Kisah Karomah Kiai Rukhiyat saat Menghadapi Belanda sampai DI-TII

Senin, 12 September 2022 - 05:15 WIB
loading...
Kisah Karomah Kiai Rukhiyat saat Menghadapi Belanda sampai DI-TII
Kiai Rukhiyat, pendiri Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Kiai Rukhiyat adalah pejuang di zaman penjajahan Belanda dan menolak bergabung dengan DI-TII saat pemberontakan meletus di Jawa Barat. Dalam peristiwa ini karomah Kiai Rukhiyat diketahui banyak orang.

Rosihan Anwar dalam buku berjudul "Ulama dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Keagamaan" menyebutkan Kiai Rukhiyat adalah seorang kiai kharismatik pendiri Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat.



Kiai Rukhiyat lahir pada 11 November 1911 di Cisaro Desa Cipatat Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya, dan wafat pada 23 November 1977. Beliau dimakamkan di Komplek Pesantren Cipasung.

Kiai Rukhiyat mendirikan Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya pada 1931. Dia salah seorang kiai pejuang yang—bersama KH Zainal Mustafa dari Pesantren Sukamanah—memberontak terhadap penjajah Jepang dalam suatu perlawanan yang dikenal dengan Pemberontakan Sukamanah.

Ketika terjadi pemberontakan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) Kartosuwiryo di Indonesia—khususnya di daerah Jawa Barat bagian Timur, termasuk Tasikmalaya—secara terus menerus KH Rukhiyat diajak untuk ikut ke hutan untuk mengikuti perjuangan kelompok DI-TII. Akan tetapi, ajakan itu selalu ditolaknya.

Kiai Rukhiyat memiliki beberapa keistimewaan. Suatu ketika Kiai Rukhiyat telah dikepung oleh pasukan pemberontak karena sang kiai tidak bersedia mengikuti dan membantu gerakan DI-TII tersebut. Mereka bermaksud memaksa Kiai Rukhiyat untuk mengikuti gerakan mereka.

“Kiai harus ikut gerakan kami!”

“Aku tak bisa ikut pemberontak yang telah banyak menyengsarakan rakyat kecil,” jawab Kiai Rukhiyat.

Mendengar jawaban yang tidak mendukung, sejumlah pasukan berusaha menggotong kiai. Tetapi, pasukan yang jumlahnya cukup banyak itu tidak mampu menggotong sang kiai.

Beberapa orang lagi maju, kemudian berusaha mengangkat tubuh kiai untuk diangkut ke hutan. Namun, lagi-lagi pasukan yang jumlahnya cukup banyak itu tidak mampu mengangkat tubuh sang kiai.

“Tubuh Kiai Rukhiyat tidak bisa diangkat. Sungguh, berat sekali rasanya,” ucap salah seorang pasukan itu. Akhirnya, mereka berlarian meninggalkan Kiai Rukhiyat sendirian.



Kisah lain, ketika terjadi Agresi Kedua Belanda pada 1949, pesantren Cipasung merupakan target Belanda untuk dihancurkan. Pada waktu itu, perjuangan KH Rukhiyat melawan penjajah Belanda memang cukup disegani. Pesantrennya pun menjadi pusat komando pejuang di kalangan santri Cipasung.

Ketika waktu sholat ashar tiba, dan Kiai Rukhiyat terlihat sedang melakukan sholat bersama para santrinya, pihak Belanda berusaha membunuhnya dengan melepaskan tembakan ke arahnya. Namun, berkat pertolongan dan perlindungan Allah, tembakan mereka hanya berhasil merobohkan ketiga orang santrinya.

Meski KH Rukhiyat akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di Tasikmalaya selama 9 bulan sebagai tahanan politik (agar tidak menggerakkan lagi para gerilyawan di kalangan santri), namun tujuan utama menembak Kiai Rukhiyat tidak kesampaian karena sang kiai tidak mempan peluru.

Karena Kiai Rukhiyat ditangkap, pengajian pesantren pada waktu itu dipegang oleh KH Saiful Millah, dan putera KH Rukhiyat, KH Moh Ilyas Rukhiyat. Dia baru dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949.

Demikianlah, karena karomah yang dimiliki oleh Kiai Rukhiyat, usaha pembunuhan Belanda tehadapnya mengalami kegagalan.

Samsul Munir Amin dalam bukunya berjudul "Karomah Para Kiai" menuturkan bahwa suatu kejadian jika sudah dikehendaki Allah, mustahil untuk dihalangi oleh siapa pun. Manusia memang boleh merencanakan sesuatu, termasuk berencana untuk membunuh Kiai Rukhiyat, namun jika Allah tidak menghendaki, hal itu tidak mungkin akan terjadi.

Karomah yang dimiliki oleh Kiai Rukhiyat, yakni tiba-tiba terasa berat ketika diseret oleh para pemberontak DI-TII, sesungguhnya suatu kejadian yang tidak lazim. Menurut Samsul Munir Amin, kejadian yang demikian cukup banyak terjadi dalam komunitas pesantren. Tidak diragukan lagi, para pelakunya adalah orang-orang saleh yang tulus dan suci dalam mengamalkan agama Islam. Pendeknya, mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhannya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2090 seconds (0.1#10.140)