Sejarah Bedug di Indonesia Hingga Jadi Alat Pengingat Waktu Sholat
loading...
A
A
A
Sejarah bedug di Indonesia sering dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho pada abad ke-15. Pendapat lain mengatakan bahwa penggunaan bedug sudah ada pada zaman Majapahit pada abad ke 14-16 Masehi.
Di Indonesia, hampir seluruh masjid memiliki bedug. Benda ini biasanya digunakan sesaat akan mengumandangkan Adzan sebagai pengingat masuknya waktu sholat. Bedug adalah alat tabuh seperti gendang yang berfungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan keagamaan maupun sosial.
Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang 1 meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujungnya ditutup dengan kulit kerbau, sapi atau banteng yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang.
Sejarah Bedug
Jika menilik sejarah bedug di Indonesia kita akan mendapati banyak cerita dan pendapat ahli sejarah. Pendapat pertama menyebutkan bahwa bedug merupakan alat bunyi yang berasal dari Negeri Cina. Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke-15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang muslim itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara. Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa bedug merupakan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia". (Aam, Masduki. Dkk., 2005: 125)
Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono berpendapat bahwa pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.
Selain dua pendapat itu, ada pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa penggunaan bedug mulai dilakukan pada zaman Majapahit pada abad ke 14-16 Masehi. Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D'eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke16.
Ketika komandan ekspedisi Belanda tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.
Jika merujuk legenda Cheng Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Ketika Laksamana Cheng Ho hendak pergi, raja dari Semarang mengatakan, bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid.
Sejak itulah bedug kemudian menjadi bagian dari syiar masjid. Seperti di Cina, Korea dan Jepang, yang memosisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Keberadaan bedug masjid di Tanah Air bukanlah hal yang aneh. Hampir seluruh masjid di Indonesia memiliki bedug yang digunakan untuk mengingatkan waktu sholat berjamaah di Masjid.
Baca Juga: Geliat Perajin Bedug di Bulan Ramadhan
Di Indonesia, hampir seluruh masjid memiliki bedug. Benda ini biasanya digunakan sesaat akan mengumandangkan Adzan sebagai pengingat masuknya waktu sholat. Bedug adalah alat tabuh seperti gendang yang berfungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan keagamaan maupun sosial.
Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang 1 meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujungnya ditutup dengan kulit kerbau, sapi atau banteng yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang.
Sejarah Bedug
Jika menilik sejarah bedug di Indonesia kita akan mendapati banyak cerita dan pendapat ahli sejarah. Pendapat pertama menyebutkan bahwa bedug merupakan alat bunyi yang berasal dari Negeri Cina. Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke-15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang muslim itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara. Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa bedug merupakan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia". (Aam, Masduki. Dkk., 2005: 125)
Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono berpendapat bahwa pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.
Selain dua pendapat itu, ada pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa penggunaan bedug mulai dilakukan pada zaman Majapahit pada abad ke 14-16 Masehi. Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D'eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke16.
Ketika komandan ekspedisi Belanda tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.
Jika merujuk legenda Cheng Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Ketika Laksamana Cheng Ho hendak pergi, raja dari Semarang mengatakan, bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid.
Sejak itulah bedug kemudian menjadi bagian dari syiar masjid. Seperti di Cina, Korea dan Jepang, yang memosisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Keberadaan bedug masjid di Tanah Air bukanlah hal yang aneh. Hampir seluruh masjid di Indonesia memiliki bedug yang digunakan untuk mengingatkan waktu sholat berjamaah di Masjid.
Baca Juga: Geliat Perajin Bedug di Bulan Ramadhan
(rhs)