Kisah Al-Ghafiqi, Terulangnya Tragedi Uhud yang Memilukan

Sabtu, 30 Mei 2020 - 12:40 WIB
loading...
Kisah Al-Ghafiqi, Terulangnya Tragedi Uhud yang Memilukan
Balath Syuhada laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
“Masih adakah generasi tabi’in senior di sini?” tanya as-Samah bin Malik al-Khaulani, usai dirinya diangkat menjadi gubernur yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia (sekarang Spanyol dan Portugal) dan beberapa kota yang telah ditaklukkannya di Prancis. Ia bermaksud mencari sahabat-sahabat baik yang bisa membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan.

“Masih, di sini masih ada seorang tabi’in utama bernama Abdurrahman al-Ghafiqi,” jawab sejumlah orang sembari memuji ilmu dan keahlian tabi’in tersebut tentang hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perannya dalam jihad, kerinduannya akan syahadah fi sabillah dan zuhud terhadap kesenangan dunia. Beliau juga berguru kepada sahabat utama, Abdullah bin Umar bin Khaththab yang ilmu dan perilakunya sangat mirip dengan ayahnya.

Selanjutnya, Gubernur as-Samah bin Malik segera mengundang Abdurrahman al-Ghafiqi. Kedatangan tokoh tabi’in tersebut disambut dengan penuh hormat. Kepada Al-Ghafiqi, as-Samah bin Malik menawarkan jabatan untuk menangani wilayah Andalusia, kini masuk wilayah Spanyol. ( )

“Wahai Gubernur, aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain," jawab Al-Ghafiqi. "Aku datang ke daerah ini hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan batas-batas fartah musuh mereka. Aku hanya meniatkan diriku untuk mencari ridlo Allah yang Maha Agung, dan aku membawa pedangku ini hanya untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya’allah Gubernur akan melihatku selalu taat selama engkau menegakkan kebenaran. Aku akan selalu mengikuti perintah Gubernur, selama Anda taat pada perintah Allah dan Rasul -Nya, walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah,” lanjutnya.

Tak lama berselang setelah pertemuan itu, Gubernur as-Samah bin Malik, bertekad untuk menaklukkan seluruh wilayah Prancis dan menyatukannya dengan wilayah Negara Islam.

Ketika itu, target berikutnya adalah Toulouse, ibukota Octania. Tanpa membuang-buang waktu, pasukan Islam segera memasang semacam ranjau-ranjau di berbagai tempat, kemudian memulai serangan dengan senjata-senjata yang tidak dikenal di Eropa.



Pada saat yang bersamaan raja Octania bertolak ke Eropa untuk mencari bala bantuan. Dia menyebar utusan-utusan ke seluruh negeri. Dia memprovokasi raja-raja Eropa dengan cara memperingatkan akan bahaya ekspansi Islam yang akan merambat ke wilayah mereka juga. Sehingga kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai tawanan. Hasilnya, semua negeri mengirimkan pasukan khususnya lengkap dengan persenjataan yang menjadi andalan mereka.

Jumlah pasukan begitu besar, gemuruh suara para tentara dan lengkapnya senjata perang belum pernah dilihat dunia sebelum itu. Hingga debu-debu terbang menutupi kota Rhone dari sinar matahari, lantaran banyaknya kaki yang menginjaknya.

Tatkala dua kubu telah berhadap-hadapan, terbayang oleh orang-orang seakan gunung tengah berhadapan dengan gunung. Perang sengit tak terelakkan lagi. as-Samah bin Malik selalu di garis depan. Dia dijuluki Dzaama, bergerak dengan tangkas ke sayap kanan dan sayap kiri tanpa mengenal lelah. Pada saat itulah anak panah meluncur mengenai dirinya. Maka robohlah panglima tertinggi yang perkasa itu dan syahid.

Begitu mengetahui panglimanya gugur, seorang orientalis Prancis Rhino, menggambarkan pasukan Islam menjadi goncang. Jatuhlah mental juang mereka, lalu barisan pun mulai kocar-kacir. Mereka bergerak mundur dan hampir dapat dipastikan bahwa pasukan Eropa berhasil menghancurkan mereka kalau saja pada saat yang kritis itu tidak tampil sosok yang cerdas dan tangguh yang selama ini telah disegani Eropa, yaitu Abdurrahman al-Ghafiqi.

Di bawah komando panglima baru ini, pasukan Islam bergerak mundur tanpa mengalami banyak kerugian. Mereka bergerak ke Spanyol dengan tekad kelak akan menebus kekalahannya.



Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam "Mereka adalah Para Tabi’in" berkisah, perang besar Toulouse telah melahirkan panglima baru yang tangkas dan berhasil menyelamatkan pasukan Islam dari timbulnya banyak korban. "Jika pasukan itu ibarat kafilah yang hampir mati kehausan di tengah sahara, maka Abdurrahman al-Ghafiqi adalah orang yang menyuguhkan minum kepada mereka. Beliau menjadi tumpuan para prajurit muslimin untuk memulihkan kekuatan dan membimbing mereka menjauhi banyaknya korban yang berjatuhan," tuturnya.

Pertempuran Toulouse telah menorehkan luka pertama yang teramat pedih pada diri pasukan Islam sejak menginjakkan kakinya di Benua Eropa. Kehadiran Abdurrahman al-Ghafiqi menjadi penawar luka tersebut dan dengan tangannya yang penuh kasih dia merawat mereka sepenuh perhatian.

Kabar kekalahan pasukan Islam tersebut akhirnya sampai ke telinga Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz, di Damaskus. Selanjutnya, beliau memerintahkan agar seluruh prajurit melakukan bai’at kepada Abdurrahman al-Ghafiqi.
Kini beliau diangkat sebagai pemimpin seluruh Spanyol dan daerah-daerah Prancis yang sudah berhasil dikuasai. Dengan jabatan tersebut al-Ghafiqi mendapatkan otonomi untuk mengatur strategi yang dikehendakinya.

Pemimpin baru Abdurrahman al-Ghafiqi tidak membuang-buang waktu. Beliau segera membenahi kembali pasukan Islam, menempa tekad para prajurit, mengembalikan kepercayaan diri, kehormatan, dan kekuatan mereka. Semua ditujukan untuk melanjutkan obsesi tokoh-tokoh muslimin Spanyol sejak Zaman Musa bin Nushair hingga as-Samah bin Malik, yaitu menguasa Prancis, Italia, Jerman hingga Konstantinopel, serta menjadikan laut putih tengah sebagai lautan Islam dan mengganti nama laut Romawi menjadi laut Syam.

Baca Juga: Sunan Kalijaga, Nyai Ratu Kidul dan Kisah Rompi Ontokusumo
Beliau meneliti gereja-geraja yang dirampas dan mengembalikannya kepada yang berhak, menghancurkan bangunan-bangunan baru yang didirikan dari hasil suap. Kemudian memeriksa para pejabatnya satu demi satu dan memecat para pejabat yang terbtukti berkhianat atau menyeleweng. Lalu menggantinya dengan orang-orang yang dapat dipercaya kemampuan dan akhlaknya. Setiap kali memasuki suatu daerah, beliau menyeru kaumnya untuk salat jamaah, kemudian berkhotbah untuk memompa semangat jihad dan membangkitkan kerinduan mereka akan syahadah dan mardhatillah.

Abdurrahman al-Ghafiqi tidak hanya pintar berbicara. Sejak memegang kendali kekuasaan beliau juga sibuk mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana penting. Senjata-senjata diproduksi, latihan-latihan diselenggarakan, benteng-benteng yang rusak dibenahi dan jembatan-jembatan dibangun. Satu di antara jembatan bersejarah yang bisa disaksikan hingga kini adalah yang dibangun di Cordova, ibukota Spanyol. Jembatan itu melintasi sungai besar yang bisa dimanfaatkan untuk lalu lintas dan menjaga negeri itu dari bahaya banjir. Jembatan itu merupakan salah satu keajaiban dunia. Panjangnya mencapai 800 ba (satu ba’ sepanjang dua kali tangan), tinggi 60 ba’, lebar 20 ba’ dengan 18 pintu air dan 19 pilar, hingga kini menjadi kebanggaan bangsa Spanyaol.

Setiap kali Abdurrahman mengunjungi masing-masing wilayah, tak lupa beliau mengadakan pertemuan dengan para pimpinan angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh masyarakat. Beliau memperhatikan dan mencatat pandangan dan usul-usul mereka. Beliau lebih banyak mendengarkan tanggapan dalam pertemuan-pertemuan itu daripada berbicara. Pertemuan serupa juga digelar untuk para pemuka zhimmi yang terikat perjanjian dengan muslimin. Tak jarang dia bertanya sampai mendetail hal ihwal negeri dan pimpinan mereka.



Abdurrahman al-Ghafiqi pernah mengundang seorang zhimmi keturunan Prancis yang terikat perjanjian. Di antara isi perbincangan tersebut adalah sebagai berikut. Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian, Syarl tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan kami?”

Zhimmi itu menjawab, “Wahai gubernur, Anda telah menepati janji-janji kepada kami. Anda berhak kami percayai dan kami akan menjawab dengan jujur segala yang Anda tanyakan. Sesungguhnya panglima besar Anda, Musa bin Nushair telah berhasil menguasai seluruh Spanyol. Kemudian dia ingin melintasi pegunungan Pyrenees yang memisahkan Spanyol dengan negeri kami yang indah.

Maka raja-raja kecil dan para rahib itu menghadap raja kami dan berkata: “Kehinaan apa yang akan menimpa kita, wahai maha raja? Kami mendengar tentang kaum muslimin dan mengira mereka akan datang dari arah Timur, namun ternyata mereka muncul dari arah Barat dan langsung menguasai Spanyol. Padahal negeri ini memiliki persenjataan dan pertahanan yang kuat. Kini mereka mulai merayap di gunung-gunung yang membatasi Spanyol dengan negeri kita. Sebenarnya jumlah mereka kecil, persenjataan sedikit dan kebanyakan tidak memiliki pakaian perang yang bisa melindungi tubuh dari sabetan pedang atau kuda-kuda gagah untuk ditunggangi di medan tempur.”

Kemudian maha raja berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara mendalam dan saya mengira untuk saat ini kita tidak perlu menghadapi mereka secara langsung. Mereka orang-orang bermental baja, bagaikan gelombang besar yang menyapu semua penghalang dan mencampakkannya kemana dia suka. Selain itu, mereka adalah kaum yang memiliki akidah yang kokoh sehingga tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka punya iman dan kejujuran yang jauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang atau kuda. Oleh karena itu, lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk harta dan ghanimah, lalu membangun rumah dan gedung-gedung serta melipatgandakan jumlah budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka pasti akan berebut kekuasaan. Pada saat itu kita bisa menaklukkan mereka dengan mudah tanpa banyak pengorbanan..”

Tersentaklah Abdurrahman al-Ghafiqi, sedih rasanya mendengar berita itu. Dia menghela nafas dalam-dalam kemudian membubarkan majelis seiring dengan masuknya waktu salat.


Dua tahun penuh Abdurrahman al-Ghafiqi mempersiapkan diri untuk menyongsong perang besar itu. Beliau membentuk kesatuan-kesatuan prajurit dan tak henti-hentinya membakar gelora jihad mereka. Di samping itu, beliau juga meminta bantuan kepada para pemimpin Islam di Afrika untuk mengirim prajurit-prajurit mereka yang memiliki nyali jihad dan rindu syahid.

Pengkhianatan
Setelah itu, beliau mengutus Utsman bin Abi Nus’ah amir penjaga perbatasan untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan sporadis sambil menunggu pasukan inti yang dipimpin oleh Abdurrahman al-Ghafiqi tiba di medan perang.

Menurut Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, pilihan Abdurrahman al-Ghafiqi ternyata keliru. "Utsman bin Abi Nus’ah adalah orang yang ambisius tetapi berwatak lemah. Jarak yang jauh dari pemimpinnya membuka peluang baginya untuk melakukan langkah-langkah yang bisa mengangkat namanya tanpa mempedulikan persoalan lainnya," tuturnya.

Dia bahkan menculik putri Duke Octania bernama Minin, seorang putri yang amat jelita. Dalam dirinya terkumpul kecantikan, kebangsawanan, usia belia, dan kekayaan sebagai penghuni istana.

Tak heran bila Utsman bin Abi Nus’ah akhirnya tergila-gila padanya dan memberikan perhatian berlebih dibanding kepada seorang istri.

Putri itu mengusulkan agar Utsman bin Abi Nus’ah mengadakan perjanjian damai dengan Duke Octania disertai jaminan bahwa ayah Minin itu aman dari serangan prajurit Islam.

Begitulah, tatkala tiba perintah Abdurrahman al-Ghafiqi untuk menyerbu wilayah kekuasaan Duke Octania, rasa bimbang menyelimuti hati Ibnu Abi Nus’ah. Dia tak tahu harus berbuat apa, tapi kemudian dia membujuk agar Abdurrahman al-Ghafiqi membatalkan perintahnya. Dia benar-benar tak sanggup mengkhianati janjinya terhadap ayah mertuanya sebelum habis masanya.



Bukan main berangnya Abdurrahman al-Ghafiqi begitu mengetahui duduk perkaranya. Melalui utusan, beliau berpesan kepada Utsman bin Abi Nus’ah. “Perjanjian yang Anda lakukan tanpa seizin pemimpin adalah tidak sah, maka tak ada keharusan bagi prajurit Islam untuk mematuhinya. Sekarang laksanakan perintahku segera, seranglah musuh sekarang juga!”

Ibnu Abi Nus’ah merasa putus asa karena gagal melunakkan sikap gubernurnya. Dia bersegera mengirim utusan kepada ayah metuanya untuk memberitahukan apa yang terjadi dan memperingatkan agar waspada terhadap pasukan kaum muslimin.

Namun sayang, mata-mata Abdurrahman al-Ghafiqi yang selalu mengawasi gerak-geriknya mengetahui hal itu dan melaporkan hubungan Utsman bin Abi Nus’ah dengan musuh kepada Abdurrahman al-Ghafiqi. Segera setelah itu, al-Ghafiqi mengirimkan pasukan khususnya yang tangguh di bawah komando Mujahid untuk membawa Utsman bin Abi Nus’ah, hidup atau mati.

Serangan dilakukan secara mendadak. Operasi itu nyaris berhasil, namun Utsman bin Abi Nus’ah berhasil meloloskan diri dari kepungan. Dia lari ke gunung disertai beberapa orang, demikian pula dengan Minin, istri cantiknya yang tak bisa lagi dipisahkan darinya.

Hal itu tidak membuat prajurit Islam patah arang. Mereka terus mengejar dan akhirnya berhasil menyudutkan pengkhianat itu di suatu tempat. Akhirnya, Utsman bin Abi Nus’ah mempertahankan diri habis-habisan. Dia tewas karena banyaknya tusukan tombak dan sabetan pedang yang melukai tubuhnya. Mayatnya segera dikirim kepada Abdurrahman al-Ghafiqi bersama istrinya.

Begitu melihat Minin, Abdurrahman al-Ghafiqi segera memalingkan wajahnya. Wanita itu memang cantik luar biasa. Selanjutnya dia dikirim ke Damaskus untuk diserahkan kepada khalifah.

Kemenangan Demi Kemenangan
Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus’ah dan nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.

Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti Loderik, raja Andaluisia dahulu.

Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol Utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Prancis Selatan dari pegunungan Pyrenees laksana air bah. Prajuritnya mencapai 100.000 orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.

Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata setelah gubernur as-Samah bin Malik al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.

Kedatangan Abdurrahman al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadap. Perang besar tak terelakkan lagi.

Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan akhirnya memporak-porandakan barisan musuh. Pertempuran terus merambat ke dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.

Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia masih menyimpan potensi bersiap-siap menyongsong pertempuran selanjutnya, sebab dia sadar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang.

Bersama pasukannya, Abdurrahman al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenanganan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan kavalerinya, seperti daun-daun yang berugugran diterpa angin. Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali inipun kaum muslimin mampu mengatasinya. Mereka menghajar dan meluluhlantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan para prajuritnya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.

Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan-peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan muslimin seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mendahului mereka.

Banyak sekali harta ghanimah yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah dengan jatuhnya Bordeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting Prancis lainnya, seperti Lyon, Besancon, dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus mil saja dari Paris.

Perlawanan Eropa
Dunia Eropa tersentak mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman. al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Mata dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang menghadap di hadapan mereka.

Anjuran partisipasi menggaung di seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan partisipasinya untuk membendung arus Timur yang deras itu. Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri, dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komando Karel Martel.

Dalam waktu yang bersamaan prajurit Islam telah tiba di Tours, kota Prancis yang padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya.

Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.

Akhir bulan Sya’ban 104 H Abdurrahman al-Ghafiqi bersama pasukannya yang perkasa memasuki kota Poitiers. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama, “Balath Syuhada,” karena banyaknya prajurit Islam yang syahid.

Ketika itu pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung mereka terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan hati sedih dan khawatir. Beliau mengkhawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kpeada harta benda itu? Di saat-saat yang menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta ghanimah.


Ingin sekali Abdurrahman menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi dia sangsi apakah mereka bisa menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang berkobar.

Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.

Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman al-Ghafiqi melihat bahwa semangat pasukannya mulai menyala. Seperti kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.

Abdurrahman al-Ghafiqi mulai menerobos pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya mereka tak akan berhenti bertempur.

Memasuki hari kedua, pertempuran kembali berkobar. Prajurit-prajurit Islam menyerang dengan gagah berani dan tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergoyahkan.

Baca Juga: Abdullah Ibnu Rawahah, Sang Penyair yang Syahid di Medan Perang
Terulangnya Peristiwa Uhud
Perang berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menang pun mulai terbayang. Laksana semburat cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama, sekelompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta ghanimah dan menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan Islam mulai goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke belakang untuk menyelamatkan harta ghanimah tersebut hingga merusak pertahanan barisan depan.

Dengan gigih Panglima besar Abdurrahman al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang lemah. Dia bergerak cepat kesana-kemari dengan kudanya yang perkasa. Di saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari kuda seperti seekor elang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka terwujudlah syahid di medan perang yang didambakannya.

Akan halnya dengan pasukan Islam, melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh kian bersemangat merangsek ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan keganasan mereka selain malam yang mulai merayap.

Pagi harinya Karel Martel mendapati pasukan Islam sudah mundur dari medan perang Pioitiers. Namun dia tak berani mengejar. Padahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan berhasil menghancurkan kaum muslimin. Dia mengira bahwa gerak mundur pasukan Islam adalah disengaja untuk memancing mereka keluar medan terbuka. Ia mengira itu merupakan strategi baru muslimin yang direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel Martel memilih untuk tetap di tempat dan merasa cukup dengan membendung kekuatan yang membahayakan itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.

Balath Syuhada menjadi peristiwa monumental dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin besar dan pahlawan yang tangguh bernama Abdurrahman al-Ghafiqi. Peristiwa itu laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5040 seconds (0.1#10.140)