Pemikiran Salafi dan Citranya, Menurut Syaikh Yusuf Al-Qardhawi

Rabu, 02 Maret 2022 - 14:57 WIB
loading...
Pemikiran Salafi dan...
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi (Foto/Ilustrasi : Reuters)
A A A
Syaikh Yusuf Al Qardhawi dalam buku berjudul "Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah" mengatakan yang dimaksud dengan " Pemikiran Salaf i" ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para sahabat Nabi SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur'an dan tuntunan Nabi Muhammad SAW .



Menurut Al-Qardhawi, kriteria manhaj Salafi yang benar yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :

1. Berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.

2. Mengembalikan masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah "muhkamat" (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath'i.

3. Memahami kasus-kasus furu' (kecil) dan juz'i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.

4. Menyerukan "Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "taqlid" dan kebekuan.

5. Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.

6. Dalam masalah fiqh, berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".

7. Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.

8. Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.

9. Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.

10. Menekankan sikap "ittiba'" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat "ikhtira'" (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan inilah inti manhaj salafi yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktik. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah.

Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur'an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan "negara ilmu dan Iman". Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.



Dirusak Citranya
Yusuf Qardhawi menjelaskan istilah "Salafiah" telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap "salafiah". Orang-orang yang pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf.

Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda "debat" dan "polemik", bukan manhaj konstruktif dan praktis.

Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan "Salafiah" ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.

Terbelakang
Selanjutnya Al-Qardhawi mengatakan di sisi lain, pihak yang kontra-salafiah menuduh paham ini terbelakang, senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan.

Paham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreativitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.

Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini, kata Al-Qardhawi, merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli.

Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan salafiah dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim . "Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan pembaruan Islam pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam," ujarnya.

Mereka telah menumpas paham taqlid, fanatisme mazhab fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi ashobiyah madzhabiyah ini, mereka tetap menghargai para Imam Mazhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'l - malaam 'anil - A'immatil A'lam" karya Ibnu Taimiyah.



Demikian gencar serangan mereka terhadap tasawuf karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan akidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab "Al-Hulul Wal-Ittihad" (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan "tasawuf" untuk kepentingan pribadinya.

Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari "Majmu' Fatawa" karya besar Imam Ibnu Taimiyah.

Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah "Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in", dalam tiga jilid.

Yusuf Qardhawi menekankan mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekadar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. "Adalah suatu hal yang mungkin terjadi, Anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz'i (kecil), namun pada hakikatnya Anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang," ujarnya.

Sebagaimana juga mungkin, katanya lagi, Anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun Anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.

"Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam taqlid yang baru," ujar Al-Qardhawi.

Lebih jauh lagi berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj "nalar" dan "mengikuti dalil". Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. "Apa artinya Anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik , jika Anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim," katanya.

Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama.



Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: "Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia".

Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: "Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid".

"Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka," tutur Al-Qardhawi.

Namun, orang seringkali melupakan, sisi "dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. "Inilah makna "Salafiah" yang sesungguhnya," jelas Al-Qardhawi lagi.

Imam Muhammad Rasyid Ridha
Menurut Al-Qardhawi, bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan "salafiah", dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi "salafiah", ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah "Al-Manar' yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa "bendera" salafiah ini, menulis Tafsir "Al-Manar" dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.

Rasyid Ridha adalah seorang "pembaharu" (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca "tafsir"nya, sperti : "Al-Wahyu Al-Muhammadi", "Yusrul-Islam", "Nida' Lil-Jins Al-Lathief", "Al-Khilafah", "Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid" dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan "Manar" (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran "salafiah"nya.

Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah "emas" yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah: "Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat."

Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai "pengikut Salaf".

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1607 seconds (0.1#10.140)