia lakukan ia hanya mendapatkan kritikan pedas dari orang tuanya. Mereka akan merasa gagal, ditolak, tidak mampu, tidak percaya diri, dan rendah diri. Lebih-lebih jika orang tuanya membanding-bandingkan dirinya dengan saudaranya atau anak orang lain. Rasa frustrasi dan jenuh itulah yang juga bisa mendorong seorang anak untuk berbohong demi pengakuan.
● Hindari dan jauhkan anak dari tontonan atau cerita-cerita bohong
Sering memperdengarkan cerita-cerita bohong juga membuat anak-anak belajar berbohong. Karena sebagian besar anak-anak belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan saja.
● Dengarkan anak saat mereka bicara
Mendengarkan keinginan anak bukan berarti harus mewujudkan setiap keinginannya. Akan tetapi, mendengarkan di sini adalah menunjukkan antusiasme dan perhatian kita bahwa kita menghargai apapun yang mereka katakan.
Jika ternyata apa yang mereka katakan itu bukan hal yang sesungguhnya terjadi atau hanya khayalan mereka, jangan buru-buru marah atau menudingnya sebagai pembohong. Tapi, luruskanlah, agar anak-anak memiliki pola pikir yang lurus pula.
● Berikan kepercayaan pada anak
Akan tiba masanya anak-anak harus bisa melakukan banyak hal sendiri, tanpa bantuan dan pantauan orang tua. Apalagi ketika usia mereka beranjak remaja, tentulah mereka tak ingin terus menerus dibayangi atau terlalu diatur oleh orang tua.
Wallahu A'lam
(wid)