Surat Al-Isra Ayat 1: Perjalanan Malam Hari di Bawah Bimbingan Allah Taala
loading...
A
A
A
Kalau kita kaitkan dengan konteks ayat tersebut, berarti kata asrā itu mengimplikasikan sebuah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang pada malam hari. Di mana orang yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaannya bagaimana makna kata lain yang jatuh setelah kata asrā? Padahal secara sepintas kata lail (malam) tidak diperlukan lagi setelah kata asrā yang telah mencakup makna perjalanan malam hari.
Menanggapi pemaknaan ini, para ulama menjadikan kata asrā mengandung makna sedikit, sehingga dari sini dapat dipahami bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung sepanjang malam, tetapi hanya mengambil beberapa waktu dari keseluruhan waktu malam.
Begitu singkatnya perjalanan tersebut, tergambarkan melalui riwayat yang menyatakan bahwa sekembalinya Rasulullah saw.,dari perjalanan isrā’, ia masih menemukan kehangatan di tempat tidur beliau. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000).
Sedikit berbeda dengan az-Zamakhsyari, baginya kata lail yang terletak di belakang redaksi kata asrā’ hanyalah sebagai bentuk “pengingkaran” atau penolakan terhadap kebiasaan perjalanan dari Mekkah ke Syam itu membutuhkan waktu selama 40 malam. Dalam kasus tertentu seperti pada peristiwa isrā’ mi’rāj perjalanan dari Mekkah menuju Syam dapat ditempuh dalam kurun waktu semalam. (Az-Zamakhsyari: 2009).
Tidak jauh beda dengan pendahulunya, Quraish Shihab juga berargumen bahwa kata asrā itu bermakna perjalanan pada malam hari. Akan tetapi Quraish Shihab cenderung lebih teliti ketika mendefinikasn bagian-bagian kata yang berada sebelum dan sesudah kata asrā. Seperti halnya keberadaan huruf bā’ dalam frase berikut ٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ yang mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj yang dilalui oleh Nabi, terjadi di bawah bimbingan dan petunjuk Allah SWT. (Quraish Shihab: 2005).
Melalui frase tersebut juga mengandung makna, bahwa Nabi SAW bukan saja diisra’kan lalu kemudian dilepas begitu saja, tetapi Isrā’ yang dilakukan Nabi itu berada dalam bimbingan Allah secara terus-menerus, bahkan “disertai” oleh-Nya.
Maka dapat ditarik benang merah, kata Quraish, bahwa sebenarnya perjalanan yang dilakukan oleh Nabi SAW, bukanlah atas kehendak beliau, dan tidak juga terjadi atas kemampuan beliau. Tetapi, perjalanan tersebut benar-benar berdasarkan atas kehendak Allah SWT. Dia-lah yang memperjalan kan Nabi Muhammad SAW, pada malam hari.
Atas dasar itu, narasi ayat tersebut mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa isra’ mi’raj tidak bisa diukur berdasarkan kemampuan makhluk, karena peristiwa itu terjadi murni karena kehendak Allah SWT. Meski tidak dipungkiri, beberapa ulama juga menafsirkan kata isrā’ dengan dibumbuhi tambahan-tambahan makna. Sekiranya, agar redaksi ayat yang dimaksud dapat memberikan pemahaman yang lebih logis kepada manusia.
Sebagaimana segolongan berpendapat bahwa isrā’ itu hanyalah perjalanan yang dilakukan Nabi melalui ruhnya saja. Di antara alasan yang dikemukakan oleh golongan ini adalah pendapat Muawiyah. Beliau berpendapat bahwa isra’ adalah suatu mimpi yang benar. Sedangkan Aisyah menyatakan bahwa Nabi berisra’ dengan ruhnya. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000). Tetapi secara umum para ulama’ berpendapat bahwa perintah perjalanan yang dilakukan Nabi dilakukan dengan menggunakan jasadnya.
Laman Tafsir Al-Quran menyimpulkan, bahwa kata asrā’ tidak hanya bermakna perjalanan, namun lebih kepada perjalanan pada malam hari, dan hal ini tentu berbeda dengan kata-kata seperti safār, zahāb, atau riḥlah.
Pertanyaannya bagaimana makna kata lain yang jatuh setelah kata asrā? Padahal secara sepintas kata lail (malam) tidak diperlukan lagi setelah kata asrā yang telah mencakup makna perjalanan malam hari.
Menanggapi pemaknaan ini, para ulama menjadikan kata asrā mengandung makna sedikit, sehingga dari sini dapat dipahami bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung sepanjang malam, tetapi hanya mengambil beberapa waktu dari keseluruhan waktu malam.
Begitu singkatnya perjalanan tersebut, tergambarkan melalui riwayat yang menyatakan bahwa sekembalinya Rasulullah saw.,dari perjalanan isrā’, ia masih menemukan kehangatan di tempat tidur beliau. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000).
Sedikit berbeda dengan az-Zamakhsyari, baginya kata lail yang terletak di belakang redaksi kata asrā’ hanyalah sebagai bentuk “pengingkaran” atau penolakan terhadap kebiasaan perjalanan dari Mekkah ke Syam itu membutuhkan waktu selama 40 malam. Dalam kasus tertentu seperti pada peristiwa isrā’ mi’rāj perjalanan dari Mekkah menuju Syam dapat ditempuh dalam kurun waktu semalam. (Az-Zamakhsyari: 2009).
Tidak jauh beda dengan pendahulunya, Quraish Shihab juga berargumen bahwa kata asrā itu bermakna perjalanan pada malam hari. Akan tetapi Quraish Shihab cenderung lebih teliti ketika mendefinikasn bagian-bagian kata yang berada sebelum dan sesudah kata asrā. Seperti halnya keberadaan huruf bā’ dalam frase berikut ٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ yang mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj yang dilalui oleh Nabi, terjadi di bawah bimbingan dan petunjuk Allah SWT. (Quraish Shihab: 2005).
Melalui frase tersebut juga mengandung makna, bahwa Nabi SAW bukan saja diisra’kan lalu kemudian dilepas begitu saja, tetapi Isrā’ yang dilakukan Nabi itu berada dalam bimbingan Allah secara terus-menerus, bahkan “disertai” oleh-Nya.
Maka dapat ditarik benang merah, kata Quraish, bahwa sebenarnya perjalanan yang dilakukan oleh Nabi SAW, bukanlah atas kehendak beliau, dan tidak juga terjadi atas kemampuan beliau. Tetapi, perjalanan tersebut benar-benar berdasarkan atas kehendak Allah SWT. Dia-lah yang memperjalan kan Nabi Muhammad SAW, pada malam hari.
Atas dasar itu, narasi ayat tersebut mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa isra’ mi’raj tidak bisa diukur berdasarkan kemampuan makhluk, karena peristiwa itu terjadi murni karena kehendak Allah SWT. Meski tidak dipungkiri, beberapa ulama juga menafsirkan kata isrā’ dengan dibumbuhi tambahan-tambahan makna. Sekiranya, agar redaksi ayat yang dimaksud dapat memberikan pemahaman yang lebih logis kepada manusia.
Sebagaimana segolongan berpendapat bahwa isrā’ itu hanyalah perjalanan yang dilakukan Nabi melalui ruhnya saja. Di antara alasan yang dikemukakan oleh golongan ini adalah pendapat Muawiyah. Beliau berpendapat bahwa isra’ adalah suatu mimpi yang benar. Sedangkan Aisyah menyatakan bahwa Nabi berisra’ dengan ruhnya. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000). Tetapi secara umum para ulama’ berpendapat bahwa perintah perjalanan yang dilakukan Nabi dilakukan dengan menggunakan jasadnya.
Laman Tafsir Al-Quran menyimpulkan, bahwa kata asrā’ tidak hanya bermakna perjalanan, namun lebih kepada perjalanan pada malam hari, dan hal ini tentu berbeda dengan kata-kata seperti safār, zahāb, atau riḥlah.
(mhy)