Tanda Kesempurnaan Iman : Mencintai dan Membenci Karena Allah

Sabtu, 24 April 2021 - 12:56 WIB
loading...
Tanda Kesempurnaan Iman : Mencintai dan Membenci Karena Allah
Allah Taala adalah satu-satunya Tuhan yang wajib dijadikan sandaran oleh setiap muslim.Artinya, apapun yang kita lakukan atau apapun yang dikerjakan para hamba, maka Allah Taala semata yang jadi sandaran. Foto ilustrasi/ist
A A A
Tidak boleh menyandarkan sesuatu kepada selain Allah. Termasuk dalam hal ini adalah ketika seorang hamba mencintai dan membenci . Memberikan cinta atau membenci sesuatu semestinya hanyalah karena Allah. Jika benci dan cinta sudah karena Allah, maka itulah tanda kesempurnaan iman .

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ

“Siapa yang cintanya karena Allah, bencinya karena Allah, memberinya karena Allah dan tidak memberi pun karena Allah, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (HR. Abu Dawud).



Dalam hadis ini, menurut Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa cinta dan benci kita, semuanya harus diikat karena Allah. "Karena cinta yang tidak diikat dengan cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu menjadi cinta yang tidak bermanfaat ,"ungkapnya dalam tayangan dakwah di RodjaTV, baru-baru ini. Berikut paparan ceramah pendiri jaringan dakwah Rodja tersebut:

Al-Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Al-Fawaid ketika menyebutkan tentang 10 perkara yang tidak ada manfaatnya, di antaranya beliau berkata: Cinta yang tidak diikat dengan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karena kalau kita mencintai seseorang karena kekayaannya, tidak berpahala sama sekali. Kkalau kita mencintai seseorang karena syahwat semata, itupun juga tidak berpahala sama sekali. Ketika seseorang mencintai seorang wanita hanya sebatas syahwat saja, karena sebatas rasa suka saja, tidak berpahala dan tidak ada manfaatnya.

Ketika seseorang mencintai harta hanya sebatas syahwat saja, tidak ada manfaatnya juga. Bahkan seringkali hal seperti itu akan memberikan dampak keburukan. Tapi ketika cinta itu kita ikat dengan cinta Allah dan cinta kita pun karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka itu menjadi cinta yang lurus.



Oleh karena itulah dalam hadis lain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa sekuat-kuat tali iman itu adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ

“Sekuat-kuatnya tali iman adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Thabrani)

Apa Itu Cinta Karena Allah?

Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Munawwir dalam kitab 'al jami’ al Kabir 'beliau menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mencintai karena Allah, membenci karena Allah artinya mencintai seseorang karena ketaatan dia kepada Allah, karena agama. Semakin seorang dekat kepada Allah, semakin agamanya bagus, semakin ia shaleh, semakin ia mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya, semakin ia menjauhi perbuatan maksiat kepada Allah, semakin kita cintai karena Allah. Sebaliknya, semakin ia memaksiati Allah, semakin ia berbuat maksiat kepada Allah, maka semakin kita benci dia karena Allah.

Makanya terkadang kita mencintai seseorang dari satu sisi, karena ketaatan dia. Tapi kita benci kepada seseorang dari sisi yang lain, karena perbuatan keburukan dia. Maka dari itulah saudara-saudaraku sekalian, bila cinta kita bukan karena harta, bila cinta kita kepada seseorang bukan karena ikatan organisasi atau ikatan suatu lembaga, bukan karena dia mengikuti pendapat kita, kalau kita mencintai seseorang bukan karena dia menjadi pembela-pembela kita, akan tetapi karena Allah, maka ini berarti cinta kita sudah lurus.



Karena untuk melestarikan cinta karena Allah itu tidak mudah, saudaraku. Banyak sekali orang yang mencintai orang lain masih dikotori hal-hal yang sifatnya duniawi. Kita mencintai seseorang karena -misalnya- dia satu guru dengan saya. Kita mencintai seseorang karena -misalnya- dia membela guru dan diri saya. Kita mencintai seseorang karena -misalnya- satu partai dengan saya, satu organisasi dengan saya atau satu kelompok dengan saya. Kita mencintai seseorang karena -misalnya- satu hobi dengan saya. Kita mencintai seseorang juga -misalnya- karena dia dia satu daerah dengan saya. Ini semua cinta-cinta yang bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Harus kita betul-betul ketika kita mencintai saudara kita, mencintai teman kita, kita harus periksa, cinta kita kepada dia kenapa? Apakah karena ada tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi? Apakah cinta kita kepada dia dikotori oleh hal-hal yang sifatnya kepentingan dunia? Maka kalau ternyata kita mencintai seseorang karena sifatnya duniawi, berarti cinta kita belum bermanfaat di sisi Allah. Karena cinta yang bermanfaat hanyalah cinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itulah, untuk menemukan orang yang mencintai kita karena Allah, sulit sekali. Dan untuk kita mencintai seseorang karena Allah terkadang seringkali dikotori oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya duniawi. Makanya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa sallam memberikan pahala besar bagi dua orang yang saling mencintai karena Allah.



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ الله فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ِظلَّ ِإلاَّ ِظلَّهُ

“Ada tujuh orang -kata Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam- yang akan diberikan oleh Allah naungan pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah.”

Siapa tujuh orang itu? Di antaranya:

رَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

“Dua orang yang saling mencintai karena Allah, bekumpul karena Allah, benci pun karena Allah.”

Karena Allah murni, karena ketaatan, karena ketakwaan, bukan karena dia sepakat dengan saya dalam satu permasalahan, bukan karena dia membela saya, bukan karena dia mengikuti pendapat saya, bukan karena dia satu ikatan dengan saya, tidak sama sekali. Dan orang yang telah mencintai saudaranya karena Allah, dia akan merasakan manisnya iman. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ

“Ada tiga perkara, siapa yang tiga perkara tersebut ada pada diri seseorang dia akan mendapatkan manisnya iman.”



Apa tiga perkara itu? Yang pertama:

أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا

“Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari segala-galanya.”

Yang kedua?

وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ،

“Tidak ia mencintai seseorang kecuali karena Allah.”

Yang ketiga:

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Dia tidak suka untuk kembali kepada kekafiran (baik kafir besar maupun kafir kecil) sebagaimana ia tidak dilemparkan ke dalam api neraka.”

Maka berusaha agar cinta kita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita mencintai seseorang betul-betul karena Allah. Apa tanda kita sudah mencintai dia karena Allah? Tandanya walaupun dia berbuat sesuatu yang tidak baik kepada diri kita, kita tetap mencintainya karena Allah. Adapun kalau misalnya dia berbuat baik kepada kita lalu kita cinta kepada dia, tapi ketika dia tidak berbuat baik kepada kita, kita benci dia. Maka benci kita bukan karena Allah. Benci kita masih karena hawa nafsu kita, benci kita masih karena syahwat kita.



Jika misalnya kita benci kepada dia karena tidak sependapat pada masalah-masalah yang sifatnya ijtihadiyyah -adapun kalau masalah itu bukan ijtihadiyyah, yang sudah jelas nashnya, telah jelas ada ijma’ para ulama atau dalil yang sharih, dimana dia menyimpang dari dalil, tidak masalah kita benci dia karena Allah- yang dimana dalam masalah itu tidak ada nash, kemudian kita benci dia karena dia tidak sependapat dengan saya, maka ketahuilah ini bukan benci karena Allah. Ini benci karena hawa nafsu. Ini benci yang justru akan malah menjadi pintu setan untuk memecah-belah kita.

Berapa banyak para penuntut ilmu yang menganggap masalah-masalah ijtihadiyyah (yang tidak ada nashnya) bagaikan sebuah perkara yang sifatnya prinsipil. Dan seakan-akan kalau ada orang yang menyelisihinya dia sudah keluar dari manhaj, dia sudah keluar dari pada aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah lalu dia musuhi, padahal itu masalah ijtihadiyyah yang tidak ada nashnya yang para ulama pun berbeda pendapat.

Demi Allah, ini bukan benci karena Allah, tapi benci karena diri sendiri. Ia ingin mengagungkan dirinya, dia ingin agar manusia mengikuti pendapatnya, maka yang seperti ini sangat tidak baik.

Cinta kita karena Allah, karena ketaatan dan ketakwaan kepada Allah. Cinta kita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikian pula benci kita karena Allah, karena kemaksiatan dia, karena dia tidak mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya.



Kalau kita sudah benar-benar seperti itu, maka kita masuk di dalam hadis di atas. Siapa yang mencintai karena Allah, dia benci pun karena Allah. Ia memberi pun karena Allah, bukan karena ingin mendapatkan balasan terima kasih, bukan karena ingin didoakan. Berapa banyak orang yang memberi karena ingin didoakan? Berapa banyak orang yang memberi kemudian suatu ketika dia merasa punya pamrih kepadanya?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan ini. Makanya Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّـهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾

“Kami memberi makan kamu itu karena Allah, kami tidak mmengharapkan balasan tidak pula terima kasih.” (QS. Al-Insan[76]: 9)

Ucapan terima kasih saja kita tidak mengharapkan. Berapa banyak di zaman sekarang orang yang memberi karena ingin ada kepentingan-kepentingan dunia yang dia harapkan? Terlebih pada waktu musim pemilihan umum, ketika seseorang mencalonkan diri menjadi pejabat, dia beri sebagian hartanya ternyata ada tujuan-tujuan bukan karena Allah sama sekali. Maka demi Allah pemberian seperti ini bukan karena Allah dan tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Siapa yang memberi karena Allah, tidak memberi pun karena Allah, maka sungguh ia telah sempurna keimanannya.”



Demi Allah, kalau cinta kita sudah benar-benar karena Allah dan benci kita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka insyaAllah tak akan mudah untuk dirusak oleh bisikan-bisikan setan, tidak akan mudah dirusak oleh su’udzan-su’udzan. Berapa banyak su’udzan itu masuk dalam dada kita supaya kita benci kepada dia yang mengakibatkan kemudian cinta kita pun hilang. Tapi kalau cintai kita karena Allah, karena ketakwaannya, karena keshalihannya, maka kita InsyaAllah terpelihara. Dan cinta seperti inilah yang kekal sampai hari kiamat. Yang Allah Ta’ala berfirman:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ ﴿٦٧﴾

“Orang-orang yang berkasih sayang karena dunia, pada hari kiamat nanti sebagian mereka akan menjadi musuh untuk yang lain kecuali orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)

Kecuali orang yang bertakwa yang cintanya dan saling kasih sayangnya karena Allah, karena iman, karena takwa.

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1392 seconds (0.1#10.140)