Tradisi Bubur Asyura: Orang Madura Bilang Tajin Sora

Rabu, 17 Juli 2024 - 20:25 WIB
loading...
Tradisi Bubur Asyura:...
Bubur Asyura di Madura dikenal sebagai Tajin Sora. Foto/Ilustrasi: Coopad
A A A
Tradisi bubur Asyura dilakukan di beberapa daerah di Indonesia dalam menyambut 10 Muharram . Di Sumenep Madura, misalnya, tradisi Muharraman diwarnai dengan tradisi membuat bubur. Demikian juga di sebagian wilayah Jawa Barat.

Khusus di Sumenep Madura, Jawa Timur, Japarudin dalam karya tulisnya berjudul "Tradisi Bulan Muharram di Indonesia" menyebut Bulan Muharam dalam bahasa Madura disebut dengan bulan Sora. "Ketika bulan Sora, orang-orang Madura membuat bubur tajin dan menyebutnya Tajin Sora terbuat dari bubur nasi dengan kuah ketan," tulisnya.

Kemudian bila sudah memasuki bulan Shafar orang Madura membuat Tajin Mera Pote (Bubur Merah Putih) karena bubur itu terdiri dari dua warna. Warna putih dari santan dan warna merah dari gula, dan di dalamnya ada bola bola yang terbuat dari tepung ketan.



Biasanya antartetangga saling bersedekah bubur selama Muharram. Dalam pandangan tradisional orang Madura, bulan Muharram dianggap sebagai bulan nahas, sehingga dilarang melakukan perjalanan jauh pada bulan tersebut.

"Warna merah pada Tajin Suro dimaknai, sebagai gambaran darah Sayyidina Husein, putih itu menggambarkan kesucian perjuangan Sayyidina Husein," tulis Japarudin.

Tak hanya di Madura, tradisi bubur suro merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya dan Limbangan, Garut, untuk menyambut datangnya bulan Muharram sekaligus mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW di medan peperangan.

Pagi hari setiap tanggal 10 Muharam, hampir setiap rumah penduduk memasak bubur merah dan bubur putih secara terpisah dan dikenal dengan sebutan bubur suro.

Selanjutnya, bubur suro akan dibawa ke masjid bersama dengan beragam makanan ringan lainnya. Penduduk yang mengikuti acara di masjid akan duduk membentuk lingkaran dan acara tersebut akan dipimpin oleh orang yang dituakan di daerah tersebut.



Lalu, ada yang membacakan selawat dan pujian bagi Rasullulah SAW yang diambil dari kitab al-Barzanzi. Seusai al-Barzanzi dilantunkan, maka akan diceritakanlah kisah hidup Husein bin Ali bin Abi Thalib, perjuangannya dalam menegakkan keadilan hingga Husein bin Ali yang syahid di medan peperangan. Setelah pembacaan kisah usai, maka para penduduk akan bersama-sama menikmati hidangan yang telah disajikan.

Berbagai aktivitas seperti itu, kata Japarudin, titik temunya adalah adanya kebiasaan di masyarakat melakukan lelaku maupun tradisi dan ritual khusus di bulan Muharram. Hal yang kedua pada titik kesamaan tradisi ini adalah makan dan hidangan yang dibuat, umumnya mempunyai kemiripan, dikenal dengan bubur merah putih, ataupun bubur Asyura yang bahan pembuatannya

juga tidak jauh berbeda, yakni dengan memanfaatkan hasil bumi Indonesia.

Sejak Sultan Agung

Menurut Japarudin, titik tolak aktivitas Asyura di dalam masyarakat Jawa, dimulai sejak upaya revolusioner yang dilakukan oleh Sultan Agung dalam memadukan sistem kalender Saka (penanggalan yang merupakan perpaduan dari Jawa asli dan Hindu) dengan sistem kalender Islam Hijriyah.

Sultan Agung raja kerajaan Mataram (1613-1645), melakukan perubahan sistem kalender ini terjadi dan dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriyah, atau tepat pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.



Satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Dahulu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.

Sedangkan, umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Kemudian sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.

Berbagai aktivitas dilakukan masyarakat Jawa dalam menyambut malam tahun baru Suro yang bertepatan dengan malam 1 Muharam, namun jika dibandingkan dengan penyambutan tahun baru Masehi (malam 1 Januari) maupun tahun baru Cina (Imlek), yang umumnya disambut dengan euforia dan berbagai kemeriahan, akan tetapi tahun baru Suro disambut dengan renungan instrospeksi diri dan berbagai ritual,satu aktivitas euforia yang berbeda.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2765 seconds (0.1#10.140)