Surat Thaha 85-98: Kisah Pengkhianatan Samiri dan Kemarahan Nabi Musa
loading...
A
A
A
Samiri mengambil kesempatan ini dan membujuk Bani Israil untuk membuang perhiasan tersebut untuk diserahkan kepada Samiri. Oleh Samiri perhiasan tersebut dilelehkan dengan api dan dibuat menjadi patung anak sapi emas.
Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.
Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun.
Hanya saja, Buya Hamka menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.
Al-Qur'an menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Allah SWT berfirman:
Berkata Musa: "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Janganlah menyentuh (aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). ( QS Thaha : 97 )
Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi.
Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya.
Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.
Penghasut Kesesatan
Samiri disebut Al-Qur'an sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Qur'an menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Qur'an adalah sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah.
Al-Qur'an bahkan mengisahkannya sebagai seorang penghasut kesesatan bagi teman-temannya, umat Nabi Musa, sehingga ia disebut sebagai pengkhianat.
Para mufassir pun mulai menyingkap identitas Samiri hingga beberapa riwayat israiliyyat juga ikut meramaikannya.
Mengenai penafsiran ayat Al-Quran yang menyebutkan lafadz “samiry”, Quraish Shihab menjelaskan kata tersebut diambil dari lafadz “samirah”.
Kata “samirah” tersebut adalah nama dari salah satu suku Bani Israil, sehingga Samiri merujuk pada salah seorang dari suku Samirah.
Disebutkan juga oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya al-Tahwir wa al-Tanwir bahwa suku tersebut bermukim di Palestina. Kemudian mereka berbaur dengan Bani Israil lalu mengikuti ajaran Nabi Musa meskipun dengan beberapa cara yang berbeda dengan Bani Israil.
Al-Qurthubi menyatakan tiga pendapat mengenai Samiri ini.
Pertama, ia merujuk riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa dulunya Samiri berasal dari suatu kaum yang menyembah anak sapi.
Kemudian ia datang ke Mesir dan masuk agama Bani Israil meskipun dalam batinnya mereka masih senang menyembah anak sapi.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Samiri berasal dari suku Qibti, ia tetangga Nabi Musa, lalu beriman kepadanya dan ikut bersama Nabi Musa lari dari kejaran Fir’aun.
Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.
Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun.
Hanya saja, Buya Hamka menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.
Al-Qur'an menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Allah SWT berfirman:
قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ ۖ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ ۖ وَانْظُرْ إِلَىٰ إِلَٰهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا ۖ لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا
Berkata Musa: "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Janganlah menyentuh (aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). ( QS Thaha : 97 )
Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi.
Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya.
Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.
Penghasut Kesesatan
Samiri disebut Al-Qur'an sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Qur'an menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Qur'an adalah sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah.
Al-Qur'an bahkan mengisahkannya sebagai seorang penghasut kesesatan bagi teman-temannya, umat Nabi Musa, sehingga ia disebut sebagai pengkhianat.
Para mufassir pun mulai menyingkap identitas Samiri hingga beberapa riwayat israiliyyat juga ikut meramaikannya.
Mengenai penafsiran ayat Al-Quran yang menyebutkan lafadz “samiry”, Quraish Shihab menjelaskan kata tersebut diambil dari lafadz “samirah”.
Kata “samirah” tersebut adalah nama dari salah satu suku Bani Israil, sehingga Samiri merujuk pada salah seorang dari suku Samirah.
Disebutkan juga oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya al-Tahwir wa al-Tanwir bahwa suku tersebut bermukim di Palestina. Kemudian mereka berbaur dengan Bani Israil lalu mengikuti ajaran Nabi Musa meskipun dengan beberapa cara yang berbeda dengan Bani Israil.
Al-Qurthubi menyatakan tiga pendapat mengenai Samiri ini.
Pertama, ia merujuk riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa dulunya Samiri berasal dari suatu kaum yang menyembah anak sapi.
Kemudian ia datang ke Mesir dan masuk agama Bani Israil meskipun dalam batinnya mereka masih senang menyembah anak sapi.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Samiri berasal dari suku Qibti, ia tetangga Nabi Musa, lalu beriman kepadanya dan ikut bersama Nabi Musa lari dari kejaran Fir’aun.