Pertanda Kiamat Terjadi, Kumandang Azan Sudah Tak Lagi Terdengar?
loading...
A
A
A
Tg DR Miftah el-Banjary MA
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Indonesia-Malaysia
Pertanda kiamat itu banyak. Dan disadari atau tidak, kita sebagai umat akhir zaman saat ini memang berada pada titik awal sekaligus akhir dimana kita akan menjumpai atau melihat sekian banyak dari pertanda kiamat itu, baik pertanda-pertanda kecil hingga pertanda besar.
Ada satu hadits menarik di antara pertanda kiamat. Dari riwayat Anas bin Malik RA yang diriwayatkan dalam hadits Shahih Muslim, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"لاَ تَقُومُ السَّاعةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي الأَرْضِ: الله، الله"
"Tidaklah akan terjadi kiamat, melainkan hanya akan tersisa satu orang di atas muka bumi yang berzikir Allah..Allah.."
Riwayat lain dari Imam Ahmad disebutkan, Nabi bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي الأَرْضِ: لاَ إِلَهَ إِلاّ اللَّه "
"Tidaklah akan terjadi kiamat, melainkan hanya akan tersisa satu orang di atas muka bumi yang berzikir Laa ilaha ilallah.."
Dari hadits di atas dapatlah kita pahami bahwa kiamat akan terjadi jika sudah tak ada lagi seorang pun yang mengucapkan lafadz Allah atau kalimat tauhid La ilaha ilallah.
Mengapa tak ada lagi yang berzikir? Apakah sudah tak ada lagi manusia yang berimannya lagi di masa itu?
Kita sama-sama tahu bahwa bentuk lafadz penyebutan kalimah "Allah" atau "La ila ilallah" yang nampak dan paling sering berkumandang hanyalah akan terdengar di saat adzan dikumandangkan 5 kali dalam sehari.
Sekiranya kumandang azan tak lagi terdengar melalui pengeras-pengeras suara dari masjid dan mushala, maka di saat itulah lafadz-lafadz kalimah Allah dan kalimah "La ilaha illah" tak bergema di muka bumi ini.
Bagaimana prosesnya hingga suara azan tak menggema lagi di muka bumi, apakah menjelang di akhir zaman tak ada lagi seorang muslim pun yang tersisa atau memang ada pelarangan azan di masa itu? Tidak!
Seiring dengan kecanggihan teknologi dan atas nama toleransi atau adanya stigma serta tuduhan bahwa suara adzan melalui pengeras suara itu bisa menimbulkan gangguan "berisik" bagi masyarakatnya di zaman itu, maka pertanda waktu shalat bisa dialihfungsikan melalui program adzan yang bersifat digital.
Bagaimana Kumandang Azan Digital?
Ya banyak bentuknya. Salah satunya, bisa jadi ada nanti pertanda waktu shalat dilakukan melalui kumandang adzan secara Live Streaming melalui handphone yang terhubung dari masjid ke masing-masing jama'ahnya.
Di kamar-kamar hotel berbintang hari ini rata-rata telah terpasang speaker-speaker aktif yang terhubung langsung atau tidak langsung ke masjid atau mushala atau resepsionis yang secara otomatis akan mengumandangkan suara adzan setiap kali masuk waktu shalat.
Teknologi azan digital semacam ini boleh jadi dianggap sebagai solusi bagi polemik kekerasan suara speaker suara azan konvensional yang dianggap berisik dan mengganggu oleh kelompok "munafikun" di zaman itu.
Suka atau tidak suka, di akhir zaman kita pasti akan dihadapkan pada berbagai bentuk upaya degradasi kumandang adzan, sampai pada akhirnya di tengah-tengah masyarakat umat Islam akhir zaman, adzan hanya berkumandang melalui alarm handphone atau speaker kecil yang terpasang di rumah-rumah, sebab ada banyak aturan-aturan yang membatasi bahkan menutup ruang kebebasan syiar azan itu secara terbuka.
Alasannya munculnya aturan itu dibuat berbagai macam alasan yang terkesan dibuat-buat dan tidaklah terlalu urgent, atas nama tolerasi beragama lah, atas nama HAM lah, atas dasar polemik gangguan bagi umat berbeda keyakinan lain lah dan sebagainya
Padahal faktanya masih banyak pengakuan jujur dan terbuka dari penganut agama non muslim yang tidak sama sekali merasa terganggu dengan kumandang adzan, malah senang mendengar kumandang adzan itu sendiri. Sebab, suara adzan berkumandang di negeri ini telah ada sejak Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-11 M, bahkan lebih awal di abad 9 M.
Kumandang suara azan melalui speaker-speaker di wilayah yang memang sejatinya menjadi mayoritas umat Islam memang merupakan sebuah keniscayaan sekaligus sebagai konsekuensi logis dimana hal tersebut menunjukkan syiar Islam.
Sama seperti konsekuensi logis bagi mereka yang tinggal di sekitar rel kereta api pun juga akan siap mendengarkan bunyi kereta api yang berisik dan mengganggu setiap kali ada kereta yang melintas.
Meskipun lagi-lagi, gangguan suara berisik tidak bisa disamakan dengan suara berisiknya rel kereta api, apalagi membuat pola perbandingan tolol antara suara kumandang adzan dengan suara gonggongan anjing.
Contoh lain, seperti di Singapura hari ini, dulu ketika Singapura masih menjadi bagian dari negara Melayu-Malaysia, sebagaimana adzan berkumandang di negeri-negeri Malaysia. Maka setelah Singapura memisahkan menjadi negara sekuler, mimpi saja mendengarkan kumandang suara azan yang bergema di jalan-jalan umum.
Turki pun pernah mengalami masa-masa menyedihkan, ketika Kemal Attaruk berambisi mengubah haluan negara Kekhalifahan Islam Turki Utsmani menjadi negara sekuleris, hal pertama kali yang dia lakukan adalah melarang penggunaan azan dalam bahasa Arab dan digantikan ke dalam bahasa Turki.
Bagi mereka yang tampil sebagai pendukung kebijakan pengurangan volume suara azan, tentu mereka dengan berbagai dalil dan alasan mencari-cari pembenaran dengan merujuk pada kebijakan negara-negara lain yang mengatur kebijakan penggunaan speaker/corong mic dalam perihal kumandang azan.
Dari poster yang mereka buat dan propagandakan, nampak ada beberapa negara yang melakukan pembatasan kumandang azan, seperti yang terjadi di Arab Saudi misalnya. Padahal negara kita sesungguhnya memiliki kearifan lokal sendiri yang tak harus merefensi pada kasus dan kebijakan luar. Nah, di sini kadang yang menjadi lucu sekaligus paradoksnya.
Giliran terkait kebijakan pengaturan kumandang adzan merujuk pada negara Arab Saudi, tapi giliran persoalan keIslaman lainnya yang merujuk pada negara Arab akan dibilang itu budaya Arab. Sangat membingungkan, bukan?
Kembali pada tajuk utama di atas bahwa fenomena menjelang akhir zaman dimana kiamat pasti akan berlaku ketika sudah tak lagi terdengar orang yang mengumandangkan kalimah "Allah" atau "La ilaha illallah", apakah berkaitan dengan upaya pembatasan atau pengurangan kumandang suara adzan dalam berbagai bentuk dan upaya degradasi syiar Islam itu sendiri?
Wallahu A'lam
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Indonesia-Malaysia
Pertanda kiamat itu banyak. Dan disadari atau tidak, kita sebagai umat akhir zaman saat ini memang berada pada titik awal sekaligus akhir dimana kita akan menjumpai atau melihat sekian banyak dari pertanda kiamat itu, baik pertanda-pertanda kecil hingga pertanda besar.
Ada satu hadits menarik di antara pertanda kiamat. Dari riwayat Anas bin Malik RA yang diriwayatkan dalam hadits Shahih Muslim, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"لاَ تَقُومُ السَّاعةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي الأَرْضِ: الله، الله"
"Tidaklah akan terjadi kiamat, melainkan hanya akan tersisa satu orang di atas muka bumi yang berzikir Allah..Allah.."
Riwayat lain dari Imam Ahmad disebutkan, Nabi bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي الأَرْضِ: لاَ إِلَهَ إِلاّ اللَّه "
"Tidaklah akan terjadi kiamat, melainkan hanya akan tersisa satu orang di atas muka bumi yang berzikir Laa ilaha ilallah.."
Dari hadits di atas dapatlah kita pahami bahwa kiamat akan terjadi jika sudah tak ada lagi seorang pun yang mengucapkan lafadz Allah atau kalimat tauhid La ilaha ilallah.
Mengapa tak ada lagi yang berzikir? Apakah sudah tak ada lagi manusia yang berimannya lagi di masa itu?
Kita sama-sama tahu bahwa bentuk lafadz penyebutan kalimah "Allah" atau "La ila ilallah" yang nampak dan paling sering berkumandang hanyalah akan terdengar di saat adzan dikumandangkan 5 kali dalam sehari.
Sekiranya kumandang azan tak lagi terdengar melalui pengeras-pengeras suara dari masjid dan mushala, maka di saat itulah lafadz-lafadz kalimah Allah dan kalimah "La ilaha illah" tak bergema di muka bumi ini.
Bagaimana prosesnya hingga suara azan tak menggema lagi di muka bumi, apakah menjelang di akhir zaman tak ada lagi seorang muslim pun yang tersisa atau memang ada pelarangan azan di masa itu? Tidak!
Seiring dengan kecanggihan teknologi dan atas nama toleransi atau adanya stigma serta tuduhan bahwa suara adzan melalui pengeras suara itu bisa menimbulkan gangguan "berisik" bagi masyarakatnya di zaman itu, maka pertanda waktu shalat bisa dialihfungsikan melalui program adzan yang bersifat digital.
Bagaimana Kumandang Azan Digital?
Ya banyak bentuknya. Salah satunya, bisa jadi ada nanti pertanda waktu shalat dilakukan melalui kumandang adzan secara Live Streaming melalui handphone yang terhubung dari masjid ke masing-masing jama'ahnya.
Di kamar-kamar hotel berbintang hari ini rata-rata telah terpasang speaker-speaker aktif yang terhubung langsung atau tidak langsung ke masjid atau mushala atau resepsionis yang secara otomatis akan mengumandangkan suara adzan setiap kali masuk waktu shalat.
Teknologi azan digital semacam ini boleh jadi dianggap sebagai solusi bagi polemik kekerasan suara speaker suara azan konvensional yang dianggap berisik dan mengganggu oleh kelompok "munafikun" di zaman itu.
Suka atau tidak suka, di akhir zaman kita pasti akan dihadapkan pada berbagai bentuk upaya degradasi kumandang adzan, sampai pada akhirnya di tengah-tengah masyarakat umat Islam akhir zaman, adzan hanya berkumandang melalui alarm handphone atau speaker kecil yang terpasang di rumah-rumah, sebab ada banyak aturan-aturan yang membatasi bahkan menutup ruang kebebasan syiar azan itu secara terbuka.
Alasannya munculnya aturan itu dibuat berbagai macam alasan yang terkesan dibuat-buat dan tidaklah terlalu urgent, atas nama tolerasi beragama lah, atas nama HAM lah, atas dasar polemik gangguan bagi umat berbeda keyakinan lain lah dan sebagainya
Padahal faktanya masih banyak pengakuan jujur dan terbuka dari penganut agama non muslim yang tidak sama sekali merasa terganggu dengan kumandang adzan, malah senang mendengar kumandang adzan itu sendiri. Sebab, suara adzan berkumandang di negeri ini telah ada sejak Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-11 M, bahkan lebih awal di abad 9 M.
Kumandang suara azan melalui speaker-speaker di wilayah yang memang sejatinya menjadi mayoritas umat Islam memang merupakan sebuah keniscayaan sekaligus sebagai konsekuensi logis dimana hal tersebut menunjukkan syiar Islam.
Sama seperti konsekuensi logis bagi mereka yang tinggal di sekitar rel kereta api pun juga akan siap mendengarkan bunyi kereta api yang berisik dan mengganggu setiap kali ada kereta yang melintas.
Meskipun lagi-lagi, gangguan suara berisik tidak bisa disamakan dengan suara berisiknya rel kereta api, apalagi membuat pola perbandingan tolol antara suara kumandang adzan dengan suara gonggongan anjing.
Contoh lain, seperti di Singapura hari ini, dulu ketika Singapura masih menjadi bagian dari negara Melayu-Malaysia, sebagaimana adzan berkumandang di negeri-negeri Malaysia. Maka setelah Singapura memisahkan menjadi negara sekuler, mimpi saja mendengarkan kumandang suara azan yang bergema di jalan-jalan umum.
Turki pun pernah mengalami masa-masa menyedihkan, ketika Kemal Attaruk berambisi mengubah haluan negara Kekhalifahan Islam Turki Utsmani menjadi negara sekuleris, hal pertama kali yang dia lakukan adalah melarang penggunaan azan dalam bahasa Arab dan digantikan ke dalam bahasa Turki.
Bagi mereka yang tampil sebagai pendukung kebijakan pengurangan volume suara azan, tentu mereka dengan berbagai dalil dan alasan mencari-cari pembenaran dengan merujuk pada kebijakan negara-negara lain yang mengatur kebijakan penggunaan speaker/corong mic dalam perihal kumandang azan.
Dari poster yang mereka buat dan propagandakan, nampak ada beberapa negara yang melakukan pembatasan kumandang azan, seperti yang terjadi di Arab Saudi misalnya. Padahal negara kita sesungguhnya memiliki kearifan lokal sendiri yang tak harus merefensi pada kasus dan kebijakan luar. Nah, di sini kadang yang menjadi lucu sekaligus paradoksnya.
Giliran terkait kebijakan pengaturan kumandang adzan merujuk pada negara Arab Saudi, tapi giliran persoalan keIslaman lainnya yang merujuk pada negara Arab akan dibilang itu budaya Arab. Sangat membingungkan, bukan?
Kembali pada tajuk utama di atas bahwa fenomena menjelang akhir zaman dimana kiamat pasti akan berlaku ketika sudah tak lagi terdengar orang yang mengumandangkan kalimah "Allah" atau "La ilaha illallah", apakah berkaitan dengan upaya pembatasan atau pengurangan kumandang suara adzan dalam berbagai bentuk dan upaya degradasi syiar Islam itu sendiri?
Wallahu A'lam
(rhs)