Hati-hati dengan Istidraj dan Ini 5 Ciri-cirinya
loading...
A
A
A
Segala kesenangan dan kemegahan dunia seringkali membuat manusia silau hingga tenggelam serta sibuk dalam buaian kebahagiaan. Sebagai mukmin yang memiliki jiwa bersih hendaknya lebih jeli kala menghadapi saat-saat indah ini, karena jika ia tak menyadari semua itu bisa berubah menjadi prahara . Realitanya, tak sedikit manusia terlena dengan kesenangan semu itu, bahkan melakukan dosa, maka inilah yang dinamakan istidraj.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
فلما نسوا ما ذكروا به فتحنا عليهم أبواب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوتوا أخذنا هم بغتة فإذا هم مبلسون
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al-An’am : 44).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti tentang istidraj ini. Dalam salah satu hadis Beliau bersabda:
“Apabila engkau melihat seorang hamba masih mendapatkan karunia dunia dari Allah sesuka hatinya sementara ia masih gemar melakukan maksiat sesungguhnya karunia itu tidak lain adalah istidraj” (HR. Ahmad)
Ketika seorang mukmin diuji dengan istidraj ini, bagaimana ciri dan tanda-tandanya ? Rasulullah Shallallau alaihi wa sallam bersabda:
”Apabila kamu melihat bahawa Allah Taala memberikan nikmat kepada hambanya yang selalu membuat maksiat(durhaka), ketahuilah bahawa orang itu telah diistidrajkan oleh Allah SWT.”(HR At-Tabrani, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ciri-ciri istidraj:
1. Diberi kenikmatan duniawi yang melimpah, tetapi keimanan terus menurun
Kenikmatan duniawi yang dirasakan oleh seseorang yang beriman dengan yang tidak beriman rasanya akan berbeda. Seseorang yang beriman akan senantiasa bersyukur dan mendapati ketenangan yang sangat menentramkan dalam hidupnya akan tetapi hal tersebut tidak akan dirasakan oleh orang yang tidak beriman, mereka hanya akan merasa kurang dan gelisah walaupun tengah menikmati semua kemudahan dan kebahagiaan yang Allah berikan.
2. Rejeki lancar, ibadah diabaikan
Tidak semua orang terlahir dalam keadaan yang serba berkecukupan. Sebagian orang harus berusaha keras untuk mendapatkan penghasilan dan mendekatkan diri kepada Allah agar Allah membantu melancarkan pintu rejekinya. Namun ketika seseorang yang selalu meninggalkan ibadahnya secara sengaja namun rejekinya terus mengalir lancar maka hal tersebut termasuk ke dalam ciri-ciri dari istidraj. Dimana kelancaran rejeki yang didapat tentunya disertai dengan tanggung jawab yang besar semakin banyak rejeki yang didapat, semakin kita mengabaikan ibadah dan perintah Allah maka akan semakin berat juga dosa yang kita tanggung.
Ibnu Athaillah berkata : “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah”.
3. Hidupnya sukses padahal selalu bermaksiat
Ali Bin Abi Thalib rhadiyallahu'anhu berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya”.
Istidraj sangat jelas dalam perkara ini karena perbuatan maksiat pangkalnya adalah kehancuran dan penderitaan. Namun ketika maksiat terus dilakukan sedangkan kehidupan di dunianya semakin sukses dan sejahtera maka hal tersebut adalah kemurahan hati yang Allah berikan dalam bentuk istidraj.
4. Harta terus melimpah padahal kikir dan pelit
Kebanyakan orang berpikir bahwa harta yang ia dapatkan adalah miliknya seorang saja sehingga ia merasa terlalu sayang jika hartanya harus dibagi dengan orang lain walaupun dalam bentuk sedekah atau zakat sekalipun. Maka jika Allah masih bermurah hati menjaga harta untuknya, itu adalah salah satu ciri ujian dalam bentuk istidraj.
Allah subhana hua ta’ala berfirman dalam surat al-Humazah ayat 1-3 yang berbunyi:
وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١ ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢ يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣
Artinya:
(1)Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela; (2) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung; (3) dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. (QS. Al-Humazah : 1-3).
5. Jarang sakit
Sakit adalah hal yang lumrah terjadi pada manusia karena kesehatan dan cuaca terkadang mengalami perubahan yang cukup fluktuatif terlebih dengan aktifitas harian manusia yang padat. Tentu ada masanya system imun menurun dan menyebabkan sakit. Namun untuk orang-orang yang sedang mendapatkan ujian istidraj biasanya jarang jatuh sakit karena hikmah dari sakit salah satunya adalah meringankan kita dari dosa-dosa yang kita lakukan.
Imam Syafi’I pernah mengatakan mengenai perkara ini bahwa:
“setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit maka tengoklah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.”
Musibah di Atas Musibah
Lantas bagaimana seorang muslim menyikapi istidraj ini?Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan nasehat yang indah tentang hal ini. Al-Ustaimin mengatakan, Allah memberikan kesempatan kepada seseorang hamba yang berbuat dzalim dan tidak menyegerakan siksanya. Ini merupakan ujian, kita memohon semoga melindungi kita semua. Diantara sikap istidraj adalah diberi kesempatan untuk berbuat dzalim dan tidak segera dihukum, sehingga dia melakukan banyak kezaliman kepada manusia. Jika Allah mengazabnya dengan azab yang pedih.
Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman:
وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى و هي ظلمة إن أخذه أليم شديد
“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabia Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya adalah sangat pedih lagi keras”. (QS. Huud: 62).
Dalam Syarah Riyadhus Shalihin, Al-Ustsaimin juga menjelaskan, kepada orang yang dzalim hendaklah dia tidak terperdaya oleh dirinya sendiri dan tidak pula dengan karunia Allah yang diberikan kepadanya karena semua itu hakikatnya musibah di atas musibah. Karena jika manusia dihukum oleh Allah dengan segera atas kezalimannya mungkin dia akan selalu ingat dan meninggalkan kezaliman. Tetapi jika dia masih diberi kesempatan terus untuk berbuat zalim dan melakukan perbuatan dosa maka kezalimannya terus bertambah dan dosa-dosanya menumpuk sehingga hukumannya semakin berat. Kita memohon kepada Allah semoga kita diberi karunia untuk bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran-Nya dan semoga Allah melindungi dari kezaliman diri kita dan kezaliman orang lain. Innahu Jawwaadun Kariim” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Inilah nasehat indah agar kaum mukminin selalu berhati-hati agar tidak berbuat dzalim. Dan tidaklah pantas kita terpedaya orang-orang yang dibukakan pintu-pintu kenikmatan dunia namun mereka melupakan karunia Allah Ta’ala, tidak mensyukurinya bahkan memanfaatkannya di jalan-jalan yang dibenci Allah ‘Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat : “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap diri kalian. Tetapi yang aku khawatirkan justru apabila dunia ini dibentangkannya kepada kalian, sebagaimana dahulu juga dibentangkan di hadapan umat-umat sebelum kalian. Lalu kalianpun memperebutkannya. Hingga akhirnya dunia ini membinasakan kalian sebagaimana dahulu dunia itupun membuat mereka binasa” (HR. Ahmad dan Al-Hakim).
Wallahu A'lam
Baca Juga
Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
فلما نسوا ما ذكروا به فتحنا عليهم أبواب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوتوا أخذنا هم بغتة فإذا هم مبلسون
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al-An’am : 44).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti tentang istidraj ini. Dalam salah satu hadis Beliau bersabda:
“Apabila engkau melihat seorang hamba masih mendapatkan karunia dunia dari Allah sesuka hatinya sementara ia masih gemar melakukan maksiat sesungguhnya karunia itu tidak lain adalah istidraj” (HR. Ahmad)
Baca Juga
Ketika seorang mukmin diuji dengan istidraj ini, bagaimana ciri dan tanda-tandanya ? Rasulullah Shallallau alaihi wa sallam bersabda:
”Apabila kamu melihat bahawa Allah Taala memberikan nikmat kepada hambanya yang selalu membuat maksiat(durhaka), ketahuilah bahawa orang itu telah diistidrajkan oleh Allah SWT.”(HR At-Tabrani, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ciri-ciri istidraj:
1. Diberi kenikmatan duniawi yang melimpah, tetapi keimanan terus menurun
Kenikmatan duniawi yang dirasakan oleh seseorang yang beriman dengan yang tidak beriman rasanya akan berbeda. Seseorang yang beriman akan senantiasa bersyukur dan mendapati ketenangan yang sangat menentramkan dalam hidupnya akan tetapi hal tersebut tidak akan dirasakan oleh orang yang tidak beriman, mereka hanya akan merasa kurang dan gelisah walaupun tengah menikmati semua kemudahan dan kebahagiaan yang Allah berikan.
2. Rejeki lancar, ibadah diabaikan
Tidak semua orang terlahir dalam keadaan yang serba berkecukupan. Sebagian orang harus berusaha keras untuk mendapatkan penghasilan dan mendekatkan diri kepada Allah agar Allah membantu melancarkan pintu rejekinya. Namun ketika seseorang yang selalu meninggalkan ibadahnya secara sengaja namun rejekinya terus mengalir lancar maka hal tersebut termasuk ke dalam ciri-ciri dari istidraj. Dimana kelancaran rejeki yang didapat tentunya disertai dengan tanggung jawab yang besar semakin banyak rejeki yang didapat, semakin kita mengabaikan ibadah dan perintah Allah maka akan semakin berat juga dosa yang kita tanggung.
Ibnu Athaillah berkata : “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah”.
3. Hidupnya sukses padahal selalu bermaksiat
Ali Bin Abi Thalib rhadiyallahu'anhu berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya”.
Istidraj sangat jelas dalam perkara ini karena perbuatan maksiat pangkalnya adalah kehancuran dan penderitaan. Namun ketika maksiat terus dilakukan sedangkan kehidupan di dunianya semakin sukses dan sejahtera maka hal tersebut adalah kemurahan hati yang Allah berikan dalam bentuk istidraj.
4. Harta terus melimpah padahal kikir dan pelit
Kebanyakan orang berpikir bahwa harta yang ia dapatkan adalah miliknya seorang saja sehingga ia merasa terlalu sayang jika hartanya harus dibagi dengan orang lain walaupun dalam bentuk sedekah atau zakat sekalipun. Maka jika Allah masih bermurah hati menjaga harta untuknya, itu adalah salah satu ciri ujian dalam bentuk istidraj.
Allah subhana hua ta’ala berfirman dalam surat al-Humazah ayat 1-3 yang berbunyi:
وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١ ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢ يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣
Artinya:
(1)Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela; (2) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung; (3) dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. (QS. Al-Humazah : 1-3).
5. Jarang sakit
Sakit adalah hal yang lumrah terjadi pada manusia karena kesehatan dan cuaca terkadang mengalami perubahan yang cukup fluktuatif terlebih dengan aktifitas harian manusia yang padat. Tentu ada masanya system imun menurun dan menyebabkan sakit. Namun untuk orang-orang yang sedang mendapatkan ujian istidraj biasanya jarang jatuh sakit karena hikmah dari sakit salah satunya adalah meringankan kita dari dosa-dosa yang kita lakukan.
Imam Syafi’I pernah mengatakan mengenai perkara ini bahwa:
“setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit maka tengoklah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.”
Baca Juga
Musibah di Atas Musibah
Lantas bagaimana seorang muslim menyikapi istidraj ini?Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan nasehat yang indah tentang hal ini. Al-Ustaimin mengatakan, Allah memberikan kesempatan kepada seseorang hamba yang berbuat dzalim dan tidak menyegerakan siksanya. Ini merupakan ujian, kita memohon semoga melindungi kita semua. Diantara sikap istidraj adalah diberi kesempatan untuk berbuat dzalim dan tidak segera dihukum, sehingga dia melakukan banyak kezaliman kepada manusia. Jika Allah mengazabnya dengan azab yang pedih.
Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman:
وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى و هي ظلمة إن أخذه أليم شديد
“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabia Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya adalah sangat pedih lagi keras”. (QS. Huud: 62).
Dalam Syarah Riyadhus Shalihin, Al-Ustsaimin juga menjelaskan, kepada orang yang dzalim hendaklah dia tidak terperdaya oleh dirinya sendiri dan tidak pula dengan karunia Allah yang diberikan kepadanya karena semua itu hakikatnya musibah di atas musibah. Karena jika manusia dihukum oleh Allah dengan segera atas kezalimannya mungkin dia akan selalu ingat dan meninggalkan kezaliman. Tetapi jika dia masih diberi kesempatan terus untuk berbuat zalim dan melakukan perbuatan dosa maka kezalimannya terus bertambah dan dosa-dosanya menumpuk sehingga hukumannya semakin berat. Kita memohon kepada Allah semoga kita diberi karunia untuk bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran-Nya dan semoga Allah melindungi dari kezaliman diri kita dan kezaliman orang lain. Innahu Jawwaadun Kariim” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Inilah nasehat indah agar kaum mukminin selalu berhati-hati agar tidak berbuat dzalim. Dan tidaklah pantas kita terpedaya orang-orang yang dibukakan pintu-pintu kenikmatan dunia namun mereka melupakan karunia Allah Ta’ala, tidak mensyukurinya bahkan memanfaatkannya di jalan-jalan yang dibenci Allah ‘Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat : “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap diri kalian. Tetapi yang aku khawatirkan justru apabila dunia ini dibentangkannya kepada kalian, sebagaimana dahulu juga dibentangkan di hadapan umat-umat sebelum kalian. Lalu kalianpun memperebutkannya. Hingga akhirnya dunia ini membinasakan kalian sebagaimana dahulu dunia itupun membuat mereka binasa” (HR. Ahmad dan Al-Hakim).
Wallahu A'lam
(wid)