Risiko Berat Hukum Berucap Biar Satu Kata Seandainya

Sabtu, 13 Februari 2021 - 21:27 WIB
loading...
Risiko Berat Hukum Berucap Biar Satu Kata Seandainya
Ilustrasi/Ist
A A A
MEYAKINI bahwa Allah adalah satu-satunya pemilik takdir yang menentukan segala sesuatu untuk terjadi maupun tidak terjadi termasuk ke dalam dasar keyakinan Islam. Keyakinan ini kemudian dikenal sebagai iman kepada qadha dan qadar dalam rukun iman. Meski Allah juga memberikan akal pikiran kepada manusia untuk menentukan apa yang ia akan lakukan dan tidak.



Oleh karenanya manusia dalam setiap peristiwa hendaknya meyakini bahwa di atas semua yang terjadi dan belum terjadi adalah kehendak Allah. Caranya adalah dengan mengingat bahwa sebab-sebab terjadinya kejadian tersebut merupakan ciptaan Allah.

Mengandai-andai suatu kejadian meskipun hanya mengucapkan perkataan لَوْ (seandainya) apabila mengesampingkan takdir (kepasti) Allah, termasuk bentuk syirik .

Misalnya seseorang berkata: ‘Seandainya ia tidak naik pesawat, niscaya ia selamat’, karena berkeyakinan bahwa penyebab tewasnya adalah naik pesawat yang mengalami kecelakaan. Padahal tewasnya karena sudah ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak naik pesawat pun, jika sudah ditakdirkan Allah, pasti akan mati juga.

Memberikan penjelasan dengan disertai uraian tentang sebab akibat adalah sah-sah saja, karena Islam juga mengakui adanya sebab dan akibat. Namun harus disertai pula dengan penjelasan bahwa semua itu karena takdir Allah.



Mengembalikan peristiwa kepada sebab akibat saja, tanpa dengan meyakini takdir Allah adalah adat kebiasaan orang-orang munafik . Allah menegaskan dalam firman-Nya:

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا …

Artinya: “(Mereka itu adalah) orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: ‘Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh…” (QS. Ali Imran: 168)

Dalam suatu hadis ditegaskan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ. (أخرجه مسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Usahalah dengan keras untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah semangat. Dan apabila kamu tertimpa musibah janganlah berkata: seandainya saya melakukan ini dan itu, niscaya menjadi begini dan begitu, melainkan katakanlah: Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki, Dia kerjakan. Sebab sesungguhnya perkataan ‘lau’ (seandainya) itu membuka perbuatan syaitan.” (Ditakhrijkan oleh Muslim)

Sebab Akibat
Ayat di atas menegaskan bahwa terbunuhnya adalah karena takdir Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengatakan ‘lau’ (seandainya), yang maksudnya hanya memikirkan sebab akibat saja, dan memberi perintah wajib menyerahkan semuanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena sebab dan akibatnya Allah jualah yang menghendaki dan menciptakannya.

Lain halnya jika perkataan ‘lau’ tersebut merupakan ungkapan penyesalan sebagai bagian dari usaha untuk introspeksi atau mengambil hikmah dari suatu peristiwa dan tidak mengingkari takdir Allah, maka hal itu diperbolehkan.

Sungguhpun demikian, manusia dituntunkan untuk menggapai takdir yang baik dari Allah dengan melakukan usaha atau ikhtiar. Bahkan manusia wajib berikhtiar dengan semaksimal mungkin, baru kemudian menyerahkan segala-galanya (bertawakkal) kepada Allah subhanahu wa ta’ala tentang takdir-Nya.

Tidak dibenarkan seseorang pasrah begitu saja tanpa melakukan usaha atau ikhtiar sama sekali, hanya menunggu takdir Allah datang.

Sebagai contoh, misalnya seseorang yang dalam keadaan mengantuk berat, sebagai bentuk ikhtiar hendaknya ia tidak mengemudikan mobil sebelum beristirahat secukupnya.

Bagaimanapun juga mengemudi dalam keadaan mengantuk sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kecelakaan. Setelah dirasa cukup istirahat dan tidak lagi mengantuk, barulah ia dapat mengemudikan mobil secara lebih baik dan bertawakkal pada Allah dengan berdoa atau setidaknya membaca basmalah (Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).



Apabila ternyata tetap terjadi kecelakaan dan ia meninggal dunia, maka itulah takdir Allah. Di sini, yang perlu dipahami adalah orang tersebut sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan bertawakkal.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

… فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ. (آل عمران، 3: 159)

Artinya: “… kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Contoh lain, ketika seseorang menderita sakit, maka hendaknya ia berikhtiar dengan berobat. Setelah sembuh, apabila ia mengucapkan ‘saya sembuh karena berobat’, asalkan dengan keyakinan bahwa berobat tersebut adalah bagian dari ikhtiar dan kesembuhannya adalah takdir Allah, maka hal itu bukan termasuk syirik dan tidak ada masalah. Apabila ternyata ia tidak sembuh bahkan kemudian meninggal dunia, sama dengan contoh sebelumnya, bahwa orang itu sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan bertawakkal.

Hukum yang Berbeda
Ucapan ‘andai‘ atau sikap berandai-andai memiliki beberapa bentuk penggunaan dan masing-masing penggunaan memiliki hukum yang berbeda-beda.

Pertama, pengandaian karena memprotes syariat. Dalam hal ini ulama sepakat hukumnya haram. Misalnya, seseorang mengatakan; andai rokok itu halal, tentu aku bisa dapat untung besar. Dia ucapkan semacam ini karena kesedihannya ketika harus kehilangan pekerjaan di pabrik rokok atau tembakaunya dibuang.

Pengandaian dalam bentuk protes terhadap syariat semacam ini merupakan karakter orang munafik yang keberatan dengan aturan Allah.

Kedua, pengandaian untuk memprotes takdir. Ulama sepakat hukumnya haram. Misalnya, seseorang sangat sedih karena kehilangan kesempatan menguntungkan. Kemudian dia berandai-andai: “Andai tadi saya di rumah, pasti saya dapat jatah juga.”

Pengandaian semacam ini juga dilakukan orang-orang munafik, karena tidak tahan dengan ujian berat yang menimpa mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan keadaan mereka:

يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Mereka (orang-orang munafik) berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS. Ali Imran: 154).

Ketiga, pengandaian karena penyesalan akibat musibah yang menimpanya. Hukumnya haram. Misal, seseorang mengalami kecelakaan, kemudian dia berandai: “Andai saya tadi gak berangkat, kan gak kecelakaan”

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء، فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل قدر الله وما شاء فعل، فإن لو تفتح عمل الشيطان

“Semangatlah dalam menggapai apa yang manfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan bersikap lemah. Jangan pula mengatakan: ‘Andaikan aku berbuat demikian tentu tidak akan terjadi demikian’ namun katakanlah: ‘Ini takdir Allah, dan apapun yang Allah kehendaki pasti Allah wujudkan’ karena berandai-andai membuka tipuan setan.” (HR. Muslim 2664)

Keempat, pengandaian karena keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir.

Hukum dari pengandaian ini tergantung dari apa yang diangan-angankan. Jika yang diangankan kebaikan, maka nilainya pahala dan sebaliknya, jika yang diangankan kemaksiatan maka nilainya dosa.

Disebutkan dalam Hadis dari Abu Kabsyah Al-Anmari, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّي أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ إِنَّمَا هِيَ أَهْلُ الدُّنْيَا أَرْبَعَةُ نَفَرٍ: عَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ فِيهَا مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْمَلُ لِلَّهِ فِيهِ بِحَقِّهِ فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَتَخَبَّطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْمَلُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٌ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهِيَ نِيَّتِهُ وَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Aku sampaikan kepadamu sebuah hadis, mohon dijaga: sesungguhnya penduduk dunia ada 4 macam:

Pertama, hamba yang Allah berikan rezeki berupa harta dan ilmu. Kemudian dia gunakan rezekinya untuk bertaqwa kepada Allah, menyambung silaturahim, menunaikan hak harta untuk Allah. Inilah jenis manusia yang paling mulia.

Kedua, hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak Allah beri harta. Kemudian dia jujur dalam niatnya, dan berangan-angan: ‘Andai aku memiliki harta, maka aku akan beramal seperti yang dilakukan si A (sedekah, zakat, dst)’ Dua orang ini pahalanya sama.

Ketiga, hamba yang Allah berikan harta namun tidak Allah beri ilmu. Kemudian dia habiskan hartanya tanpa ilmu, tidak digunakan untuk bertaqwa kepada Allah, tidak menyambung silaturahim, dan tidak menunaikan haknya untuk Allah. Inilah jenis manusia yang paling jelek.

Hamba yang tidak Allah berikan harta dan ilmu, namun dia berangan-angan, ‘Andaikan saya memiliki harta, akan saya lakukan seperti yang dilakukan si A’. Dua orang ini dosanya sama. (HR. Thabrani, 110)

Kelima, pengandaian untuk hanya sebatas informasi, bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir. hukumnya dibolehkan. Misal, seseorang mengatakan: “Andai kemarin Anda hadir, Anda akan mendapatkan ceramah yang bermanfaat.”

Wallahu a’lam bish-shawab
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1667 seconds (0.1#10.140)