Puasa Asyura: Benarkah Diadaptasi dari Praktik Yahudi?
loading...
A
A
A
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Orang-orang melaksanakan shaum hari kesepuluh bulan Muharam (‘Asyura’) sebelum diwajibkan shaum Ramadhan. Hari itu adalah ketika Ka’bah ditutup dengan kain (kiswah). Ketika Allah subhanahu wata’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsipa yang mau shaum hari ‘Asyura’ laksanakanlah dan siapa yang tidak mau tinggalkanlah!” (HR Bukhari).
Nabi SAW turut melaksanakan puasa pada hari Asyura tersebut tentu saja dengan izin dari Allah, bukan “ikut-ikutan” agama lain. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi Madinah juga melakukan puasa pada hari Asyura.
Rasulullah pun menanyakan hal tersebut sebab sebelumnya beliau melaksanakan puasa Asyura mengikut tradisi Ibrahim yang masih tersisa. Ternyata keterangan dari orang-orang Yahudi Madinah memberikan alasan lain bahwa hari Asyura juga terjadi peristiwa diselamatkannya Musa dari bala tentara Fir’aun. Sebagai penutup risalah para nabi dan rasul, Nabi Muhammad merasa lebih berhak melaksanakan puasa tersebut sehingga ia menegaskan kembali sunnahnya puasa Asyura.
Karenanya, Nabi Muhammad sama sekali tidak mengikuti tradisi Yahudi sebab sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi Madinah pun beliau telah melakukan puasa Asyura.
Selanjutnya, bila kita perhatikan memang ada aspek ibadah umat Islam yang awalnya sama dengan Yahudi lalu berubah ketika ajaran Islam semakin purna pewahyuannya seperti kiblat.
Awalnya kiblat umat Islam adalah Baitul Maqdis, lalu berubah menjadi Ka’bah.
Puasa Asyura masuk dalam kategori ini, awalnya Nabi SAW berpuasa pada hari yang sama dengan Yahudi Madinah, tapi selanjutnya beliau memberikan pembedaan yaitu dengan anjuran puasa tasu’ah (9 Muharram), satu hari sebelum 10 Muharram.
Hadits tentang anjuran puasa di tanggal 9 Muharram (tasu’ah) terdapat dalam hadits Ibnu Abbas yang lain, bunyinya:
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma berkata saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat (HR. Muslim).
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Orang-orang melaksanakan shaum hari kesepuluh bulan Muharam (‘Asyura’) sebelum diwajibkan shaum Ramadhan. Hari itu adalah ketika Ka’bah ditutup dengan kain (kiswah). Ketika Allah subhanahu wata’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsipa yang mau shaum hari ‘Asyura’ laksanakanlah dan siapa yang tidak mau tinggalkanlah!” (HR Bukhari).
Nabi SAW turut melaksanakan puasa pada hari Asyura tersebut tentu saja dengan izin dari Allah, bukan “ikut-ikutan” agama lain. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi Madinah juga melakukan puasa pada hari Asyura.
Rasulullah pun menanyakan hal tersebut sebab sebelumnya beliau melaksanakan puasa Asyura mengikut tradisi Ibrahim yang masih tersisa. Ternyata keterangan dari orang-orang Yahudi Madinah memberikan alasan lain bahwa hari Asyura juga terjadi peristiwa diselamatkannya Musa dari bala tentara Fir’aun. Sebagai penutup risalah para nabi dan rasul, Nabi Muhammad merasa lebih berhak melaksanakan puasa tersebut sehingga ia menegaskan kembali sunnahnya puasa Asyura.
Karenanya, Nabi Muhammad sama sekali tidak mengikuti tradisi Yahudi sebab sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi Madinah pun beliau telah melakukan puasa Asyura.
Selanjutnya, bila kita perhatikan memang ada aspek ibadah umat Islam yang awalnya sama dengan Yahudi lalu berubah ketika ajaran Islam semakin purna pewahyuannya seperti kiblat.
Awalnya kiblat umat Islam adalah Baitul Maqdis, lalu berubah menjadi Ka’bah.
Puasa Asyura masuk dalam kategori ini, awalnya Nabi SAW berpuasa pada hari yang sama dengan Yahudi Madinah, tapi selanjutnya beliau memberikan pembedaan yaitu dengan anjuran puasa tasu’ah (9 Muharram), satu hari sebelum 10 Muharram.
Hadits tentang anjuran puasa di tanggal 9 Muharram (tasu’ah) terdapat dalam hadits Ibnu Abbas yang lain, bunyinya:
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma berkata saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat (HR. Muslim).
(mhy)