Cerita Ustaz Ahmad Sarwat Ketika Tes Bahasa Arab

Selasa, 22 Juni 2021 - 21:55 WIB
loading...
Cerita Ustaz Ahmad Sarwat...
Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA, pengasuh Rumah Fiqih Indonesia. Foto/dok iNews
A A A
Dai yang juga Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat punya cerita menarik saat tes Bahasa Arab. Beliau bercerita pernah gagal ketika tes Bahasa Arab oleh dosen asal Arab.

Cerita ini mengandung 'ibrah sekaligus penyemangat untuk belajar Bahasa Arab. Berikut catatan Ustaz Ahmad Sarwat dikutip dari media sosialnya, Selasa malam (22/6/2021).

"Di mana tempat belajar bahasa Arab yang cepat? Dulu pertanyaan itu yang selalu terngiang di kepala saya ketika belum bisa bahasa Arab. Maklum, lagi punya semangat belajar Bahasa Arab sangat tinggi sekali. Jadi apa-apa maunya cepat.

Ternyata cepat itu relatif juga. Setidaknya itulah yang saya rasakan sekarang. Kalau cepat dalam arti sekedar terhindar dari hukuman gundul sih, masuk pesantren saja.

Sebab di beberapa pesantren tertentu diterapkan peraturan hukuman keras bila ketahuan tidak berbahasa Arab. Ada semacam intel yang kerjaannya melaporkan pelanggaran ke bagian bahasa. Pokoknya siap-siap dihukum lah.

Sangat dinamis memang bagaimana upaya bangsa kita untuk bisa berbahasa Arab. Dan patut dihargai. Kalau saya sendiri punya pandangan agak berbeda. Belajar bahasa Arab itu tidak perlu cepat, tapi yang penting tepat. Sehingga ketika kita bicara dalam bahasa Arab, orang Arabnya paham.

Jangan sampai kita mengira diri kita sudah fasih banget ngomong arabnya. Eh, ternyata orang Arab nggak paham. Kan malu-maluin. Adik sepupu saya cerita bahwa ketika tes wawancara masuk LIPIA bersama beberapa teman alumni seangkatan, rupanya cuma dia sendiri yang keterima. Teman yang lain tidak satu pun yang lulus tes wawancara.eman yang lain tidak satu pun yang lulus tes wawancara.

Padahal pondok mereka menerapkan kewajiban berbahasa Arab. Lalu kok bisa tidak keterima? Jawabnnya ya itu tadi, masalah sudah tepat atau belum dalam berbahasa Arab.

Asal tahu saja bahwa yang mewawancarai itu kebetulan orang Arab betulan. Dan sepanjang interview, teman-temannya itu merasa sudah nyerocos ngomong Arab tanpa henti.

Tetapi ternyata pada tidak lolos dan dianggap belum layak diterima di I'dad Lughawi LIPIA. Kemampuan berbahasa Arab mereka dianggap masih lemah. Banyak salah dan kelirunya. Padahal mereka sewaktu masih jadi santri senior di pondok dulu termasuk Qism Lughah.

Kerjaannya menghukum adik-adik santri yang dianggap melanggar peraturan bahasa. Rupanya yang jadi ukuran dalam test penerimaan mahasiswa baru bukan asal bunyi dan ngomong Arab. Tapi unsur ketepatan dan kebenaran dalam berbicara. Sedikit lambat dan terbata-bata tidak mengapa. Tapi tidak ngawur dan ngelantur.

Saya sendiri dulu termasuk yang gagal juga dalam tes wawancara. Tapi masalah saya memang sama sekali tidak pernah praktek berbicara pakai bahasa Arab. Bekal saya cuma pernah belajar Nahwul Wadhih, Amtsilah Tashrifiyah, Qiro'ah Ashriyah dan sejenisnya ketika masih di Madrasah Ibtidaiyah.

Sedangkan kemampuan muhadatsah secara interaktif sama sekali tidak pernah. Guru yang ngajar Bahasa Arab pun tidak bisa ngomong Arab. Cuma kalau teori grammar pintar sekali. Apalagi kalau meng-i'rob,kayak kereta api. Begitu ketemu orang Arab betulan, ngomongnya kebanyakan sebatas kata (al-ladzi) dan kata (ya'ni).

Baru di tahun berikutnya saya lulus tes wawancara. Dan ternyata orang Arab yang ngetes itu memang yang dulu ngetes juga. Dia juga orangnya. Rupanya dia masih ingat. Maka komennya yang pertama saya masih ingat: "Tuhawil marratan tsaniyah?"

Spontan saya jawab: "Aiwa na'am. Law takarramtum. Sa ujibu sualak bi aunillah". Pak dosen Arab itu langsung terpesona: "idzan anta najih".

Mungkin beliau melihat kemajuan saya selama setahun ini. Setahun sebelumnya cuma bisa "A u a u la Adri, Afwan". Tapi sekarang kok bisa menimpali. Minggu depannya kuliah dimulai. Begitu ada dosen masuk kelas, ternyata beliau itulah yang mengetes saya dua tahun berturut-turut.

Begitu melihat saya di kelas, beliau langsung menyapa: "Keif halak ya Ahmad? Bikhair wal hamdulillah". Kemudian baru saya tahu beliau itu bernama Ustadz Samir, aslinya dari Palestina. Akhirnya saya banyak belajar di luar jam kuliah dengan Ustadz Samir itu. Bahkan diajak main ke rumahnya, jalan-jalan, belanja dan bahkan makan-makan.

Sepanjang perjalanan, beliau banyak sekali mengajari saya bagaimana teknik berkomunikasi dalam bahasa Arab. Sekaligus mengoreksi bahasa Arab versi swasta kami yang biasa kita karang-karang sendiri.

Pas Ramadhan beliau pun saya undang buka puasa di rumah saya. Ngobrol juga dengan ayah ibu saya yang sempat kuliah di Mesir. Rupanya mereka nyambung. Sayang sekali hari ini saya hilang kontak dengan Beliau. Apakah di Saudi, Jordan atau di kampung halamannya, Palestina."

(rhs)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1768 seconds (0.1#10.140)