Puasa Sebagai Ujian Kesadaran Adanya Tuhan yang Maha Hadir, Begini Penjelasannya

Jum'at, 08 April 2022 - 17:13 WIB
loading...
Puasa Sebagai Ujian Kesadaran Adanya Tuhan yang Maha Hadir, Begini Penjelasannya
Salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang pribadi, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Foto/Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Sebuah Hadis menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalam bentuk Hadis Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala."

Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi dalam "Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad" memberi penjelasan bahwa puasa itu adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya. Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya.

Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat puasa.



Nurcholish Madjid dalam bukunya berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" menyimpulkan bahwa salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak seorang manusia dengan Tuhannya.

Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian.

Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu bersama kamu dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat." ( QS al-Hadid : 4)

"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah Allah." ( QS al-Baqarah : 183)

"Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." ( QS Qaf :16)

"Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menyekat antara seseorang dan hatinya sendiri..." ( QS al-Anfal : 24)



Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik Islam (Salaf) yang hidup sekitar tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751 H). Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh pemikir Islam di Zaman Modern dari Mesir. Dalam "Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu", al-Jurjawi menguraikan hikmah puasa sbb:

Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.

Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia.

Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan - (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan).

Ia merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan. Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1314 seconds (0.1#10.140)