Makna Hijrah dalam Konteks Pandemi
loading...
A
A
A
H Abdul Khaliq Ahmad
Ketua Bidang Keagamaan DPP Partai Perindo
TANGGAL 10 Agustus 2021 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1443 Hijriah, umat Muslim se-dunia akan merayakan Tahun Baru Hijriah untuk memperingati peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah yang terjadi pada tahun 622 Masehi.
Adalah Khalifah Umar bin Khattab yang berinisitif menetapkan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW sebagai awal pijakan kalender hijriah pada tahun 638 Masehi atau 17 Hijriah, dan untuk pertama kalinya secara resmi digunakan dalam pemerintahannya.
Berbeda dengan kalender Masehi menggunakan perhitungan pergerakan matahari (solar), Kalender Hijriah menggunakan perhitungan orbit bulan pada bumi, sehingga disebut sebagai kalender bulan (lunar). Jika jumlah hari di kalender Masehi ada 365 hari, maka di kalender Hijriah ada 354 atau 355 hari.
Baca juga: Amalan-amalan yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Meski Peringatan Tahun Baru Hijriah dalam dua tahun terakhir ini dilakukan di tengah pandemi Covid-19, namun tidak mengurangi makna yang terkandung dalam peristiwa hijrah, bahkan menemukan relevansinya yang sangat kuat saat ini.
Makna Hijrah
Bertolak dari peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW, maka hijrah dapat dipahami bukan hanya sebagai peristiwa perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain, tetapi lebih dari itu, mengandung makna perpindahan atau perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik. Secara keseluruhan, hijrah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yaitu: hijrah jasadiyyah (perpindahan fisikal), hijrah qalbiyyah (perpindahan hati), dan hijrah aqliyyah (perpindahan intelektual).
Hijrah Jasadiyyah adalah perubahan fisikal dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih berkualitas, baik secara spritual, sosial, ekonomi, maupun politik dan mendapatkan ridha Allah SWT. Hijrah Qalbiyyah adalah upaya perubahan sikap hati dan perilaku menuju yang lebih baik, lebih peduli, proaktif, pantang menyerah, dan bermanfaat bagi sesama. Sementara Hijrah Aqliyyah adalah upaya perubahan secara intelektual, kemampuan berfikir rasional, sistematis, produktif, dan adaptif terhadap lingkungan yang baru.
Dalam ajaran Islam, hijrah dan ibadah lainnya, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial selalu memiliki tujuan yang dikenal dengan istilah maqashid al-syariah.
Baca juga: Selamat Tahun Baru Islam 1443 Hijriyah, Berikut Keutamaan Muharram
Maqashid al-syariah adalah untuk mendatangkan sebanyak mungkin kemaslahatan dan menghindarkan dari kemudaratan. Namun dalam merealisasikan maqashid tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengelompokkan tingkatan maqashid-nya, karena tidak semua maqashid setingkat dan sederajat. Ada tiga tingkatan maqashid yaitu dharuriyyah (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier).
Ketiga tingkatan itu harus secara hierarkis atau berurutan didahulukan. Selanjutnya tiga tingkatan tersebut mengandung lima hal yang wajib dijaga yaitu (1) hifz al-din atau menjaga agama, (2) hifz al-nafs atau menjaga jiwa/nyawa, (3) hifz al-aqal atau menjaga akal, (4) hifz al-nasal atau menjaga keturunan, dan (5) hifz al-maal atau menjaga harta.
Terkait dengan pandemi Covid-19, kewajiban untuk menjaga lima hal di atas tetap harus dilakukan bagi seorang muslim.
Pengalaman Khalifah Umar bin Khattab yang akan melakukan kunjungan kerja ke negeri Syam tetapi dikabarkan saat itu penduduknya sedang terjangkit wabah Tha'un, yaitu wabah penyakit menular yang mematikan, berasal dari bakteri Pasterella Pestis yang menyerang tubuh manusia. Seketika itu juga Khalifah Umar mengambil keputusan yang bijak dan tepat, yakni membatalkan kunjungan untuk memasuki negeri tersebut.
Tindakan Umar merupakan tindakan untuk memenuhi kewajiban hifz al-din atau menjaga agama, sekaligus hifz al-nafs atau menjaga jiwa/nyawa. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi "Apabila kalian mendengar wabah thaun melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu". (HR Bukhari dan Muslim).
Tha'un merupakan virus yang mewabah pada masa lalu secara substansial sama seperti Covid-19 di era modern, karena sifatnya pun sama, yaitu wabah penyakit menular yang mematikan, dan menyerang tubuh manusia.
Hijrah dalam Konteks Pandemi
Dalam konteks pandemi Covid-19, maka realitas kehidupan masyarakat saat ini sesungguhnya sedang menjalankan hijrah menuju perubahan tatanan kehidupan baru yang sama sekali berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Sesuatu yang dulu dianggap sulit, kini harus mampu dijadikan mudah. Sesuatu yang dirasakan tidak mungkin, kini harus dibuat mungkin dan nyata.
Sebagai contoh. Di dunia pendidikan, guru dan dosen yang terbiasa dengan pembelajaran kelas konvensional tatap muka, kini mau tak mau harus berhijrah dengan metode pengajaran daring. Tidak terhitung banyaknya adaptasi yang dibutuhkan. Tanpa semangat hijrah, akan sulit menerapkannya secara konsisten.
Dari sisi keluarga, para orang tua harus hijrah menjadi pengawas, pendamping, sekaligus tutor bagi anak yang sedang menyelesaikan tugas akademik. Jika dulu sebagian ibu bisa menemani anak di sekolah sambil mengobrol dengan ibu-ibu lain, kini harus menemani anak bermain, belajar, termasuk tetap awas saat buah hati belajar di rumah.
Di dunia kerja, para pimpinan harus membuat skala prioritas. Memilih bidang-bidang pekerjaan mana yang membutuhkan kehadiran pegawai dan mana yang bisa dilakukan dari rumah (work from home). Jika semua dipaksakan kerja di kantor, sementara jumlah orang yang terpapar dan varian virusnya makin bertambah, maka akan berkontribusi pada meningkatkan kasus positif Covid-19 yang kini telah mencapai lebih dari 3,6 juta orang di Indonesia.
Kalangan profesional juga harus mengubah kebiasaan berkumpul di kafe bersama teman atau kolega. Pertemuan yang biasa dilakukan setiap hari atau sepekan sekali, mungkin menjadi sebulan atau dua bulan sekali. Bahkan barangkali malah sepenuhnya temu secara virtual.
Dengan demikian, relevansi dan korelasi positif antara hijrah dan pandemi Covid-19 nyata dan dapat dirasakan saat ini. Untuk itu, upaya penanggulangannya adalah sebagai berikut:
Pertama, peduli teknologi. Situasi pandemi memaksa siapapun harus mampu menguasai, sekurang-kurangnya mampu menggunakan perangkat dan teknologi digital untuk mempermudah kepentingan pemenuhan urusan privat maupun publik.
Kedua, peduli lingkungan. Kesehatan dan keselamatan bersama harus terus dijaga dengan disiplin terhadap protokol kesehatan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
Ketiga, peduli sosial. Sikap empati terhadap orang yang terpapar Covid-19 harus terus dipupuk dan diefektifkan melalui gerakan sosial dan kemanusiaan yang dapat meringankan beban bagi penderita dan keluarganya.
Keempat, peduli spiritual. Kualitas ibadah makin ditingkatkan melalui berbagai ritual dan doa sesuai dengan ajaran agama untuk memelihara ketahanan mental spiritual dalam menghadapi tatanan kehidupan baru yang terus berubah.
Kelima, peduli perubahan. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan budaya akibat pandemi Covid-19 dengan merubah pola hidup, pola pikir, pola komunikasi dan interaksi, tanpa kehilangan jatidiri. Budaya hidup efektif, efisien, produktif, disiplin, rasional, dinamis, dan sistematis, serta memiliki kepekaan sosial merupakan suatu keniscayaan di tengah pandemi Covid-19.
Upaya-upaya penanggulangan tersebut di atas merupakan hikmah dari peristiwa hijrah dan pandemi Covid-19, sekaligus blessing in disguise bagi umat manusia.
Demikian tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat.
Ketua Bidang Keagamaan DPP Partai Perindo
TANGGAL 10 Agustus 2021 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1443 Hijriah, umat Muslim se-dunia akan merayakan Tahun Baru Hijriah untuk memperingati peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah yang terjadi pada tahun 622 Masehi.
Adalah Khalifah Umar bin Khattab yang berinisitif menetapkan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW sebagai awal pijakan kalender hijriah pada tahun 638 Masehi atau 17 Hijriah, dan untuk pertama kalinya secara resmi digunakan dalam pemerintahannya.
Berbeda dengan kalender Masehi menggunakan perhitungan pergerakan matahari (solar), Kalender Hijriah menggunakan perhitungan orbit bulan pada bumi, sehingga disebut sebagai kalender bulan (lunar). Jika jumlah hari di kalender Masehi ada 365 hari, maka di kalender Hijriah ada 354 atau 355 hari.
Baca juga: Amalan-amalan yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Meski Peringatan Tahun Baru Hijriah dalam dua tahun terakhir ini dilakukan di tengah pandemi Covid-19, namun tidak mengurangi makna yang terkandung dalam peristiwa hijrah, bahkan menemukan relevansinya yang sangat kuat saat ini.
Makna Hijrah
Bertolak dari peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW, maka hijrah dapat dipahami bukan hanya sebagai peristiwa perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain, tetapi lebih dari itu, mengandung makna perpindahan atau perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik. Secara keseluruhan, hijrah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yaitu: hijrah jasadiyyah (perpindahan fisikal), hijrah qalbiyyah (perpindahan hati), dan hijrah aqliyyah (perpindahan intelektual).
Hijrah Jasadiyyah adalah perubahan fisikal dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih berkualitas, baik secara spritual, sosial, ekonomi, maupun politik dan mendapatkan ridha Allah SWT. Hijrah Qalbiyyah adalah upaya perubahan sikap hati dan perilaku menuju yang lebih baik, lebih peduli, proaktif, pantang menyerah, dan bermanfaat bagi sesama. Sementara Hijrah Aqliyyah adalah upaya perubahan secara intelektual, kemampuan berfikir rasional, sistematis, produktif, dan adaptif terhadap lingkungan yang baru.
Dalam ajaran Islam, hijrah dan ibadah lainnya, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial selalu memiliki tujuan yang dikenal dengan istilah maqashid al-syariah.
Baca juga: Selamat Tahun Baru Islam 1443 Hijriyah, Berikut Keutamaan Muharram
Maqashid al-syariah adalah untuk mendatangkan sebanyak mungkin kemaslahatan dan menghindarkan dari kemudaratan. Namun dalam merealisasikan maqashid tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengelompokkan tingkatan maqashid-nya, karena tidak semua maqashid setingkat dan sederajat. Ada tiga tingkatan maqashid yaitu dharuriyyah (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier).
Ketiga tingkatan itu harus secara hierarkis atau berurutan didahulukan. Selanjutnya tiga tingkatan tersebut mengandung lima hal yang wajib dijaga yaitu (1) hifz al-din atau menjaga agama, (2) hifz al-nafs atau menjaga jiwa/nyawa, (3) hifz al-aqal atau menjaga akal, (4) hifz al-nasal atau menjaga keturunan, dan (5) hifz al-maal atau menjaga harta.
Terkait dengan pandemi Covid-19, kewajiban untuk menjaga lima hal di atas tetap harus dilakukan bagi seorang muslim.
Pengalaman Khalifah Umar bin Khattab yang akan melakukan kunjungan kerja ke negeri Syam tetapi dikabarkan saat itu penduduknya sedang terjangkit wabah Tha'un, yaitu wabah penyakit menular yang mematikan, berasal dari bakteri Pasterella Pestis yang menyerang tubuh manusia. Seketika itu juga Khalifah Umar mengambil keputusan yang bijak dan tepat, yakni membatalkan kunjungan untuk memasuki negeri tersebut.
Tindakan Umar merupakan tindakan untuk memenuhi kewajiban hifz al-din atau menjaga agama, sekaligus hifz al-nafs atau menjaga jiwa/nyawa. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi "Apabila kalian mendengar wabah thaun melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu". (HR Bukhari dan Muslim).
Tha'un merupakan virus yang mewabah pada masa lalu secara substansial sama seperti Covid-19 di era modern, karena sifatnya pun sama, yaitu wabah penyakit menular yang mematikan, dan menyerang tubuh manusia.
Hijrah dalam Konteks Pandemi
Dalam konteks pandemi Covid-19, maka realitas kehidupan masyarakat saat ini sesungguhnya sedang menjalankan hijrah menuju perubahan tatanan kehidupan baru yang sama sekali berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Sesuatu yang dulu dianggap sulit, kini harus mampu dijadikan mudah. Sesuatu yang dirasakan tidak mungkin, kini harus dibuat mungkin dan nyata.
Sebagai contoh. Di dunia pendidikan, guru dan dosen yang terbiasa dengan pembelajaran kelas konvensional tatap muka, kini mau tak mau harus berhijrah dengan metode pengajaran daring. Tidak terhitung banyaknya adaptasi yang dibutuhkan. Tanpa semangat hijrah, akan sulit menerapkannya secara konsisten.
Dari sisi keluarga, para orang tua harus hijrah menjadi pengawas, pendamping, sekaligus tutor bagi anak yang sedang menyelesaikan tugas akademik. Jika dulu sebagian ibu bisa menemani anak di sekolah sambil mengobrol dengan ibu-ibu lain, kini harus menemani anak bermain, belajar, termasuk tetap awas saat buah hati belajar di rumah.
Di dunia kerja, para pimpinan harus membuat skala prioritas. Memilih bidang-bidang pekerjaan mana yang membutuhkan kehadiran pegawai dan mana yang bisa dilakukan dari rumah (work from home). Jika semua dipaksakan kerja di kantor, sementara jumlah orang yang terpapar dan varian virusnya makin bertambah, maka akan berkontribusi pada meningkatkan kasus positif Covid-19 yang kini telah mencapai lebih dari 3,6 juta orang di Indonesia.
Kalangan profesional juga harus mengubah kebiasaan berkumpul di kafe bersama teman atau kolega. Pertemuan yang biasa dilakukan setiap hari atau sepekan sekali, mungkin menjadi sebulan atau dua bulan sekali. Bahkan barangkali malah sepenuhnya temu secara virtual.
Dengan demikian, relevansi dan korelasi positif antara hijrah dan pandemi Covid-19 nyata dan dapat dirasakan saat ini. Untuk itu, upaya penanggulangannya adalah sebagai berikut:
Pertama, peduli teknologi. Situasi pandemi memaksa siapapun harus mampu menguasai, sekurang-kurangnya mampu menggunakan perangkat dan teknologi digital untuk mempermudah kepentingan pemenuhan urusan privat maupun publik.
Kedua, peduli lingkungan. Kesehatan dan keselamatan bersama harus terus dijaga dengan disiplin terhadap protokol kesehatan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
Ketiga, peduli sosial. Sikap empati terhadap orang yang terpapar Covid-19 harus terus dipupuk dan diefektifkan melalui gerakan sosial dan kemanusiaan yang dapat meringankan beban bagi penderita dan keluarganya.
Keempat, peduli spiritual. Kualitas ibadah makin ditingkatkan melalui berbagai ritual dan doa sesuai dengan ajaran agama untuk memelihara ketahanan mental spiritual dalam menghadapi tatanan kehidupan baru yang terus berubah.
Kelima, peduli perubahan. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan budaya akibat pandemi Covid-19 dengan merubah pola hidup, pola pikir, pola komunikasi dan interaksi, tanpa kehilangan jatidiri. Budaya hidup efektif, efisien, produktif, disiplin, rasional, dinamis, dan sistematis, serta memiliki kepekaan sosial merupakan suatu keniscayaan di tengah pandemi Covid-19.
Upaya-upaya penanggulangan tersebut di atas merupakan hikmah dari peristiwa hijrah dan pandemi Covid-19, sekaligus blessing in disguise bagi umat manusia.
Demikian tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat.
(abd)