Quraish Shihab: Kebajikan Lebih Dahulu Menghiasi Diri Manusia Daripada Kejahatan

Senin, 16 November 2020 - 15:03 WIB
loading...
Quraish Shihab: Kebajikan...
Prof Muhammad Quraish Shihab. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
TIAP manusia memiliki dua potensi: berkelakuan baik, dan juga sebaliknya, buruk. Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain:

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS Al-Balad [90]: 10).

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

...dan (demi) jiwa serta penyempurnaaaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan (QS Asy-Syams [91]: 7-8).

Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam kitab " Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat " menjelaskan walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. ( )

Al-Quran surat Thaha (20): 121 menguraikan bahwa Iblis menggoda Adam sehingga, ... durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.

Redaksi ini, menurut Quraish, menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun kemudian Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.

Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman.

Perbedaan --jika terjadi-- terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma'ruf dalam bahasa Al-Quran. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. ( )

Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma'ruf).

Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis-hadis Nabi Saw. pun antara lain menginformasikannya:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi , Nasrani , atau Majusi (HR Bukhari).

Seorang sahabat Nabi SAW bernama Wabishah bin Ma'bad berkunjung kepada Nabi SAW lalu beliau menyapanya dengan bersabda:

"Engkau datang menanyakan kebaikan?" "Benar, wahai Rasul," jawab Wabishah. "Tanyailah hatimu! "Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa." (HR Ahmad dan Ad-Darimi).

Dengan demikian menjadi amat wajar jika ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa manusia pada hakikatnya--setidaknya pada awal masa perkembangan-- tidak akan sulit melakukan kebajikan, berbeda halnya dengan melakukan keburukan. ( )

Salah satu frase dalam surat Al-Baqarah ayat 286 menyatakan, "Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya".

Menurut Quraish Shihab, oleh beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan sebagai bukti apa yang disebut di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat bahwa kalimat "yang dilakukan" terulang dua kali: yang pertama adalah terjemahan dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan kata iktasabat.

Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyatakan kata iktasabat, dan semua kata yang berpatron demikian, memberi arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, berbeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa pemaksaan.

Dalam ayat di atas, perbuatan-perbuatan manusia yang buruk dinyatakan dengan iktasabat, sedangkan perbuatan yang baik dengan kasabat. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. ( )

Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).

Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fithrah (asal kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum (30): 30 dinyatakan,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4136 seconds (0.1#10.140)