Empat saka guru jadi pepeling

Senin, 30 Juli 2012 - 04:37 WIB
Empat saka guru jadi pepeling
Empat saka guru jadi pepeling
A A A
DARI jauh tidak nampak adanya yang istimewa dari rumah milik Sutiknyo (47), di RT 01 RW 01 Kelurahan, Nongkosawit, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Rumah tersebut tidak jauh beda dengan rumah-rumah warga lain.

Namun, siapa sangka rumah yang saat ini sebagian sudah berdinding tembok dan sebagian Kayu itu dahulunya adalah sebuah masjid yang dibangun oleh Syeh Hasan Munadi seorang ulama besar di Jawa. Masjid itu digunakan menyebarkan Agama Islam di daerah Nongkosawit, Kecamatan Gunungpati dan sekitarnya.

Keistimewaan rumah tersebut baru akan nampak ketika kita memasuki rumah tersebut. Di dalam rumah itu ada empat Saka guru (penopang bangunan) dengan tumpang sari penuh ukiran di atasnya. Empat Saka guru itu dipercaya merupakan peninggalan Syeh Hasan Mahmudi semasa menyebarkan Agama Islam di kawasan tersebut.

Sutiknyo yang juga sebagai juru kunci untuk merawat keempat Saka Guru tersebut mengaku tidak mengetahui secara persis bagaimana bangunan yang dahalu masjid itu kini menjadi rumah. ”Ceritanya memang dulu ini masjid, tetapi kok bisa jadi rumah ya saya tidak tahu persis karena orangtua saya tidak pernah cerita,” katanya.

Konon menurut cerita, Syeh Hasan Mahmudi sempat tinggal lama di Nongkosawit untuk menyebarkan Agama Islam. Salah satu murid Sunan Kali Jaga ini lantas mendirikan sebuah Masjid sebagai tempat untuk untuk menyebarkan Agama Islam karena muridnya semakin banyak.

Setelah sekian lama berada di Nongkosawit, Syeh Hasan Mahmudi kemudian berkeinginan untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Nyatnyono, Ungaran. Saat itu pembangunan masjid belumlah selesai. Kemudian, sebelum meninggalkan Nongkosawit, Syeh Hasan Mahmudi berpesan kepada murid-muridnya untuk meneruskan pembangunan dan tetap mengaji seperti yang diajarkannya.

Namun, pesan yang diberikan oleh Syeh Hasan Mahmudi rupanya dihiraukan oleh para muridnya. Saat perjalanan pulang ke kempung halamannya di tengah perjalanan perasaan Syeh Hasan Mahmudi merasa tidak enak dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Nongkosawit. Betapa terkejutnya, saat dilihat dari kejahuan, ternyata murid dan warga ternyata tidak melaksanakan amanatnya jutsru meraka melakukan Klonengan dan berhura-hura.

Saat hendak pulang ke desanya, pembangunan masjid di Desa Nongkosawit belum selesai. Meskipun demikan, dia sudah berpesan kepada para kiai dan santrinya untuk terus melaksanakan pembangunan masjid dan mengaji seperti yang telah diajarkannya kepada mereka.

Melihat kondisi itu, Syeh Hasan Munadi pun murka, alat yang digunakan untuk klonengan, berupa campur atau bende dilemparkan. Tempat jatuhnya camput itu kini diberi nama Sawah Secampur. Beliu juga sempat berucap, bahwa tidak akan ada santri atau kiai kondang dari Nongkosawit.

Mulai saat itu juga bedug yang ada di masjid tidak bisa dibunyikan meski ditabuh berkali-kali. Justru yang bisa dibunyikan dan mengeluarkan suara adalah bende atau campur. Bende dan bedug tersebut hingga saat ini masih dipergunakan. Untuk bende disimpan di rumah ketua Rw I Nongkosawit, sedangkan bedung berada di Masjid Randusari.

“Bedugnya baru bisa dibunyikan saat dipindah ke Desa Randusari. Makanya, sekarang ini di Randusari, banyak pesantren dan kuat keagamaanya sementara di Nongkosawit kuat keseniannya,” ujarnya.

Bende peninggalan Syeh Hasan Mahmudi itu, setiap setahun sekali pada bulan Rajab tepatnya pada hari Kamis Wage Bende di kirap keliling kampung. Sutiknyo yang merupakan keturunan kesembilan penjaga empat Saka Guru penginggalan Syeh Hasan Mahmudi mengaku, hanya dipesan untuk tetap menjaga kondisi Saka Guru tetap utuh dan jangan sampai ambruk.

Meski penginggalan tersebut hanya saka guru, namun tidak jarang warga masyarkat dari luar Kota Semarang datang untuk melakukan tadarus Al-Qur’an. “Karena ini kan merupakan peninggalan Ulama besar jadi banyak yang datang ke sini, untuk bermunajat,” ujarnya.

Kini rumah tersebut, hanya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan peralatan kirap bende dan untuk gudang penyimpanan kayu.

Syeh Hasan Munadi disebut-sebut masih ada keturunan dengan Raja Brawijaya V dan merupakan menantu dari Ki Ageng Makukuhan, ulama besar yang dimakamkan di daerah Kedu Temanggung. Syeh Hasan Mahmudi setelah wafat di makamkan di kampung halamannya di Desa Nyatnyono, Kabupaten Semarang.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2758 seconds (0.1#10.140)