Karomah Kiai: Ketika Mimpi Menjadi Petunjuk
loading...
A
A
A
Seorang kiai di Manonjaya Tasikmalaya, Jawa Barat, bertemu dengan seorang ulama yang sudah meninggal dunia dalam mimpinya. Sang ulama memberi tahu bahwa cucunya akan nyantri di pondok pesantren yang dipimpin kiai tersebut. Sang kiai pun menununggu-nunggu realisasi mimpinya tersebut.
Kisah ini disampaikan Zahro el-Maula sebagaimana dikutip Samsul Munir Amin dalam bukunya berjudul "Karomah Para Kiai". Ini adalah mimpi Kiai Haji Afandi, pengasuh pondok pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, Jawa Barat, yang bertemu Kiai Abbas, ulama kharismatik dari Pesantren Buntet Cirebon. Mimpi itu terjadi pada tahun 1985, sedangkan Kiai Abbas sendiri sudah wafat pada tahun 1948.
Tentang Kiai Abbas, Samsul Munir Amin menjelaskan, semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai kiai pejuang dalam berbagai pertempuran melawan penjajah Belanda.
Lebih komplit lagit Samsul Munir menyebut nasab Kiai Abbas. Beliau adalah putera sulung dari KH Abdul Jamil yang lahir di desa Pekalangan Cirebon pada hari Jum'at, 24 Zhulhijjah 1300 (1879 M). KH Abdul Jamil adalah putera KH Mutaad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yaitu Mbah Mugoyyim. Mbah Mugoyyim adalah adalah salah seorang mufti (ahli agama) di Kesultanan Cirebon, tepatnya, mufti dari Sultan Khairuddin II.
Pada tahun 1985 itu, Zahro el-Maula diantar oleh ayahnya, Kiai Fathoni, berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya yang diasuh oleh Kiai Afandi. Kedatangan Kiai Fathoni dan anaknya ini tidak diberitahukan kepada Kiai Afandi.
Begitu Kiai Fathoni dan Zahro el-Maula, puterinya, sampai di Pesantren Miftahul Huda, Kiai Afandi tergopoh-gopoh menyambutnya dengan penuh kehangatan. Kiai Fathoni pun menjadi serba salah. Mengapakah kiai yang sudah sepuh tersebut menyambut sendiri dengan sangat baiknya? Padahal, ia sama sekali tidak memberitahu kedatangannya.
“Saya sudah menunggu-nunggu sejak kemarin kedatangan tamu dari Buntet. Katanya, akan ada tamu dari Buntet yang akan datang ke sini untuk mengantar anaknya mondok di sini,” ujar Kiai Afandi.
“Kiai tahu dari mana, kalau akan ada tamu dari Buntet?” tanya Kiai Fathoni.
“Saya diberi tahu oleh Kiai Abbas,” jawab Kiai Afandi. “Kiai Abbas memberi tahu saya dalam mimpi bahwa dalam hari-hari ini, salah seorang cucunya akan datang ke sini untuk belajar di Pondok Pesantren ini,” lanjutnya. Kiai Afandi dan Kiai Abbas adalah teman akrab.
Ya, ternyata Kiai Afandi mengetahuinya karena pemberitahuan Kiai Abbas dalam mimpi. Padahal, Kiai Abbas Bunter telah wafat sekian tahun lamanya. Beliau wafat pada 1948, sementara kejadian itu terjadi pada sekitar 1985.
Dalam dunia sufi, kata Samsul Munir Amin, mimpi kerap menjadi petunjuk transendental antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tidak sedikit petunjuk yang berasal dari mimpi menjadi realita.
Kisah di atas, baik dalam dunia sufi maupun dalam komunitas pesantren, adalah sesuatu yang logis dan sering terjadi. Tentu tidak semua kalangan kiai dan santri memahami isyarat dan petunjuk sebuah mimpi jika mimpi itu masih samar-samar. "Akan tetapi jika mimpi itu jelas, tidaklah perlu lagi adanya penafsiran yang lebih detil karena memang telah gamblang, sebagaimana mimpi Kiai Afandi tersebut," tutur Samsul Munir Amin.
Sepertinya, hal-hal gaib dalam komunitas sufi telah berkembang dengan baik dan menjadi suatu fenomena menarik. Dan nyatanya, demikianlah adanya. Sebab, kabar yang disampaikan Kiai Abbas kepada Kiai Afandi dalam mimpinya ternyata terbukti adanya. Ini memang karomah dari para kiai.
Kisah ini disampaikan Zahro el-Maula sebagaimana dikutip Samsul Munir Amin dalam bukunya berjudul "Karomah Para Kiai". Ini adalah mimpi Kiai Haji Afandi, pengasuh pondok pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, Jawa Barat, yang bertemu Kiai Abbas, ulama kharismatik dari Pesantren Buntet Cirebon. Mimpi itu terjadi pada tahun 1985, sedangkan Kiai Abbas sendiri sudah wafat pada tahun 1948.
Baca Juga
Tentang Kiai Abbas, Samsul Munir Amin menjelaskan, semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai kiai pejuang dalam berbagai pertempuran melawan penjajah Belanda.
Lebih komplit lagit Samsul Munir menyebut nasab Kiai Abbas. Beliau adalah putera sulung dari KH Abdul Jamil yang lahir di desa Pekalangan Cirebon pada hari Jum'at, 24 Zhulhijjah 1300 (1879 M). KH Abdul Jamil adalah putera KH Mutaad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yaitu Mbah Mugoyyim. Mbah Mugoyyim adalah adalah salah seorang mufti (ahli agama) di Kesultanan Cirebon, tepatnya, mufti dari Sultan Khairuddin II.
Pada tahun 1985 itu, Zahro el-Maula diantar oleh ayahnya, Kiai Fathoni, berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya yang diasuh oleh Kiai Afandi. Kedatangan Kiai Fathoni dan anaknya ini tidak diberitahukan kepada Kiai Afandi.
Begitu Kiai Fathoni dan Zahro el-Maula, puterinya, sampai di Pesantren Miftahul Huda, Kiai Afandi tergopoh-gopoh menyambutnya dengan penuh kehangatan. Kiai Fathoni pun menjadi serba salah. Mengapakah kiai yang sudah sepuh tersebut menyambut sendiri dengan sangat baiknya? Padahal, ia sama sekali tidak memberitahu kedatangannya.
“Saya sudah menunggu-nunggu sejak kemarin kedatangan tamu dari Buntet. Katanya, akan ada tamu dari Buntet yang akan datang ke sini untuk mengantar anaknya mondok di sini,” ujar Kiai Afandi.
“Kiai tahu dari mana, kalau akan ada tamu dari Buntet?” tanya Kiai Fathoni.
“Saya diberi tahu oleh Kiai Abbas,” jawab Kiai Afandi. “Kiai Abbas memberi tahu saya dalam mimpi bahwa dalam hari-hari ini, salah seorang cucunya akan datang ke sini untuk belajar di Pondok Pesantren ini,” lanjutnya. Kiai Afandi dan Kiai Abbas adalah teman akrab.
Ya, ternyata Kiai Afandi mengetahuinya karena pemberitahuan Kiai Abbas dalam mimpi. Padahal, Kiai Abbas Bunter telah wafat sekian tahun lamanya. Beliau wafat pada 1948, sementara kejadian itu terjadi pada sekitar 1985.
Dalam dunia sufi, kata Samsul Munir Amin, mimpi kerap menjadi petunjuk transendental antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tidak sedikit petunjuk yang berasal dari mimpi menjadi realita.
Kisah di atas, baik dalam dunia sufi maupun dalam komunitas pesantren, adalah sesuatu yang logis dan sering terjadi. Tentu tidak semua kalangan kiai dan santri memahami isyarat dan petunjuk sebuah mimpi jika mimpi itu masih samar-samar. "Akan tetapi jika mimpi itu jelas, tidaklah perlu lagi adanya penafsiran yang lebih detil karena memang telah gamblang, sebagaimana mimpi Kiai Afandi tersebut," tutur Samsul Munir Amin.
Sepertinya, hal-hal gaib dalam komunitas sufi telah berkembang dengan baik dan menjadi suatu fenomena menarik. Dan nyatanya, demikianlah adanya. Sebab, kabar yang disampaikan Kiai Abbas kepada Kiai Afandi dalam mimpinya ternyata terbukti adanya. Ini memang karomah dari para kiai.
(mhy)