Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan dan Perintah Jima' di Malam Hari

Jum'at, 24 April 2020 - 07:24 WIB
loading...
Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan dan Perintah Jima di Malam Hari
Dulu, saat Nabi SAW datang ke Madinah, beliau hanya melakukan puasa Asyuro dan puasa tiga hari pada setiap bulannya. Hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan. Foto/Dok SINDOnews
A A A
Dai yang juga pengajar Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir mengulas sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan dalam bukunya "Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan".

Imam At-Thobari dalam Jami' Al-Bayan menuliskan bahwa Muadz bin Jabal RA berkata: "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) datang ke Madinah maka puasa yang dilakukan oleh beliau adalah puasa 'Asyuro dan puasa tiga hari pada setiap bulannya. Hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan, dan Allah menurunkan ayat-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kammu agar kamu bertakwa." (QS Al-Baqarah: ayat 183)

Hingga ayat: "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin".

Pada awalnya siapa saja yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa, dan siapa saja yang ingin berbuka maka dia boleh berbuka dan cukup menggantinya dengan memberi makan orang miskin. Namun, pada akhirnya Allah mewajibkan kepada seluruh ummat yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk berpuasa.

Tidak ada pilihan untuk berbuka, dan untuk mereka yang sudah lanjut usia tetap diberikan keringanan boleh berbuka dengan syarat tetap memberikan makan fakir miskin, maka turunlah ayat yang artinya: "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu".

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim menjelaskan, proses pensyariatan puasa Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan salat, dimana keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan. Perihal perubahan tahapan dalam puasa juga terjadi hingga tiga kali.

Awalnya ketika tiba di Madinah, Rasulullah SAW dan para sahabat berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau juga berpusa di hari Asyuro', lalu kemudian turun syariat puasa Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183), dan ini dinilai sebagai tahapan pertama.

Pada masa awal-awal puasa Ramadhan masih sifatnya pilihan, siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak berpuasa mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan fidyah. Tapi ketika Allah menurunkan ayat-Nya: "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu".

Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpuasa, walaupun Allah tetap memberikan keringan bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan dan lanjut usia untuk tidak berpuasa dengan cara menggantinya, baik dengan cara puasa qadha atau dengan fidyah. Dan sampai di sini dinilai sebagai tahapan kedua dalam syariat puasa.

Seperti yang disinggung di atas, awal pensyariatan puasa, para sahabat boleh untuk makan dan minum dan berhubungan suami istri setelah tiba waktu berbuka dengan syarat itu semua dilakukan sebelum tidur. Jika sudah tertidur maka semua yang tadi tidak boleh dilakukan walaupun terjaganya sebelum Fajar.

Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Al-Bara' bin Azib berkata: Bahwa (pada awalnya) para sahabat Rasulullah SAW ketika berpuasa tidak makan ketika ia tertidur sebelum berbuka hingga esoknya mereka lanjut berpuasa lagi tanpa makan. Bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dimana siang harinya beliau habiskan untuk mengurus pohon kurma, ketika waktu berbuka sudah hampir tiba ia datang kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan? Namun, istrinya menjawab tidak ada, akan tetapi istrinya berusaha mencarikannya.

Ketika menunggu istrinya mencari makan, Qais ini ketiduran karena capek dari bekerja siang hari tadi. Mengetahui suaminya tertidur, maka istrinya berucap: "Celakahlah engkau!". Esok harinya Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka, karena tidak boleh makan ketika bangun dari tidur. Tapi di pertengahan hari berikutnya Qais malah pingsan. Lalu cerita ini sampai kepada Nabi, maka turunlah ayat:

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur (jima') dengan istri-istri kamu". Dari sana mereka semua bergembira, lalu turun kelengkapan ayat berikutnya: "Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar (Shubuh)."

Dan dalam waktu bersamaan, Sayyidina Umar bin Khattab RA juga menceritakan bahwa dirinya sempat mendatangi istrinya, padahal itu dilakukannya setelah bangun dari tidur yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Akhirnya Allah menurunkan: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu". "dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar.

Demikian sejarah penyariatan puasa Ramadhan dan kisah para sahabat ketika menjalani puasa. Cerita ini dinilai sebagai penyempurna dari persyariatan puasa yang melalui tiga tahapan.

Wallahu A'lam Bish Showab
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1226 seconds (0.1#10.140)