Halalbihalal dalam Al-Qur'an: Begini Makna Minal 'Aidin Wal Faizin

Jum'at, 06 Mei 2022 - 05:02 WIB
loading...
Halalbihalal dalam Al-Quran: Begini Makna Minal Aidin Wal Faizin
Kata Aidin, adalah bentuk pelaku Id. Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan. Foto/Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal 'Aidin wal Faizin . Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id. Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.

M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Qur’an , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menyebutkan dalam Al-Qur'an ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung).

Menurutnya, yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.



Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh, jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang)" ( QS Al-Nisa' [4] : 72-73 ).

Quraish menjelaskan kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia dikecam oleh ayat di atas.

Berbeda dengan petunjuk Al-Qur'an yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).

Menurut Quraish yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah SWT.

Perhatikan misalnya:

Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung ( QS Al-Hasyr ayat 20).

Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit—dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung ( QS Ali 'Imran ayat 185 ).



Pengampunan
Quraish juga menjelaskan terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Qur'an untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain taba (taubat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi), dan shafah.

Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan maksud yang berbeda.

Taubat
Al-Qur'an mengisyaratkan adanya dua pelaku taubat, yakni Allah dan manusia. Di sini dapat ditambahkan bahwa ada dua macam taubat (kembalinya) Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya taubat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Taubat pertama Tuhan ini antara lain tercermin dari firman-Nya dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 186: “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat...”

Menurut Quraish, kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai huruf Ya' (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali kepada-Nya.

Perhatikan firman-Nya:

Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku ( QS Al-Fajr [89] : 29-30 ).

Dan firman-Nya:

Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah ( QS Al-Zumar [39] : 53 )

Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki kesadaran untuk bertaubat.

Taubat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:

Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) ( QS Al-Baqarah [2] : 37).



Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah membuka pintu taubat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. "Penerimaan kalimat-kalimat dari Tuhan" itulah yang mengantarkan Adam mengajukan permohonan ampun kepada Allah.

Langkah pertama dari tobat Allah ini, antara lain dipahami pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang taubat-Nya.

Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:

Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan orang-orang saleh) dan hendak menerima taubatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS Al-Nisa' [4]: 261).

Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki diri, sesungguhnya Allah (menerima taubatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ( QS Al-Maidah [5] : 39).

Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama taubat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui terketuk hatinya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya.

Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh dari Allah SWT.

Penutup surat Al-Maidah juga berbicara tentang taubat Allah, tetapi kali ini dia benar-benar telah "tobat" (kembali) ke posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi jika sang hamba yang berdosa bertobat dan memperbaiki diri. Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula, disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1598 seconds (0.1#10.140)