Khabbab bin Arats (1): Pande Besi yang Disiksa karena Masuk Islam
loading...
A
A
A
Khabbab bin Arats adalah sahabat Nabi SAW . Beliau seorang pande besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekkah. Beliau masuk Islam dan karena itu beliau disiksa kafir Quraish.
Serombongan orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Memang, Khabbab seorang pande besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekkah dan dikirimnya ke pasar-pasar.
Berbeda dengan biasa, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya.
Beberapa lama antaranya, datanglah Khabbab, sedang pada wajahnya terlukis tanda tanya yang bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air alamat sukacita. Maka diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk di dekat mereka.
Mereka segera menanyakan kepada Khabbab: "Sudah selesaikah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?" Sementara itu air mata Khabbab sudah kering, dan pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, katanya: "Sungguh, keadaannya amat menakjubkan!"
Orang-orang itu kembali bertanya kepadanya:"Hai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu buat?"
Dengan pandangannya yang menerawang seolah-olah mimpi, Khabbab balik bertanya: "Apakah tuan-tuan sudah melihatnya? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya?”
Mereka saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan. Dan salah seorang di antara mereka kembali bertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: "Dan kamu, apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab ?"
Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik bertanya: "Siapa maksudmu?"
"Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!" ujar orang tadi dengan marah.
Maka Khabbab memberikan jawabannya setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat dipancing-pancing.
Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukankah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang. Maka dalam keadaan masih terharu dan terpesona serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, disampaikanlah jawaban, katanya:
"Benar. Saya telah melihat dan mendengarnya...! Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya!"
Sekarang orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di antara mereka berseru: "Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar?"
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut: "Siapa lagi, hai Arab sahabatku..., siapa lagi di antara kaum anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia seorang?"
Seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula: "Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad...".
Khabbab menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya:
"Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang.”
Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang diucapkannya, begitu pun apa yang diucapkan orang kepadanya. Yang diingatnya hanyalah bahwa setelah beberapa saat lamanya ia sadarkan diri dan mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tak ada lagi, sedang tubuhnya bengkak-bengkak dan tulang-ulangnya terasa sakit. Darahnya mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya.
Kedua matanya memandang berkeliling dengan tajam. Kiranya tempat itu amat sempit untuk dapat melayani pandangan tembusnya. Maka dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di depan pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang mulia berkelana panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri.
Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak yang biasa dikenal oleh manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau.
Memang , kedua matanya itu ingin menyelidiki kejauhan yang tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di kota Mekkah, orang-orang di setiap tempat serta pada segala masa umumnya.
Wahai, mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad SAW pada hari itu,
merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju kejauhan ghaib dalam kehidupan seluruh ummat manusia?
Demikianlah Khabbab tenggelam dalam renungan tinggi dan pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk menerima siksaan dan pendritaan baru. Dan mulai saat itu Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Didapatkannya kedudukan itu di antara orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi berani tegak menghadapi kesombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka.
Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran. la berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita gembira munculnya kejayaan Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang berhak diibadahi dan segala peraturannya dengan ikhlas ditaati, serta menyampaikan tibanya saat jaya bagi orang tertindas yang tidak berdaya.
la akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya.
Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tanggung jawab semua itu sebagal seorang perintis.
"Berkatalah Sya'bi: Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga tak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga terbakarlah dagingnya."
Kafir Quraisy telah merubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang dijadikannya sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka masukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian mereka lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua kaki Khabbab. (Bersambung)
Serombongan orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Memang, Khabbab seorang pande besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekkah dan dikirimnya ke pasar-pasar.
Berbeda dengan biasa, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya.
Beberapa lama antaranya, datanglah Khabbab, sedang pada wajahnya terlukis tanda tanya yang bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air alamat sukacita. Maka diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk di dekat mereka.
Mereka segera menanyakan kepada Khabbab: "Sudah selesaikah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?" Sementara itu air mata Khabbab sudah kering, dan pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, katanya: "Sungguh, keadaannya amat menakjubkan!"
Orang-orang itu kembali bertanya kepadanya:"Hai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu buat?"
Dengan pandangannya yang menerawang seolah-olah mimpi, Khabbab balik bertanya: "Apakah tuan-tuan sudah melihatnya? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya?”
Mereka saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan. Dan salah seorang di antara mereka kembali bertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: "Dan kamu, apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab ?"
Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik bertanya: "Siapa maksudmu?"
"Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!" ujar orang tadi dengan marah.
Maka Khabbab memberikan jawabannya setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat dipancing-pancing.
Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukankah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang. Maka dalam keadaan masih terharu dan terpesona serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, disampaikanlah jawaban, katanya:
"Benar. Saya telah melihat dan mendengarnya...! Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya!"
Sekarang orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di antara mereka berseru: "Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar?"
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut: "Siapa lagi, hai Arab sahabatku..., siapa lagi di antara kaum anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia seorang?"
Seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula: "Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad...".
Khabbab menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya:
"Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang.”
Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang diucapkannya, begitu pun apa yang diucapkan orang kepadanya. Yang diingatnya hanyalah bahwa setelah beberapa saat lamanya ia sadarkan diri dan mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tak ada lagi, sedang tubuhnya bengkak-bengkak dan tulang-ulangnya terasa sakit. Darahnya mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya.
Kedua matanya memandang berkeliling dengan tajam. Kiranya tempat itu amat sempit untuk dapat melayani pandangan tembusnya. Maka dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di depan pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang mulia berkelana panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri.
Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak yang biasa dikenal oleh manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau.
Memang , kedua matanya itu ingin menyelidiki kejauhan yang tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di kota Mekkah, orang-orang di setiap tempat serta pada segala masa umumnya.
Wahai, mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad SAW pada hari itu,
merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju kejauhan ghaib dalam kehidupan seluruh ummat manusia?
Demikianlah Khabbab tenggelam dalam renungan tinggi dan pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk menerima siksaan dan pendritaan baru. Dan mulai saat itu Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Didapatkannya kedudukan itu di antara orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi berani tegak menghadapi kesombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka.
Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran. la berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita gembira munculnya kejayaan Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang berhak diibadahi dan segala peraturannya dengan ikhlas ditaati, serta menyampaikan tibanya saat jaya bagi orang tertindas yang tidak berdaya.
la akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya.
Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tanggung jawab semua itu sebagal seorang perintis.
"Berkatalah Sya'bi: Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga tak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga terbakarlah dagingnya."
Kafir Quraisy telah merubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang dijadikannya sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka masukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian mereka lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua kaki Khabbab. (Bersambung)
(mhy)