Kisah Nabi Yusuf Jelaskan Ciri Agama yang Lurus
loading...
A
A
A
Ustaz Mukhlis Mukti Al-Mughni
Yayasan Pustaka Afaf,
Dai Lulusan Al-Azhar Mesir
Meski mendekam di penjara, Nabi Yusuf 'alaihissalam tetap bersemangat menebar kebaikan. Beliau berdakwah mengenalkan Tauhid kepada penghuni Penjara dan menjelaskan ciri agama yang lurus.
Berikut lanjutan kisah Nabi Yusuf yang diabadikan dalam Surat Yusuf.
Artinya: "Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Yusuf Ayat 40)
Pesan dan Hikmah
1. Semangat dakwah Nabi Yusuf 'alahissalam terlihat lagi dalam ayat ini. beliau membuka pikiran kedua Napi di penjara itu agar melek dan sadar dengan hakikat yang selama ini mereka dan masyarakatnya yakini sebagai tuhan. Ternyata tuhan mereka hanya sebutan nama saja tanpa ada hakikat atau kebenaran sama sekali. Keyakinan dan tuhan rekayasa dengan segala kepentingan atau kesesatan nafsunya.
2. Ibadah itu harus bedasarkan tuntunan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada wilayah akal dan tradisi dalam masalah ibadah. Ini merupakan hak dan keputusan Allah. Tugas kita tunduk dan patuh terhadap hukum Allah yang diberlakukan sesuai fitrah manusia dan demi merealisasikan kemaslahatan hamba-Nya.
Wajar jika Allah mengatur hidup kita karena Dialah yang memiliki kita dan semua kehidupan ini. Kepemilikan dan kemampuan manusia terbatas sehingga dia tidak berhak mengatur dan memerintah yang berlebihan. Namun jika ada manusia atau pemerintah yang ingin mengatur kehidupan masyarakat tanpa mengakui diri mereka sebagai tuhan atau pemilik kehidupan ini maka itu boleh-boleh saja apalagi semua itu demi pertimbangan kemashatan. "Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya juga ulul amri kalian (pemimpin)."
3. Jangan mencampur adukkan iman kepada Allah dengan tuhan atau sejenisnya yang lain, yang berarti menyekutukan Allah. Yakin dengan Allah namun meyakini pula kekuatan yang ada pada tuhan yang diasumsinya. Dalam keyakinan Islam jelas, tidak ada tuhan lain yang bersama Allah apapun namanya.
4. Inilah ciri agama yang lurus. Tidak ada penyekutuan terhadap Allah. Tunduk dan patuh pada keputusan-Nya.
5. "Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." Seringkali Al-Qur'an mengategorikan "mayoritas manusia" berada dalam hal yang negatif. Seperti dalam ayat ini menjelaskan bahwa mayoritas itu tidak menunjukkan berada pada kebenaran, terkadang justru menujukkan pada kebatilan. Karenanya jangan terjebak pada kwantitasnya, tapi lihat hakikat dan kwalitasnya. Berbeda jika mayoritas ulama (jumhur ulama), seperti dijelaskan Rasululah: "Umatku tidak akan sepakat dalam kebohongan atau kebatilan". Maksudnya adalah para ulama. Maka jangan tinggalkan pendapat mayoritas ulama yang dikenal dengan Ahli Sunah wal Jama'ah.
6. Nabi Yusuf mengajarkan kepada kita bagaimana dakwah itu harus disampaikan dengan lembut, jelas, menenangkan serta meyakinkan. Bukan dengan menghujat, kasar dan subjektif.
Renungkan ayat dakwah ini yang artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imraan [3]: 159).
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahl [16]: 125)
Yayasan Pustaka Afaf,
Dai Lulusan Al-Azhar Mesir
Meski mendekam di penjara, Nabi Yusuf 'alaihissalam tetap bersemangat menebar kebaikan. Beliau berdakwah mengenalkan Tauhid kepada penghuni Penjara dan menjelaskan ciri agama yang lurus.
Berikut lanjutan kisah Nabi Yusuf yang diabadikan dalam Surat Yusuf.
مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلَّآ اَسْمَاۤءً سَمَّيْتُمُوْهَآ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللّٰهُ بِهَا مِنْ سُلْطٰنٍۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗاَمَرَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
Artinya: "Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Yusuf Ayat 40)
Pesan dan Hikmah
1. Semangat dakwah Nabi Yusuf 'alahissalam terlihat lagi dalam ayat ini. beliau membuka pikiran kedua Napi di penjara itu agar melek dan sadar dengan hakikat yang selama ini mereka dan masyarakatnya yakini sebagai tuhan. Ternyata tuhan mereka hanya sebutan nama saja tanpa ada hakikat atau kebenaran sama sekali. Keyakinan dan tuhan rekayasa dengan segala kepentingan atau kesesatan nafsunya.
2. Ibadah itu harus bedasarkan tuntunan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada wilayah akal dan tradisi dalam masalah ibadah. Ini merupakan hak dan keputusan Allah. Tugas kita tunduk dan patuh terhadap hukum Allah yang diberlakukan sesuai fitrah manusia dan demi merealisasikan kemaslahatan hamba-Nya.
Wajar jika Allah mengatur hidup kita karena Dialah yang memiliki kita dan semua kehidupan ini. Kepemilikan dan kemampuan manusia terbatas sehingga dia tidak berhak mengatur dan memerintah yang berlebihan. Namun jika ada manusia atau pemerintah yang ingin mengatur kehidupan masyarakat tanpa mengakui diri mereka sebagai tuhan atau pemilik kehidupan ini maka itu boleh-boleh saja apalagi semua itu demi pertimbangan kemashatan. "Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya juga ulul amri kalian (pemimpin)."
3. Jangan mencampur adukkan iman kepada Allah dengan tuhan atau sejenisnya yang lain, yang berarti menyekutukan Allah. Yakin dengan Allah namun meyakini pula kekuatan yang ada pada tuhan yang diasumsinya. Dalam keyakinan Islam jelas, tidak ada tuhan lain yang bersama Allah apapun namanya.
4. Inilah ciri agama yang lurus. Tidak ada penyekutuan terhadap Allah. Tunduk dan patuh pada keputusan-Nya.
5. "Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." Seringkali Al-Qur'an mengategorikan "mayoritas manusia" berada dalam hal yang negatif. Seperti dalam ayat ini menjelaskan bahwa mayoritas itu tidak menunjukkan berada pada kebenaran, terkadang justru menujukkan pada kebatilan. Karenanya jangan terjebak pada kwantitasnya, tapi lihat hakikat dan kwalitasnya. Berbeda jika mayoritas ulama (jumhur ulama), seperti dijelaskan Rasululah: "Umatku tidak akan sepakat dalam kebohongan atau kebatilan". Maksudnya adalah para ulama. Maka jangan tinggalkan pendapat mayoritas ulama yang dikenal dengan Ahli Sunah wal Jama'ah.
6. Nabi Yusuf mengajarkan kepada kita bagaimana dakwah itu harus disampaikan dengan lembut, jelas, menenangkan serta meyakinkan. Bukan dengan menghujat, kasar dan subjektif.
Renungkan ayat dakwah ini yang artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imraan [3]: 159).
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahl [16]: 125)
(rhs)