Begini Aturan Mengganti Shalat Saat Haid Menurut 4 Mazhab

Senin, 31 Januari 2022 - 16:57 WIB
loading...
Begini Aturan Mengganti Shalat Saat Haid Menurut 4 Mazhab
Ketika haid, wanita tak diwajibkan mengganti shalatnya, tetapi ada beberapa model perempuan yang haid yang tetap diperintahkan mengganti shalatnya karena beberapa kondisi. Foto ilustrasi/ist
A A A
Ada keistimewaan bagi seorang muslimah ketika mengalami siklus datang bulan atau haid . Mereka tidak diwajibkan melaksanakan ibadah shalat dan puasa ketika haid tersebut, namun tetap wajib mengganti atau mengqadha puasanya itu setelah haidnya selesai. Lalu bagaimana dengan ibadah shalat, apalah perempuan haid wajib menggantinya juga?

Dalam Islam, seorang muslimah dilarang shalat ketika haid, dan keistimewaan lagi mereka tak perlu pula mengganti atau qadha shalat setelah mereka suci. Hal ini dalam hadis Aisyah radhiyallahu'anha, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Jika datang haid, maka tinggalkanlah salat. Jika haidnya selesai, maka mandilah, bersihkan darahnya lalu salatlah. (HR. Bukhari). Dan hadis Aisyah, ia berkata: "Kita ketika haid, diperintahkan mengganti puasa tapi tidak diperintahkan mengganti salat. (HR. Muslim).



Maka, perempuan yang haid itu tak diwajibkan mengganti shalat yang telah ditinggalkan saat mereka haid. Hanya saja memang ada beberapa model perempuan yang haid, tapi dia tetap diperintahkan mengganti beberapa shalat yang ditinggalkan saat haid. Apa saja modelnya dan bagaimana aturan mengqadha shalatnya?

Ustadzah Maharati Marfuah Lc, dari rumah fiqih Indonesia menjelaskan, ada beberapa model qadha’ shalat bagi perempuan haid. Salat itu adalah sebagai berikut:

1.Model pertama adalah perempuan yang sudah melewati masuknya waktu shalat

Dia tidak segera shalat di awal waktu, malah datang haid duluan. Maka, ketika haid dia tidak boleh shalat. Tetapi karena sudah masuk waktu shalat dan dia dalam keadaan masih suci, belum haid maka dia sudah mendapatkan kewajiban shalat. Apakah dia berdosa karena tidak segera shalat? Tidak berdosa. Karena waktu shalat masih ada, dia boleh salat baik di awal waktu maupun di akhir waktu. Dan haid itu bukan sesuatu yang bisa diprediksi dengan presisi kapan keluar darahnya.

Meskipun sebaiknya tetap shalat itu di awal waktu. Apalagi kalo sudah masuk waktu biasanya wanita datang haid. Nanti jika dia sudah suci, maka shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti. Sebagai contoh, ada wanita sudah jam 1 siang, tapi belum shalat. Ternyata datang haid. Maka nanti waktu suci, dia wajib qadha’ shalat dzuhur dahulu.

Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) menyebutkan:

وَنَصَّ فِيمَا إذَا أَدْرَكَتْ مِنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ قَدْرَ الْإِمْكَانِ ثُمَّ حَاضَتْ أَنَّهُ يَلْزَمُهَا الْقَضَاءُ

Nash dari Imam Syafii, bahwa perempuan jika mendapati awal waktu salat dan dia bisa salat seharusnya, lantas haid. Maka nanti jika suci dia wajib qadha’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 4/ 368)

2. Model kedua adalah wanita yang suci dari haid di waktu isya’ atau waktu ashar

Maka jika sucinya di waktu isya’ sampai sebelum shubuh, setelah mandi wajib dia wajib shalat maghrib sebagai qadha’ dahulu lalu shalat isya’. Atau jika sucinya di waktu ashar, maka setelah mandi dia wajib shalat dzuhur dulu sebagai qadha’ lalu shalat ashar.

Pendapat Empat Mazhab

Selain suci di dua waktu tadi, maka tidak wajib salat qadha’. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari Shahabat, Tabiin, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Dari kalangan Malikiyyah, Ubaidullah bin al-Husain al-Milikiy (w. 378 H) menyebutkan: "Jika wanita haid itu suci, saat menjelang masuk waktu maghrib dia bisa shalat 5 rakaat, maka wajib bagi dia shalat dzuhur dan ashar. Karena dia telah mendapatkan waktu kedua shalat tadi... Jika dia sucinya di waktu malam menjelang masuk waktu shubuh, dia bisa shalat 4 rakaat, maka dia wajib salat maghrib dan isya’. (Ubaidullah bin Husain, at-Tafri’ fi Fiqh al-Imam Malik, hal. 1/111)

Dari kalangan Syafi’iyyah, Imam Nawawi menyebutkan:

Jika sucinya di waktu ashar atau waktu isya, maka Imam Syafii dalam qaul jadidnya mewajibkan perempuan untuk qadha’ dzuhur lantas salat ashar, atau qadha’ maghrib lalu salat isya’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 3/ 64)

Dari kalangan Hanbaliyyah, Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) menyebutkan:

(Masalah) Jika wanita haid suci, orang kafir masuk Islam, anak kecil balig sebelum matahari terbenam, maka dia wajib qadha’ dzuhur lalu shalat ashar. Jika sebelum fajar terbit, maka dia qadha’ maghrib lalu shalat isya’.

Ini adalah pendapat dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, Thawus, Mujahid, an-Nakhai, az-Zuhri, Rabiah, Malik, al-Laits, Syafii, Ishaq, Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata: Semua tabiin berpendapat seperti ini, kecuali Hasan saja. Dia tidak mewajibkan kecuali shalat yang di waktunya saja. Ini adalah pendapat at-Tsauri dan ashab ar-ra’yi. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 1/ 287).

Dalilnya apa? Pertama, ini adalah fatwa dari hampir semua shahabat dan tabiin dan juga ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah. Kedua, shalat dzuhur dan ashar, serta maghrib dan isya’ itu sebenarnya bagi orang yang punya udzur bisa dianggap satu waktu, karena bisa dijamak. Maka jika suci di waktu kedua, shalat di waktu pertama juga wajib diqadha’. Itulah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama.


Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1053 seconds (0.1#10.140)