Muslim Wajib Kaya (1): Gus Baha Bilang Dua Guru Imam Syafi'i Kaya Raya
loading...
A
A
A
IMAM Malik adalah sosok yang alim tapi kaya raya . Ia terbiasa dengan pakaian mewah, surban menjuntai, kendaraan yang berganti-ganti dari jenis kuda dan unta mahal, serta asesoris duniawi lainnya.
Bahkan saat hari wafatnya, Imam Malik meninggalkan harta yang cukup banyak, seperti karpet, bantal berisi bulu, dan lainnya yang ketika itu terjual dengan harga lima ratus dinar.
Satu ketika Imam Syafi’i bertanya kepada gurunya, Imam Malik, tentang orang yang alim selain dia. Imam Malik menyebut Imam Abu Hanifah . Hanya saja, kala itu, Imam Abu Hanifah sudah meninggal, maka disebutlah murid Imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani . "Ilmu Imam Abu Hanifah diwariskan kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban’," ujar Imam Malik.
Imam Syafi’i dibiayai oleh Imam Malik untuk pergi ke Irak guna menemui Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban.
Begitu tiba di kediaman beliau, Imam Syafi’i kaget karena si tuan rumah juga sangat kaya, bahkan saat itu ia tengah sibuk menata uang dan emas di ruang tamunya.
Dalam hati Imam Syafi’i sempat timbul tudingan bahwa Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani adalah materialistis dan keduniawian. Melihat Imam Syafi’i seperti aneh saat menyaksikan hartanya begitu banyak, Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban langung berucap:
“Anda kagum ini, anda kaget ini. Kalau kamu menyoal orang saleh kaya, ini (harta) saya kasihkan kepada orang-orang fasik biar dipakai judi, selingkuh, maksiat, dan sebagainya,” kata Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
Lalu Imam Syafi’i spontan menjawab: “Jangan, jangan, harta ini harus tetap di tangan orang saleh. Kalau jatuh ke tangan orang fasik, bahaya.”
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang biasa dipanggil Gus Baha menegaskan muslim yang saleh memang perlu kaya harta. Harta di tangan orang saleh akan dibawa pada kebaikan. Sebaliknya, jika harta dimiliki orang fasik akan menjadi sarana atau pengantar pada kemaksiatan.
"Kalau pakai logika fikih, harta itu fitnah. Oke, seakan-akan harta itu masalah. Tapi kalau ini (harta) dimiliki orang zalim, maka akan menjadi masalah besar. Sehingga orang saleh juga harus menguasai harta,” terangnya dalam satu kesempatan.
Dialog antara Imam Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ini, ujar Gus Baha, mengisyaratkan hal tersebut. "Orang saleh boleh bahkan harus menguasai harta. Karena jika harta dikuasai orang fasik makan akan menimbulkan mudarat dan maksiat," ujarnya.
“Berarti kiai boleh kaya, dan sejak saat itu ada gerakan kiai kudu sugih (harus kaya). Cuma ada yang kesampaian, ada yang tidak (kesampaian),” terang Gus Baha.
Kebolehan bahkan keharusan orang alim kaya, juga diqiyaskan kepada kekuasaan. Maka paradigmanya sama, yakni kekuasaan harus dipegang orang-orang saleh. Sebab jika kekuasaan jatuh ke tangan orang fasik, bisa menimbulkan bahaya. “Maka banyaklah kiai menjadi bupati, dan sebagainya,” ujarnya.
Ekonom
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dikenal sebahai ekonom Islam. Menurut beliau, kerja yang merupakan hal paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah telah menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya termasuk manusia. Manusia diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya.
Pada dasarnya Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam berkecukupan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya.
Di sisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan dalam hal kebaikan.
Lebih jauh lagi Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua yaitu fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardhu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakanya atau menjalankanya, roda perekonomian akan terus berjalan jika tidak ada seorangpun yang menjalankannya.
Berbagai usaha perekonomian di hukum fardu ‘ain karena perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggungnya.
Asy-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan anak-anak adam sebagai suatu ciptaan yang tumbuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu: makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.
Selanjutnya Asy-Syaibani menegaskan bahwa seorang yang kafir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepadanya.
Selain itu Asy-Syaibani mengatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepadanya atau membantu saudaranya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan. Yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
Bahkan saat hari wafatnya, Imam Malik meninggalkan harta yang cukup banyak, seperti karpet, bantal berisi bulu, dan lainnya yang ketika itu terjual dengan harga lima ratus dinar.
Satu ketika Imam Syafi’i bertanya kepada gurunya, Imam Malik, tentang orang yang alim selain dia. Imam Malik menyebut Imam Abu Hanifah . Hanya saja, kala itu, Imam Abu Hanifah sudah meninggal, maka disebutlah murid Imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani . "Ilmu Imam Abu Hanifah diwariskan kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban’," ujar Imam Malik.
Imam Syafi’i dibiayai oleh Imam Malik untuk pergi ke Irak guna menemui Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban.
Begitu tiba di kediaman beliau, Imam Syafi’i kaget karena si tuan rumah juga sangat kaya, bahkan saat itu ia tengah sibuk menata uang dan emas di ruang tamunya.
Dalam hati Imam Syafi’i sempat timbul tudingan bahwa Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani adalah materialistis dan keduniawian. Melihat Imam Syafi’i seperti aneh saat menyaksikan hartanya begitu banyak, Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban langung berucap:
“Anda kagum ini, anda kaget ini. Kalau kamu menyoal orang saleh kaya, ini (harta) saya kasihkan kepada orang-orang fasik biar dipakai judi, selingkuh, maksiat, dan sebagainya,” kata Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
Lalu Imam Syafi’i spontan menjawab: “Jangan, jangan, harta ini harus tetap di tangan orang saleh. Kalau jatuh ke tangan orang fasik, bahaya.”
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang biasa dipanggil Gus Baha menegaskan muslim yang saleh memang perlu kaya harta. Harta di tangan orang saleh akan dibawa pada kebaikan. Sebaliknya, jika harta dimiliki orang fasik akan menjadi sarana atau pengantar pada kemaksiatan.
"Kalau pakai logika fikih, harta itu fitnah. Oke, seakan-akan harta itu masalah. Tapi kalau ini (harta) dimiliki orang zalim, maka akan menjadi masalah besar. Sehingga orang saleh juga harus menguasai harta,” terangnya dalam satu kesempatan.
Dialog antara Imam Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ini, ujar Gus Baha, mengisyaratkan hal tersebut. "Orang saleh boleh bahkan harus menguasai harta. Karena jika harta dikuasai orang fasik makan akan menimbulkan mudarat dan maksiat," ujarnya.
“Berarti kiai boleh kaya, dan sejak saat itu ada gerakan kiai kudu sugih (harus kaya). Cuma ada yang kesampaian, ada yang tidak (kesampaian),” terang Gus Baha.
Kebolehan bahkan keharusan orang alim kaya, juga diqiyaskan kepada kekuasaan. Maka paradigmanya sama, yakni kekuasaan harus dipegang orang-orang saleh. Sebab jika kekuasaan jatuh ke tangan orang fasik, bisa menimbulkan bahaya. “Maka banyaklah kiai menjadi bupati, dan sebagainya,” ujarnya.
Ekonom
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dikenal sebahai ekonom Islam. Menurut beliau, kerja yang merupakan hal paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah telah menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya termasuk manusia. Manusia diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya.
Pada dasarnya Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam berkecukupan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya.
Di sisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan dalam hal kebaikan.
Lebih jauh lagi Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua yaitu fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardhu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakanya atau menjalankanya, roda perekonomian akan terus berjalan jika tidak ada seorangpun yang menjalankannya.
Berbagai usaha perekonomian di hukum fardu ‘ain karena perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggungnya.
Asy-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan anak-anak adam sebagai suatu ciptaan yang tumbuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu: makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.
Selanjutnya Asy-Syaibani menegaskan bahwa seorang yang kafir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepadanya.
Selain itu Asy-Syaibani mengatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepadanya atau membantu saudaranya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan. Yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
(mhy)